Saturday, October 13, 2012

Polisi munafik adalah polisi yang tidak korupsi


Polisi munafik adalah polisi yang tidak korupsi. Ini adalah sederetan kalimat yang saya simpulkan setelah beberapa saat lalu menyimak sebuah argumentasi yang dinyatakan oleh seorang petinggi Polri bernama Nanan Sukarna, berpangkat Komisaris Jenderal Polri, dan menjabat sebagai Wakil Kepala Polri. Sebuah pernyataan "menggelikan" dikeluarkan oleh seorang Nanan Sukarna di Hotel Atlet Century, Jakarta Selatan tatkala sedang  mengisi Seminar Nasional Komisi Kejaksaan.
Ya, sekali lagi saya menyimpulkan bahwa "Polisi munafik adalah polisi yang tidak korupsi..!"
Anda boleh setuju dengan kesimpulan saya itu. Namun ketika tak setujupun tak akan menjadi masalah buat saya. Hanya saja ketika Anda "tak setuju" dengan kesimpulan saya itu, mohon kiranya berkenan menyimak kalimat-kalimat Nanan Sukarna sebagaimana yang saya kutip dari harian kompas dan selanjutnya saya lampurkan pada quotation dibawah ini.
"Sehari-hari gaji kami tidak cukup. Kapan naiknya? Karena ini menjadi salah satu sumber kenapa kita sulit memberantas korupsi"
"Angkat tangan yang sudah bersih? Yang hanya hidup dari gaji saja, coba? Jadi, kita enggak usah munafik, termasuk saya kalau hanya dari gaji enggak cukup juga"
"Keberanian bawahan dalam rangka menjaga institusi dan jaminannya itu yang susah. Takut dicopot (jabatan), misalnya"
KomJen Nanan Sukarna
Orang kecil teramat sakit mendengar kalimat-kalimat yang kau ucapkan itu Pak Polisi...!!! Sadarkah kalian dengan omonganmu itu...???
Ya, sengaja saya sebut "kalian" sebagai subyek sekaligus obyeknya, lantaran secara pribadi saya melihat hal semacam ini sudah jamak di institusi kepolisian. Memang tak smeuanya, namun tak tepat juga kalau lantas hanya disebut sebagai "oknum". Karena sekali lagi jumlah yang baik lebih sedikit daripada yang kurang baik. Ingat itu...!
Mungkin bagi kalian -yang terwakili oleh Jendral Nanan Sukarna- tiada beban bisa ngomong "sak'enake wudel" seperti itu, lantaran toh setelah acara di hotel mewah itu masih ada kesmepatan untuk bisa berkilah -sok- mengklarifikasinya,. Dan bisa juga ada argumentasi lanjutan memposisikan masyarakat pun para jurnalis sudah "salah tampa" alias 'salah terima informasi'. Tapi sekali lagi bagi wong cilik, ini adalah perkataan yang menyakiti hati dan tak bisa dianggap remeh-temeh.
Bertaubatlah Pakkkk, amanahlah..! Kalau merasa tak cukup hidup dari gaji yang Bapak terima tiap bulan, ya mundur sajalah dari Polisi...! Hal yang butuh Anda sadari adalah bahwa ada bagian dari gaji itu yang diperoleh dari pajak rakyatmu, dimana rakyat yang membayar pajak itu tak jarang juga bergaji lebih rendah darimu..!
Bersyukurlah Pak..! Lantaran Anda ini menduduki pekerjaan demi MENGABDI dan MELAYANI masyarakat. Sama seklai bukan pingin MERAJAI dan MENGUASAI warga yang mustinya kau lindungi. K
Atau jangan-jangan memang sedari awal Anda berkehendak 'diprajani..?"
Ya ya yaa, kalau itu memang pilihannya, maka teruskanlah untuk menjadi Polisi yang "tidak munafik" Pak, karena dengan "tidak munafik" pastinya Anda akan memperoleh banyak harta, tak lain dan tak bukan tentu dari hasil kemunafikan KORUPSI tadi. [uth]
_______________________________________________________________________________
An illustration of "Polisi munafik adalah polisi yang tidak korupsi" is taken from kompas

read more >>

Saturday, September 15, 2012

Adil sejak dalam pikiran

Adil sejak dalam pikiran. Ya, ketika saya teringat pada satu petuah dari Pramoedya Ananta Toer sebagaimana terbaca pada kalimat awal tersebut, maka saya juga diingatkan untuk lebih memahaminya secara luas tentang arti dari sebuah keadilan ini.

Sunset Mangol GunungKidul
Adil tak hanya sebatas diimplementasikan pada kehidupan sosial, yaitu kehidupan yang bersinggungan antara diri kita dengan orang lain. Namun, adil bisa didefinisikan pada anatomi tubuh juga, baik itu yang berujud material pun immaterial.

Bentuk keadilan untuk tetap menjaga tubuh agar tetap bugar adalah dengan cara beristirahat cukup, sehingga mata juga bisa istirahat terpejamkan. Sementara otakpun sedikit mampu menenangkan diri. Begitu seterusnya.
Nah, sampai pada pikiran yang mampu sedikit menenangkan diri saat tidur tadi, ada wujud keadilan lain dalam berpikir demi memahami kehidupan ini. Ada banyak kata tanya, dan walaupun banyak yang menyatakan bahwa akan ditemukan ribuan jawaban pada satu pertanyaan, namun kenyataan toh tak selalu mulus kita bisa menemukan jawabannya.
Sebagaqi contoh, ketika saya berpikir mengenai jawaban atas sebuah pertanyaa "Mengapa lebih banyak orang yang gagal dalam kehidupan ini..?" Kenyataannya menemukan jawaban adil itu memang tak gampang. Nah keadilan itu akan terimplementasikan ketika kita mau mengolah pada cara berpikir pun menyelesaikan persoalan. Bahkan ketika saya tak adil menjawab pertanyaan itu bisa jadi saya termasuk bagian dari orang yang gagal.
Kebetulan saat ngobrol dengan tiga teman yang memiliki profesi sama saya menemukan banyak jawaban pada satu pertanyaan. Profesi sama yang mereka miliki itu adalah pekerja hotel (hotelier). Dimana pertanyaan yang harus mereka jawab adalah "Apa yang sedang sampean lakukan di hotel ini..?"
Teman pertama menjawab, "Saya sedang memasak, karena saya seorang chef" Teman kedua bilang, "Tentu saya di sini sedang mencari gaji." Dan teman ketiga berkata, "Saya sedang melayani kebutuhan tamu dan orang-orang disekitar saya!"
Itulah bermacam jawaban yang diperoleh atas ketiganya. Mereka berbeda, tentu jawabannya adalah tak sama. Nah lalu apa yang bisa kita petik dari percakapan itu tadi...? Yang kita peroleh tentu saja adalah pola pikir yang bakal kita terapkan setelah memilah pun memilih banyak jawaban atas satu pertanyaan, kembali lagi tentu berpatokan pada petuah Pramoedya Ananta Toer, adil sejak dalam pikiran.
Hal yang bisa kita cerna dari sini adalah bahwa model kita berpikir sedikit banyak bisa mempengaruhi otak kita dalam menanggapi sesuatu hal setelah memahaminya.
Model berpikir yang adil, cerdas serta bijak, pada kenyataannya mampu memberikan arah positif untuk tetap peduli terhadap kehidupan. Pada kondisi berpikir secara adil ini bukan tidak mungkin mimpi baru yang timbul akan semakin memberi harapan, dimana harapan baru tersebut bisa jadi telah mendekat pada keberhasilan.
Adil untuk tidak menertawai orang lain, bijak untuk tak memandang enteng pada pihak manapun, secara tak langsung telah menyiratkan sebuah sinar terang yang dipandangkan kepada orang lain tersebut. Dengan demikian kalau sumber terang nan cerah dari kita mampu menerangi orang lain, tentu saja kita musti bersyukur lantaran secara tidak langsung kitapun mampu tercerahkan. Sekedar kontemplasi untuk saya sendiri. [uth]
_______________________________________________________________
An illustration of adil sejak dalam pikiran is taken at Mangol Gunung Kidul
read more >>

Saturday, August 25, 2012

Kemenangan puasa, Lebaran

Sepertinya kita sangat mahfum bahwa Lebaran adalah satu hari yang juga digunakan sebagai simbul sebuah kemenangan puasa. Walaupun memang di sisi lain harus diakui bahwa yang dinamakan hari kemenangan itu tak hanya sebatas pada peringatan berakhirnya ritual Puasa.



sungkeman
Sungkeman
Ya, puasa Ramadhan 1433 tahun ini telah usai beberapa hari lalu, dan Lebaran Idul Fitri juga telah sama-sama kita peringati. Ada banyak hal yang telah dilewati baik dalam menunaikan ibadah puasa pun dalam memperingati hari kemenangan Lebaran. Nah kalau beberapa saat lalu sempet tertuliskan sebuah jurnal bernuansa kontemplasi mengenai yang diperoleh saat puasa, maka sebagai kelanjutan sepertinya tak terlambat kalau kita juga mengulas tentang rangkaian Puasa diiringi peringatan Lebaran.
.

'
Saya mendefinisikan bahwa Idul Fitri adalah hari raya umat Islam. Sementara Lebaran lebih saya pandang sebagai tradisi pun budaya yang diperingati oleh siapa saja, tak sebatas hanya orang-orang muslim.

Tatkala kita mampu memandang Lebaran sebagai sebuah tradisi dimana pengekseksuaian tradisi tersebut dilakukan serempak di berbagai tempat belahan bumi, tentu pada hari yang bersamaan terdapat banyak aneka warna tradisi yang digelar, dimana local-culture tak bisa tidak turut mewarnainya. Sebagai contoh pada peringatan lebaran adalah tradisi masak "opor ayam" ataupun ketupat.
Hari kemenangan Lebaran acapkali didedikasikan sebagai -semacam- syukuran, lantaran telah lolos menjalani ibadah Puasa. Oleh karenanya makanan dan hidangan yang enak menjadi simbul perayaan. Syah-syah saja hal itu terlaksanakan, hanya saja benarkah kemenagan itu secara nyata teraplikasikan dalam hidup kita sebagai "buah" dalam menunaikan beribadah puasa..?

Mari kita baca, kita simak, dan lalu kita merenunginya bersama.

Saya sangat mahfum banyak dari Anda paham benar mengenai bulan Ramadan yang dikategorikan sebagai bulan penuh rahmat serta ampunan. Namun saya rasa masih sedikit yang benar-benar memahami bahwa tradisi berlebihan justru telah menciderai makna Ramadan tersebut. Dalam menjalankan Puasa, tak sedikit dari kita tanpa disadari terlihat takut mati kelaparan. Dimana para pelaku puasa yang biasanya makan sehari dua kali dengan takaran cukup sepiring. namun pada bulan Ramadan ini malah menjadi over. Alasan klise-pun dijadikan "tedheng aling-aling". Sebagai contoh, demi menjaga kebugaran maka sahur dengan hidangan berlebihan dilakukan, dengan alasan mengganti nutrisi tubuh maka segala macam makanan masuk ke mulut dan perut, takut nanti siang kelaparan. Dan mudah ditebak, dalam berbuka akhirnya orang-orang type ini mengadakan hal yang dihari biasanya tak ada dmei berbuka nanti. Benar-benar 'ngeladuk kurang deduga' (serakah tanpa berpikir panjang).

Mulai menunaikan ibadah puasa ada hal yang banyak dirindukan orang banyak, yaitu suasana syahdu. Hanya saja tak sedikit dari kita menjadi salahkaprah memaknainya. Dimana Mushola dan Masjid acapkali mengeraskan suara keluar hingga taraf mengganggu. Padahal kegiatan tak ada putusnya, dari acara bedug sahur, kuliah Subuh dhuhur, ashar, buka bersama hingga tadarusan.

Esensi puasa yang terletak pada sisi "kesederhanaan" terlihat jauh panggang dari api. Hal ini nampak sekali dari suara-suara petasan yang bukan saja mengganggu pihak lain. Lebih dari itu, para pelaku ibadah Puasa yang semestinya mampu memaknai arti kesederhanaan tanpa harus mengumbar hawa nafsu justru telah memperlakukan sia-sia pada rejekinya. Uang tak merasa sayang digunakan untuk membeli petasan yang harganya tak murah.

Alih-alih mau memberikan tontonan, namun hampir semua stasiuan televisi justru tak menyiratkan tuntunan pada acara-acara yang mereka gelar. Sok ndagel tak merasa bersalah padahal kerapkali leluconnya justru bertabiat melecehkan pihak lain.

Dan yang teramat memprihatinkan adalah bertebarannya manusia-manusia xenophobic, yaitu manusia-manusia yang gemar melancarkan kebencian pun tindak kekerasan pada pihak lain tanpa mau memahami lebih dalam hal yang sesungguhnya masih teramat asing dari pemikirannya. Tindakan xenophobia itu dapat dilihat jelas pada siang hari yaitu terdapatnya aksi sweeping terhadap warung-warung makan.Semoga Anda sepakat kalau hal ini saya kategorikan sebagai tabiat dungu. Bukan tanpa alasan jelas saya mengatakan hal tersebut sebagai "tabiat dungu". Saya sangat memaknai ibadah puasa adalah perwujudan menahan diri dari semua perilaku merugikan orang lain -dan diri sendiri-. Namun teramat aneh kalau pada akhirnya justru orang lain yang harus kita minta untuk peduli. Sungguh ironis bukan..? Adalah pemikiran arif yang dibutuhkan, bahwa tak semua orang itu menjadi wajib untuk puasa. Bukan saja pada sebatas mereka yang non muslim, akan tetapi semoga Anda sepakat kalau nyatanya muslim yang sedang berhalangan pun musafir juga masuk dalam kategori tak wajib tersebut.
Menapaki hari-hari akhir Puasa jelang Lebaran, mudik menjadi tradisi yang tak bisa dipisahkan lagi. Pemaknaan tradisi mudik tak jarang jauh dari harapan, dimana para pelaku mudik yang semestinya mampu menjalin kembali tali silaturahmi justru sebaliknya, mereka saling berlomba-lomba adu pamer kekayaan.

Dan akhirnya sampai pada acara kumpul keluarga, acara silaturahmi bertajuk Syawalan pun sungkeman akhirnya bukan lagi bertujuan utama saling memaafkan dan saling merekatkan. Bukan lagi lebar, lebur, luber dan labur. Lain dari itu, acara Syawalan justru acapkali menjadi ajang pembuka lembaran gunjingan baru. Dari kasak-kusuk memperbincangkan suami/istri, sampai dengan pelontaran pernyataan yang terkadang masuk jalur yang bersifat privasi. Tak cukup hanya mengucap salam sugeng riyadi, akan tetapi merasa tak bersalah pun inocent' berulangkali nyeplos mengucapkan "Kapan kawin..?", "Kapan punya momongan..?"

Hal-hal diataskah yang bisa dilihat saat menjalankan ibadah Ramadhan disambung Idul Fitri..? Tentu saja tidak. Kalau begitu pertanyaannya saya ganti, Lebaran itukah yang benar-benar dimaknai sebagai hari kemenangan puasa..? Silahkan Anda menjawabnya, saya merdekakan untuk pro ataupun kontra. Hanya saja ada satu hal yang juga tak boleh dilupakan. Yaitu keberadaan Syetan.

Setan wajib dimasukkan kedalam bahan kontemplasi lantaran ada yang tak bisa kita pungkiri bahwa bisa jadi sesungguhnya setanpun merayakan hari kemenangan pada setiap even Lebaran. Bukankah setan telah merasa terpenjara karena sudah terbelenggu selama satu bulan lamanya..? Jadi kembali pada satu pertanyaan, apakah para pelaku puasa itu adalah juga bagian dari setan yang merayakan kemenangan..? Semoga Anda mampu menemukan jawabannya. [uth]
________________________________________________
An illustration of Kemenangan puasa is taken from Ayu Risti
read more >>

Monday, July 23, 2012

Cerita anak SMA

Memori cerita anak SMA seperti dibukakan kembali dari dalam ingatan saya, tepatnya ketika kali ini saya “ngabuburit” alias menunggu waktu berbuka.

Ya, kalau kemarin saya menulis mengenai arti xenophobia yang memiliki definisi takut ataupun benci pada “hal asing” lantaran belum dikenal serta diketahui. Maka kali ini meskipun juga telah mulai asing di otak saya, namun saya justru merasa nyaman dan bisa senyum-senyum sendiri ketika teringat tentang kenangan beberapa tahun lalu.

Cerita masa SMA yang saya alami itu keadaannya hampir serupa dengan yang terjadi tahun ini. Yaitu saat dimulainya tahun ajaran baru berbarengan dengan saat datangnya bulan Ramadhan.

Anak Sekolah
Memulai tahun pelajaran baru, bagi anak-anak SMA -sebagaimana yang terjadi saat ini- biasanya dimulai dengan Masa Orientasi Siswa atau disingkat MOS. Namanya juga orientasi, tentu tujuan salah satunya adalah agar saling kenal. Pada kegiatan itulah harapannya terjadi pengenalan lingkungan, perkenalan antarsiswa, dan juga perkenalan antara siswa dan para guru. Nah, sehubungan seminggu setelah pelaksanaan MOS itu sudah memasuki bulan Ramadhan, maka rangkaian acara/program sekolah langsung disambung dengan kegiatan Ramadhan In Kampus alias RIK.

Ada banyak kisah cerita anak SMA dalam rangkaian kegiatan tersebut, semua perasaan bercampur menjadi satu. Ada rasa senang, rasa bahagia, rasa sedih, rasa pilu, dan masih banyak lagi perasaan-perasaan lainnya. Rasa itu timbul tak lain dan tak bukan akibat banyaknya kegiatan baik yang bersifat euforia ataupun kontemplasi. Ketika euforia terjadi, tentu bakal terdengar canda, gurauan, hingga suara tawa terbahak-bahak. Begitu pula saat ada kontemplasi, tak jarang adegan sedih, diam, merenung bahkan sampai menangis berdarah-darah juga tak bisa dihindari.

Rasa gembira tercipta lantaran di sekolah baru yang mereka tapaki bisa bertambah teman baru. Dengan begitu otomatis lingkungannyapun menjadi bertambah luas juga. Hanya saja, jika tak mau masuk dalam omongan 'miring' orang lain, tentu dibutuhkan ruang kontemplasi di posisi seumuran anak-anak SMA ini, bahwa setelah naik ke jenjang lebih tinggi tentu hal yang dihadapi bukan semakin mudah. Ada banyak tantangan yang harus di hadapi, dan hasil dari menghadapi tantangan itu hanya ada dua, klimaks atau anti klimaks. Pilihan ada pada diri masing-masing, mau berhasil mencapai puncak sehingga nantinya bisa puas lantaran mampu meraih kenikmatan, atau hanya mau menyerah kalah dan doyan menjadi pecundang.

Dilihat dari gaya, baik saat bermain ataupun ketika belajar, secara fairplay anak SMP yang baru beranjak menjadi anak SMA tentunya masih sangat bisa dikategorikan sebagai ABG alias Anak Baru Gedhe. Hanya saja pada usia anak SMP beranjak SMA ini sepertinya sudah tak layak lagi kalau harus dikategorikan sebagai anak ingusan, lantaran diumur ini tentunya sudah mulai ada penalaran kedewasaan.

Dilihat dari pakaian, selepas menjadi anak SMP tentu juga ada yang berbeda. Biru-putih sebagai pakaian yang mereka lepas dan lalu berganti memakai baju dan celana warna putih serta abu-abu juga melambangkan sebuah momen. Momen itu tak lain dan tak bukan adalah bahwa mereka telah menapaki kedewasaan yang disebut sebagai sosok anak-anak gadis lajang ataupun laki-laki perjaka.

Selain itu, hal yang paling gampang diihat ketika menjadi anak SMP biasanya cowok-cowok masih memakai celana pendek. Akan tetapi setelah naik tingkat masa SMA, maka celana pendekpun akan berganti menjadi celana panjang. Artinya, bukan sekedar pada ukuran besar atau kecil yang terlihat dari badannya, akan tetapi sudah seharusnya pemikiran yang dulunya hanya berkutat pada hal-hal dengan periode pendek berganti menjadi pemikiran jangka panjang alias longterm.

Meskipun telah menjadi remaja, masa-masa SMA bukan berarti sok hanya pantas bercerita tentang hal dewasa saja. Lain dari itu, kegiatan baik yang menjadi kebiasaan sebelumnya juga sudah sepantasnya diteruskan. Sebagai contoh kecil misalnya adalah membereskan ranjang selepas bangun tidur, melipat selimut, dan juga mencuci pakaiannya. Tentu termasuk celana dalam sendiri.

Itulah sekelumit yang bisa bisa saya bagi sebagai gambaran awal dari kegiatan yang dulu sempat saya jalani, yaitu kegiatan MOS dirangkai dengan kegiatan RIK. Semoga nanti bisa disambung dengan hal yang lebih spesifik lagi. [uth]
____________________________________________________________________
This journal is dedicated for netter who still care about keyword “anak SMA"
An illustration of Cerita anak SMA is taken at MTS (SMP) Yapisal Cianjur

read more >>

Saturday, July 7, 2012

All out power

All out power  ataupun all aout of power adalah idiom berbahasa Inggris yang acapkali saya definisikan sebagai "Mengeluarkan segala kekuatan pun kemampuan semaksimal mungkin". Dimana perlakuan all out power itu biasanya diperankan pada saat seseorang berusaha meraih satu hal yang sedang di kehendaki. Dan oleh karenanya kadangkala mereka yang sedang berusaha 'all out power" tak begitu merasa menyesal meskipun harus mengorbankan segala yang mereka mliki, baik itu berujud harta, jiwa, ayaupun raga.
Istilah all out of power biasanya kita dengar pada pokok bahasan mengenai olahraga, utamanya sepak bola. Akan tetapi selain sepakbola, tak jauh dari kehidupan yang sedang kita jalani ini, tanpa disadari sejatinya kitapun biasa menerapkan idiom all out power tersebut.
All out power
Sebastian Czimmeck plays soccer
Coba saja kita ingat-ingat kembali, yaitu pada masa kita sedang dilanda cinta. Tatkala dimabuk asmara itulah setidaknya usaha 'all out of power' dahulu sempat saya jalani. Saat saya naksir seseorang yang menjadi pujaan hati, dengan tanpa sungkan sayapun berjuang mati-matian.  Meski tak ada uang, saya mempersetankan rasa malu, lantaran tiada tedheng aling-aling sayapun meminjam uang kepada teman hanya demi mengambil simpati sang pujaan hati.
Bukan itu saja, usaha dengan effort 'all out power' juga terlaksana ketika saya rela mengayuh sepeda butut guna mengantar pun menjemput sang pujaan hati, padahal rumah tempat saya tinggal ada di ujung sebelah barat sementara rumah sang pujaan hati jauh berada di ujung sebelah timur. Sampai-sampai putus rantai dan musti belepotan oli sebagai pelumas juga tak pernah saya keluhkan. I think its more than all out of power, but beside this, I think its about 'at all cost' too.
Sampai disini, mengenai all out of power, selain memang bisa kita terapkan pada kegiatan kita sehari-hari, kenyataannya dalam kita juga telah menjumpainya dalam olahraga -sepak bola-. Pasalnya permainan yang terjadi dilapangan sepakbola acapkali mengingatkan kita pada kehidupan. Adakalanya kemenangan tak selalu memihak pada mereka yang permainan pun performance-nya berkualitas. Sebaliknya, kemenangan acapkali diraih justru oleh mereka yang berada pada posisi "underdog" namun memaksimalkan kesempatan -dan tentu yang bernasib baik-.
Ya, dan karena hidup ini adalah serupa dengan "permainan" juga, maka satu pilihan adalah hal yang 'wajib' kita ambil. Apakah all out power pada diri kita mau digunakan untuk  "main-main" ('pat-gulipat') dan lebih mementingkan "hasil" serta mengejar tujuan (kemenangan), ataukah  mau dimanfaatkan untuk bermain "fair-play" sehingga lebih mementingkan proses..? [uth]
______________________________________________________________________
Sebastian Czimmeck as an illustration of 'all out power' is taken by mBak Yeni Kirimang
read more >>
 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri