Friday, September 30, 2011

Negeri pecundang tetap tak sebaik negeri Komunis

Kata G30S/PKI sepertinya sudah tak asing lagi dikebanyakan telinga kita, warga negara Indonesia. G30S/PKI memiliki padanan kata lain yaitu Gestok yang artinya Gerakan Satu Oktober, serta Gestapu - Gerakan September Tiga Puluh.

G30S/PKI adalah satu istilah yang dikenakan sehubungan dengan adanya gerakan pada hari ketigapuluh bulan September hingga satu Oktober pagi hari tahun 1965. Gerakan ini identik dengan gerakan makar terbukti dengan tindakan pembunuhan beberapa pejabat tinggi negeri.

Saya yaqin teman-teman tercintaku semua yang ada disini teramat paham dengan kejadian itu, banyak sumber bisa diperoleh sehubungan kejadian yang sejatinya telah berlangsung pada hari ini tepat 46 tahun silam. Dan dengan peristiwa seperti itu pulalah banyak warga negeri inipun bersikap antipati terhadap paham komunis, anti PKI kata tepatnya.

Tak sedikit kita telah terdogma bahwa komunis itu adalah paham yang anti agama, paham yang mau menghalalkan segala cara, dan pemahaman lain yang arahnya negatif. Dan karena hal itu maka negara-negara yang berpaham komunis juga sempat kita pinggirkan selama berpuluh-tahun, sebut saja China sebagai salah satu contohnya.

Sampai pada pokok bahasan itu, tak pelak yang melekat diotak tentu saja adalah masa orde baru dimana rezim Soeharto-lah yang berkuasa saat itu.

Lambang PKI
Namun kini, setelah 46 tahun gerakan satu oktober (gestok), masihkah kita terus memejamkan mata dan tak mau berusaha melek mata...? Masihkah kita memandang sebelah mata pada negeri China pun Rusia yang tetap mengenakan paham komunisnya..?

Sebagaimana pesan Bung Karno, bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan sejarahnya. Maka memang sudah semestinya kita mempelajari sejarah yang ada dimuka bumi ini, termasuk sejarah negeri sendiri. Akan tetapi jangan pernah lupakan juga bahwa kita ini tak hanya berposisi sebagai obyek, lain dari itu adalah sebagai Subyek. Tidak bisa kita pungkiri bahwa kita ini juga bakalan membuat catatan sejarah berdasarkan apa yang sudah, sedang dan akan kita jalani. Dengan kata lain bukan satu hal yang "tidak mungkin" kitapun juga bakalan menjadi 'pelaku sejarah' itu sendiri.

Tatkala kembali mengenang hari ini 46 tahun silam, yang ada dibenak adalah kata 'komunisme', sementara kata komunisme tentu saja tak bisa lepas dari negeri China. Nah, ada hal yang musti kita lihat saat ini, bahwa perputaran jaman telah menunjukkan China sekarang tak bisa semudah dahulu untuk dianak-tirikan hanya dnegan embel-embel 'negeri-komunis'. China saat ini telah menjadi kekuatan baru yang sepertinya lumayan dijadikan perhitungan negara-negara maju lain, termasuk Amerika.

Pertanyaannya, mengapa China saat ini sangat diperhitungkan dalam kancah global..?

Bisa jadi jawabannya adalah tentang kemajuan yang ada dinegeri itu, sebagaimana kabar terakhir bahwa negeri tirai bambu itu telah meluncurkan kapal induk, atau keberhasilannya menguasai tehnologi angkasa luarnya.

Jawaban itu memang tak ada salahnya, akan tetapi sungguh ada hal yang semestinya bisa kita gali yaitu tentang tekad bulat dalam memegang prinsip pun keteguhan hati. Bukan waktu yang sebentar negeri ini dianak-tirikan dikancah dunia, bukan hal yang sepele negeri ini dipojokkan faham (komunis)nya. Namun mereka tetap kekeuh dan mantap dalam melangkahkan kaki, mereka tetap yaqin arti dari sebuah kebersamaan pun gotong-royong sebagaimana satu bab yang ada dalam paham (komunisme)nya. Mereka justru lebih bisa merealisasikan pemposisian diri "berdiri sama tinggi, duduk sama rendah"

Dengan latar belakang semacam itu, kitapun musti berkaca kembali pada kearifan budaya lokal bersumber dari budaya nenek moyang yang tak lain adalah leluhur kita sendiri. Sebagaimana rakyat China yang memegang budi pekerti bersumber dari ajaran Tao, yaitu bekerja keras, jujur, serta berbakti.

Memang benar dilain sisi kita acapkali melihat bahwa sebagian dari ras China tak mau peduli dengan lingkungannya dan bahkan ada kecenderungan tabiat memonopoli, atau mungkin kata tepatnya bisa diungkapkan dengan istilah 'elo-elo, gue-gue'. Akan tetapi hal itu sudah selayaknya tak bisa dipukul rata sebagai pandangan satu ras ataupun etnic karena sejatinya etnic apapun (termasuk etnik-etnik yang ada di Indonesia ini, Jawa misalnya) juga tak semuanya menjadi sama baiknya.Cara pandang as a person sama sekali tak bisa dihilangkan pada sisi ini.

Alih-alih sok membenci, namun sadar pun tak sadar yang kita benci itu biasanya justru malah memberikan banyak pelajaran.

Begitu juga dengan China, keterlanjuran kita terdogma pada ajaran buruknya komunis yang kebenarannya tentu saja hal itu tak semestinya kita 'gebyah uyah' alias tak kita generalisasi, justru dari sinilah kita dituntut untuk terus menggali dan mempelajari keberhasilannya. Salah sau contoh adalah pada wacana penyebaran rasnya, wilayah mana sih yang tak ada ras Chinanya..?
Dan ketika kita melihat ras China pada satu negeri maju sekalipun, yang tak bisa kita remehkan adalah ketetapan hati. Bahwa seperti apapun keadaan negeri asal nenek moyangnya, ketika ditanya, dengan tanpa ragu mereka akan menjawab "Yes, I am chinesse..!" Padahal kebenarannya tak sedikit dari mereka itu sudah puluhan tahun tak pernah tahu kampung halaman asalnya.

Dari G30S/PKI menuju komunisme, hingga pokok bahasan ini berujung, pertanyaan terakhirnya adalah; haruskah kita selalu berlaku sok modern lalu dengan serta merta melupakan ajaran para leluhur yang adiluhung...? Masihkah kita memposisikan diri sebelah mata terhadap China pun Rusia dengan komunismenya..? Akankah kita terus berperilaku sebagai pecundang yang tabiatnya selalu tak jauh dari mengkambing-hitamkan pihak lain..? [uth]

_________________________________________________

An ilustration is taken from here without permission

0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri