Setelah Hiroshima dan Nagasaki diratatanahkan pada tahun 1945, Hirohito, Sang Kaisar Jepang pada waktu itu bertanya,Berapa guru yang masih hidup? Pertanyaan aneh bagi beberapa pihak. Tetapi sekarang Jepang adalah raksasa Asia dan negara berpengaruh di dunia.
Hirohito tahu dari mana harus mulai bangkit membangun sebuah negara yang baru saja ambruk baik secara materi maupun kemanusiaan. Mengapa guru? Sebelum era modernisasi guru adalah sosok yang sangat sakral. Seseorang yang dihormati karena ilmunya, perbuatannya dipuji, diperhatikan, dijadikan teladan (digugu) dan ditiru. Perannya dalam masyarakat sebagai pendongkrak intelektualitas dan budi pekerti. Seiring dengan munculnya media informasi modern, mulai dari radio, televisi, telepon sampai telepon genggam dan internet dengan berbagai fasilitasnya, sosok guru semakin luntur. Apa hubungannya? Studi ilmiah tentang adanya hubungan ini mungkin belum populer. Tetapi orang tua yang tidak lagi mengajarkan budi pekerti pada anak anaknya sehingga anak belajar dari media lain, siswa sekolah yang overload dengan muatan akademik, guru yang dikejar target kurikulum serta informasi dan ilmu pengetahuan yang bisa diakses dari sumber di luar sekolah, pasti merupakan faktor yang mempengaruhi bergesernya image guru.
Pendidikan merupakan aspek yang harus diperbaiki dalam membangun suatu bangsa dan guru adalah tokoh kuncinya. Kalau guru hanya menyampaikan informasi tanpa merasakan dan memahami bagaimana anak didiknya menerima, secara naluri anak akan menganggap guru itu hanya sebagai sumber informasi.
Pada waktu revolusi industri terjadi di dunia barat, terjadilah pelonjakan jumlah pengangguran di negara-negara tersebut. Banyak pekerjaan yang tadinya dikerjakan oleh manusia digantikan oleh mesin. Alasannya, mesin ini bisa bekerja lebih cepat, lebih banyak dan lebih murah. Bagaimana kalau informasi yang didapat dari guru itu bisa diperoleh dari sumber lain yang lebih menyenangkan? Goegle, misalnya, yang tidak pernah lelah, mencela atau marah-marah kalau selalu ditanyai. Internet menyediakan informasi, materi, soal-soal untuk persiapan ulangan atau ujian sampai solusinya. Bukankah lebih cepat, lebih lengkap dan lebih menyenangkan? Apakah nasib guru akan sama dengan para tenaga kerja di era revolusi industri? Bukan itu poinnya! Guru yang dimaksud oleh Hirohito bukanlah guru yang hanya mentransfer informasi tanpa hati. Tetapi guru yang mengerti akan kebutuhan batin murid-muridnya. Memberi pelajaran, mencontohkan sikap dan budi pekerti, mangajarkan bagaimana cara berpikir, bagaimana cara mengambil keputusan, bagaimana menyelesaikan masalah. Ini adalah nilai dari seorang guru dan akan memberikan kebergantungan tersendiri bagi murid-muridnya. Setiap pembelajar membutuhkan sosok untuk diteladani.
Apa yang tertulis di sini barulah langkah awal dari suatu problem solving, yaitu menyadari bahwa masalah itu ada. Selanjutnya bukanlah langkah yang mudah, membutuhkan peran para guru untuk mengambil sikap baik di sekolah-sekolah, di perguruan tinggi, di masyarakat maupun di dalam keluarga. Selain itu perlu sinergi dari sistem kependidikan dan siswa sebagai subyek dari pendidikan itu sendiri.
Source: pitoyodotkom
Saturday, April 4, 2009
GURU
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment