Tuesday, April 21, 2009

Gonjang-ganjing

AWAL 2005, seorang teman yang Jawa deles dari Pracimantoro dan suka ngothak-athik kahanan meramalkan Yogyakarta bakal mengalami gonjang-ganjing. Maka setelah bumi gonjang-ganjing sungguh pada 27 Mei 2006 dia saya tanya, apakah gempa 5,9 skala richter itu yang dimaksud? Ternyata bukan. ”Gempa itu peristiwa alam, dan urusan Tuhan. Gonjang-ganjing yang kumaksud murni karena ulah manusia,” jawabnya dengan pasti. Kemudian ia menjelaskan, gonjang-ganjing itu terjadi karena wong Yogya yang terkenal dengan budaya plesetan dan bahasa walikan itu sudah benar-benar kepleset dan kuwalik (terbalik) beneran.

Menurut dia, salah satu penanda-petanda-tanda bakal adanya gonjang-ganjing itu, konon, dimulai dari ”perusakan” nama Yogyakarta itu sendiri. Buktinya, belakangan masyarakat Yogya suka menuliskan nama kotanya menjadi ”Jogjakarta”, bukan lagi Yogyakarta. Padahal sebagai orang Jawa pasti mafhum, bahwa seluruh nama tempat, desa dan kota di Jawa ini punya arti. Termasuk Yogyakarta itu sendiri. ”Yogya” artinya pantas atau baik sedangkan ”karta”, aman atau sejahtera. Nah, punya nama sebaik itu kok tiba-tiba nulisnya diubah jadi Jogjakarta seperti ucapan sehari-hari. Padahal, ”Jogja” tidak punya arti makna yang jelas sebagaimana ”Yogya”. Itulah tandanya kalau diam-diam masyarakat Yogya sudah membuat makna keberadaan kotanya mulai tidak jelas, mencair, dan jungkir balik. Orang Bali saja yang menyebut Kuta adalah Kuthe, Denpasar jadi Denpaser, tidak mengukuhkan pengucapan nama-nama tersebut sesuai lafal mereka ke dalam bahasa tulis. Kuthe tetap ditulis Kuta, Denpaser ditulis Denpasar. Gara-gara othak-athik itulah, saya pernah terperanjat ketika kasus keistimewaan DIY memuncak, koran-koran menyebutnya sebagai: gonjang-ganjing. Inikah hera-heru yang diramalkan oleh wong Praci itu?

Beberapa hari lalu datang seorang dalang dari Panggang Gunung Kidul. Setelah ngobrol ke mana-mana, akhirnya obrolan nyangkut juga ke perkara gonjang-ganjing keistimewaan Yogyakarta. Menurut sang dalang keistimewaan DIY itu harga mati. Sebab jika keistimewaannya hilang bakal ada badai besar yang menerpa kelak kemudian hari. Utamanya yang menyangkut mati hidupnya kebudayaan Jawa. Artinya, jika DIY tidak dikukuhkan sebagai daerah istimewa seperti dulu sama halnya menghapus perannya sebagai pusat kebudayaan Jawa. Lalu bagaimana nasib kebudayaan Jawa nanti di tanah kelahiran sendiri? Siapa yang dijadikan pancer, siapa yang jadi anutan?

Lhadalah, saya tercenung mendengar kekhawatirannya yang berlebihan itu. Meskipun demikian, saya tetap bersikap momor, momong, dan momot terhadap pikiran dan pendapatnya. Sebab saya tahu gonjang-ganjing DIY mengandung banyak muatan politis dan sensitif. Hanya, jujur, saya lebih tertarik dengan othak-athik wong Praci daripada apa yang dinyatakan ki dalang dari Panggang. Soalnya, pembedahan masalah yang dilakukan teman dari Praci berhasil meramu logika serta kreativitas, dipadu dengan matra-matra keilmuan sehingga membuahkan orisinalitas pendapat yang khas. Sedangkan kekhawatiran pak dalang terkesan baru sebatas ”jangan-jangan”. Sepertinya memprihatinkan kebudayaan, tetapi sesungguhnya kebudayaan hanya jadi kekudhung untuk mewujudkan cita-cita politik praktis yang didambakan.

Coba saja dionceki. Apakah misalnya keistimewaan DIY hilang (Sultan dan Pakualam tidak jadi Kepala Daerah) potensi kebudayaan Jawa luntur? Kebudayaan Jawa di tanah Jawa lantas mati? Rasanya tidak. Sebab, kebudayaan Jawa di tanah Jawa modern ini tidak lagi semata-mata berpusat kepada hegemoni Yogya-Solo. Kebudayaan Jawa telah mencair, mengalir, menjadi denyut hidup orang Jawa di Jawa, komunitas transmigran di luar Jawa, orang-orang Jawa di Suriname, Eropa, Malaysia, Taiwan, dan lain-lain.

Di samping itu, panutan budaya Jawa juga mengalami perubahan sekaligus perkembangan. Contohnya, orang Jawa Banyumas anutannya kini juga nilai dan tokoh lokal Banyumas. Orang Jawa pesisiran, orang-orang Jawa Timur, orientasi mereka ju ga nilai kejawaan yang dikembangkan oleh rakyat (penduduk) setempat. Langsung tak langsung orang-orang Jawa di tempat tinggal masing-masing akan mampu menyangga kelestarian budaya Jawa di daerahnya. Misalnya batik yang diakui sebagai produk unggulan kebudayaan Jawa, kenyataannya sudah anjrah di mana-mana. Label ”Kota Batik” pun malah dikenakan oleh Pekalongan, bukan Yogya-Solo. Seni pedalangan yang semula berpusat di Yogya-Solo juga sudah mewarnai daerah-daerah lain. Banyumas, Tegal, Semarang, Madiun, Kediri, Bojonegoro, sama-sama memiliki dalang lokal yang digemari masyarakatnya. Perkembangan sastra Jawa tidak saja memusat di Yogya-Solo, tetapi menyeruak ke berbagai kota kabupaten. Meskipun majalah berbahasa Jawa mungkin tinggal Jaka Lodhang (Yogya) dan Panyebar Semangat (Surabaya), tetapi sastrawan Jawa baik di Jawa Timur dan Jawa Tengah terus juga berkarya hingga kini.

Jadi, rasanya kebudayaan Jawa hanya akan mati jika orang Jawa telah benar-benar punah dari muka bumi ini.

Source

0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri