Melihat dan membaca berita pagi ini  yang masih menyajikan berita mengenai Prita Mulyasari  kok membuat saya teringat tentang persidangan yang terakhirkali saya  iku menyaksikannya  (meski diluar gedung) pada akhir Desember 2009 lalu,  yaitu ketika Prita hasilnya divonis bebas. See link-source…
Tatkala  membaca berita ini tak pelak  otak saya pun menjurus pada satu Undang-Undang yang sudah lama dirancang  namun masih belum jelas follow-up nya sampai sekarang. Bahkan dibeberapa teman komunitas blogger hal  ini sering dijadikan pokok bahasan sekaligus sebagai bahan kampanye  penolakan. Undang-Undang yang ditolak adalah UUITE pasal 27 ayat 1:
Setiap  Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau  mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik  dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar  kesusilaan.
  ika teman lain membahas tentang kata-kata yang membentuk kalimat dengan esensi obyek pun subyek diadakannya kegiatan online  di internet yaitu mengenai “membuat dapat diaksesnya”, (ah kalau nggak  dapat diakses trus apa gunanyaa….??? ) maka secara pribadi berkehendak  memberikan tanggapan yang  senada dengan komentar saya dijournalnya Kang Suryaden. 
Hal yangmenjadi bahan pertanyaan saya adalah mengenai “sampai batasan mana”  dikatakan melanggar kesusilaan itu…? Melanggar norma susilakah…?  Susilanya siapa, susilanya mana, susilanya kepentingan apa…? Siapakah  yang memiliki hak menasbihkan batasan itu apakah melanggar atau tak  melanggar…?
Okeylah kalau kita merujuk satu  peraturan ini dibuat oleh pejabat negara yang artinya beliau-beliau ini  membuat peraturan ya gunanya untuk mengatur seluruh elemen negara dan  bangsa, namun masihkah mereka para beliau itu tersadarkan bahwa elemen  bangsa ini terdiri dari banyak suku, bahasa, dan tentu budaya, dimana  semua itu tak pernah bisa lepas dari satu ikatan yang namanya norma  adat. Mau norma susila yang berbau agama pun norma susila berbau adat  kedaerahan toh tak bisa disamaratakan. Dan bukankah justru karena itulah  hakekatnya kita tercipta sebagai Bangsa yang besar dengan aneka  warnanya, bernama Indonesia ini..?
Pembahasan lanjut mau tak mau juga musti konsentrasi pada dua kata “norma susila” dan atau satu kata berimbuhan,  “kesusilaan.”
Sehubungan dengan padanan kata diatas,  ada argumentasi yang lumayan mampu membuat saya senyum-senyum tertohok.  Namun justru  setelah membacanya    saya mengambil sikap mengibarkan  bendera ‘teramat setuju’, sebagian argumentasi tersebut dilontarkan oleh  mBah Marto sebagimana yang saya quote berikut ini,
Kesusilaan adalah moralitas yang  acap disampaikan dengan tanda-tanda, simbol, dan pesan  metaforis. Sopan-santun adalah satu bentuk simbol susila. 
Simbol hanya berlaku bila ada orang  lain yang memaknai. Artinya salah apabila ada pesan kesopanan boker di  kakus duduk dengan melarang berjongkok di atasnya. Sebab boker adalah  kegiatan soliter alias bukan sedang bersosialisasi atau pentas. Tidak  ada ‘Audience’ yang memaknai posisi boker Anda. Tak ada yang mengetahui  sepak-terjang boker Anda, artinya tak saru. Dalam hal itu Anda tak bisa  dikatakan sedang berbuat ‘Asila’, beda dengan korupsi, tindakan ini  tetap tak baik alias ‘Asu’ meski tak ada yang tahu. 
Orang Indonesia sepertinya lebih  sebal dengan pasangan yang ke-gap saat bercumbu di kosan daripada  duitnya diembat koruptor. Pelaku ‘Asila’ bisa diarak telanjang keliling  kampung, tapi koruptor dan para ‘Asu’ lainnya aman melenggang bersama  senyuman. Kriminalitas lebih bermartabat dari percumbuan birahi. Makanya  jangan heran kalau para koruptor yang tengah diadili selalu tampil ‘Susilais’. 
 Memang kita hidup di dunia rejim simbol yang sederhananya boleh Anda terjemahkan dengan rejim citra. Dunia simbol adalah dunia kekuasaan. Siapa menguasainya, dialah yang akan mendominasi adab masyarakat. [MartoArt]
Meski pertanyaan pertama belum mendapatkan jawaban yang mampu membuat klimax, saya akan tetap nekad melanjutkan pertanyaan lanjutan.
Lalu, akankah kita ikut terbelenggu pada  satu keadaan dimana simbul telah menguasai negeri ini dengan ditandai  maraknya “pencitraan…?”
Kalau jawabannya “iya” saya tidak akan  segan juga untuk  melontarkan argumentasi sebagai jawabannya, “sungguh  terlaluuuu, saya #prihatin dengan keadaan ini, bukan karena kita  diadudomba namun lebih dari itu kita rakyat ini teramat mudah dijadikan  alat  “orang yang berkepentingan” melegalkan segala tindakannya padahal  kalau kita tahu itu semuaa hanyalah sebuah topeng ‘pembenaran’ pada satu  kepentingan sepihak, bahkan kepentingan pribadi.
Berkaca pada batasan satu norma bernama  ‘susila’ ini sepertinya teramat dini kita mengibarkan bendera “setuju”  dengan undang-undang yang  sama dan serupa  secara merata didalam satu  negeri bernama Indonesia ini.
Akankah keadaaan yang sempat diparodikan keadalam bentuk gambar oleh Mas Aji ‘Klewang‘   bakalan nyata adanya..? Yaitu kita disodori  gambar, lalu  dimohon  memelototi kegiatan menari gambyong tak berjarit, diganti dengan  kostum  berjilbab (atau bergamis).
Bukankah hal ini jika dilaksanakan masih  mampu memenuhi  sebuah  argumentasi  demi melaksanakan peraturan yang sama dengan salah satu  wilayah diujung sebelah barat negeri ini, bahwa pengenaan jilbab menjadi  wajib hukumnya ditanah rencong sana…
Melihat sebagaimana yang saya contohkan itu, mungkin masih banyak pihak yang teteup-kekeuh mau memberlakukan undang-undang tersebut,  karena jika ditanya  jawaban lainnya  mungkin adalah sebuah ekspresi “ah itu khan bisa disesuaikan batasannya pada  satu daerah setempat…!”
Nah jika itu point-nya lalu manakah yang  dinamakan peraturan pun Undang-undang..? Bersifat fleksibel  dan bahkan  tak mengikat-kah undang-undang itu disusun…? #aneh
Akhirnya,  saya kok berkecenderungan mengemukakan opini lain. Semboyan “Peraturan itu dibuat gunanya adalah untuk dilanggar”  bukan tidak mungkin tersemat sebagai bentuk kecerdasan (baca kelicikan)  dalam pembenaran yang dilakuakn oleh mereka “yang berkepentingan”  sebagaimana saya sebut pada paragraf sebelumnya.
Melihat undang-undang  yang masih banyak  celah untuk bisa dimanfaatkan  berbagai pihak ini,  secara pribadi saya  mengatakan masih belum butuh-butuh amat menerapkannya selain justru  malah bisa dijadikan lahan baru para koruptor.
Anda setuju ataupun tidak, silahkan teman-temanku disini saya berikan kemerdekaan dalam  bertindak-laku dan bertutur-kata. [uth]
______________________________________________________________________________________
~Gambar UUITE adalah hasil jepretan (sendiri) dengan obyek stiker yang diberikan oleh  pakdhe Blontank
~Gambar Jogja Serambi Madinah dari Mas Aji-Klewang

0 comments:
Post a Comment