Monday, April 13, 2009

Kompas, Minggu, 24 Agustus 2008 | 03:00 WIB
JULIUS POUR
”Pelanggan tidak pernah keliru,” begitu nasihat Cesar Ritz kepada semua karyawannya. ”…dengarkan dengan tekun semua omelan mereka, catat apa saja keluhannya, tunjukkan simpatimu dan pastikan, jika dia nanti datang kembali, semua keluhan tersebut sudah harus kau jamin tidak akan pernah muncul.”

Maka, terciptalah sebuah gold standard (standar pelayanan emas) yang dikenal dalam industri perhotelan dalam istilah ritzy atau putting on the ritz.

Memang sulit dibayangkan, Cesar Ritz sanggup melahirkan sebuah istilah untuk mendukung terlaksananya standar pelayanan hotel berbintang. Anak seorang petani miskin yang lahir tahun 1850 di Niderwald, Swiss, sejak kecil dia tidak sama sekali punya potongan untuk bisa menjadi hotelier, mereka yang terjun dalam bisnis hotel.

Setelah gagal dalam studi untuk bisa menjadi ahli matematik, ayahnya sekali lagi mengirimnya ke kota, agar dia belajar menjadi peramu anggur. Ternyata, Ritz malah terdampar dan kemudian bekerja di sebuah hotel yang mempunyai sistem pembukuan ganda untuk menghindari pajak dan selalu kacau setiap menangani koper tamu.

Pelayanan brengsek

Akan tetapi, justru dari hotel brengsek tersebut, Cesar Ritz kemudian bisa menarik manfaat, ”Saya belajar bagaimana cara meredam keluhan tamu sekaligus memahami pentingnya peran pelanggan dalam mendukung sukses bisnis.”

Dengan pengalaman tersebut, Ritz kemudian berhasil menetapkan persyaratan tata kerja hotel. Antara lain, menciptakan lingkungan nyaman, inovasi dalam rancang bangun berikut menetapkan batas standar pelayanan yang tidak boleh dikurangi, sekecil apa pun dengan alasan apa pun. Maka, terciptalah standar emas dalam pelayanan hotel.

Sesudah sukses memperbaiki citra hotel brengsek di atas, kariernya meningkat. Cesar Ritz mulai ikut mengelola Grand Hotel National di Lucerne, Swiss, sebelum nantinya diangkat sebagai general manager di The Grand Hotel, Monte Carlo, Perancis. Di hotel tersebut dia bertemu dengan juru masak terkenal, Auguste Escoffier, yang kemudian menjadi rekan bisnisnya. Ketika Cesar Ritz mengelola The Savoy, sebuah hotel baru di London, Inggris, pada acara pembukaan seorang tamu bertanya, ”…kapan kamu punya hotel?”

Pertanyaan tersebut menyadarkan Ritz bahwa selama ini dia hanya karyawan, sama sekali bukan pemilik. Maka, Ritz segera menabung agar bisa membeli sebuah rumah kuno di Paris, yang selama dua tahun dia pugar. Ketika usianya belum genap 48 tahun, Cesar Ritz telah memiliki sebuah hotel 210 kamar. Dengan rasa percaya diri, hotel tersebut sengaja dia nama The Ritz, ”…sehingga kalau ada tamu ngomel, semua keluhan tersebut harus saya rasakan sebagai omelan kepada diri saya pribadi.”

Sebuah sikap kesatria, teladan sekaligus tuntunan untuk bangsawan di Eropa. Pola kehidupan dan aturan yang sudah sejak kecil justru diimpikan Cesar Ritz meski dia hanya anak petani miskin dari sebuah dusun kecil di pedalaman Swiss yang tidak punya bangsawan karena bukan kerajaan.

Berbareng dengan pembukaan The Ritz di Paris, Cesar Ritz juga mengelola sembilan restoran dan hotel di Inggris, salah satunya bernama The Carlton. Baik rumah makan maupun hotel tersebut dia tentukan harus mempunyai standar pelayanan sebagaimana dia gariskan untuk The Ritz, ”…standar tidak boleh menyimpang, apalagi disusutkan, karena semuanya memakai nama saya. Berarti, kepanjangan dari kepribadian saya.”

Setelah Cesar Ritz meninggal, Marie, istrinya, mewarisi nama The Ritz untuk produk properti di Eropa dan Amerika. Nantinya, Albert Keller, seorang developer, bergabung sehingga berdiri The Ritz-Carlton Investing Company sekaligus me-waralaba-kan nama The Ritz-Carlton dalam industri perhotelan. Hotel pertama dengan nama tersebut dimulai di Boston, lantas New York, Atlantic City, Boca Raton, Philadelphia, dan Pittsburgh.

Sebagaimana citra The Ritz di Eropa, seluruh jaringan The Ritz-Carlton di Amerika juga harus punya citra sama, sebuah hotel mewah dengan standar pelayanan emas untuk menampung tamu terhormat. Maka, dia menciptakan standar pelayanan dasar untuk hotelnya. Seluruh karyawan berpakaian seragam, ada kamar mandi pada setiap kamar tamu serta ruangan khusus di lobi, tempat untuk menerima tamu. Karena yang dilayani adalah para ladies and gentlemen, maka sebutan untuk karyawannya, dari tukang angkat koper sampai general manager semua sama, mereka juga disebut ladies and gentlemen.

Kunci sukses pelayanan

Buku The New Gold Standard membahas serta menguraikan kunci sukses pelayanan hotel, agar benar-benar bisa disebut sebagai, ”…mampu memanjakan semua pelanggannya.” Buku yang ditulis Joseph A Michelli PhD ini seyogianya menjadi pegangan untuk semua pengelola hotel. Sebab, isinya bukan perjalanan sejarah kelahiran jaringan hotel mewah The Ritz-Carlton, melainkan petunjuk dasar, bagaimana cara mengelola hotel.

Sesuatu yang harus dipahami, karena Michelli adalah konsultan bisnis pada sejumlah perusahaan raksasa, sejak Bridgestone sampai Nokia. Selain itu, dia juga sudah pernah mengkaji kunci sukses pelayanan kafe melalui buku The Starbucks Experience.

Bekerja dalam industri perhotelan memang menarik, apalagi untuk mereka yang gemar dengan kehidupan mewah. Namun, para calon sering lupa bahwa sekali seseorang memilih profesi tersebut, mereka harus berdedikasi secara tuntas.

”Hotel bukan tempat untuk mereka yang hanya senang bertugas antara pukul 09.00 dan 17.00. Mereka harus sadar, akhir pekan dan masa liburan sering tidak bisa dinikmati dan bukan waktu untuk bersantai dengan keluarga. Sebab, sering terjadi pada saat tersebut mereka justru harus bekerja ekstra demi melayani tamu,” kata Simon Cooper, Presiden The Ritz-Carlton Hotel Company, pengelola 69 hotel mewah sejak di Dubai sampai Dallas, mulai dari Shanghai sampai Santiago. Tahun 2011 mendatang, sasarannya membangun jaringan 100 hotel mewah di seluruh dunia berikut kepemilikan residences (apartemen), kelab, dan properti lainnya.

Ketika tahun lalu topan Katrina mengamuk dan melumpuhkan New Orleans, AS, lebih dari 1.000 tamu hotel terjebak selama lima hari di The Ritz-Carlton. Ternyata, tidak ada karyawan yang mangkir. Mereka semua masuk karena sadar, dalam bencana para tamu lebih memerlukan bantuan sebab mereka bukan penduduk setempat yang tahu tempat untuk melarikan diri.

Tidak berlebihan ketika Simon Cooper melukiskan, ”…para karyawan dan seluruh anggota keluarganya sesungguhnya adalah pahlawan-pahlawan kami. Sebab, mereka tidak melarikan diri dari tanggung jawab, yaitu melayani pelanggan dengan sikap setulus hati.”

Jangan susutkan pelayanan

Zaman terus berlalu dan bisnis berkembang, tahun 1996 Marriot International membeli 49 persen saham Ritz-Carlton. Meski pemiliknya berganti, standar pelayanan tetap dipertahankan untuk bisa menjamin posisi di papan atas industri perhotelan. Bahkan, nama Ritz-Carlton menjadi nama dagang premium untuk kelompok Hotel Marriot.

Akhir tahun 80-an krisis keuangan melanda Amerika, banyak hotel mencoba menyiasati merosotnya tamu dan melemahnya pendapatan dengan cara drastis, tidak menyediakan pasta gigi berikut kembang penghias kamar mandi. Pimpinan puncak The Ritz-Carlton segera mengirim nota kepada semua pimpinan hotelnya di seluruh penjuru dunia berisi peringatan keras, ”…jangan sekali-kali, karena alasan apa pun, kita mengurangi standar pelayanan di hotel kita.”

Salah satu langkah untuk menyamakan langkah serta kebijakan agar bisnis hotel mereka tetap bertahan dalam standar pelayanan emas kelas dunia adalah mendirikan ”The Ritz-Carlton Leadership Center”. Sejak tahun 1999 sampai sekarang, sudah sekitar 50.000 karyawan dari semua sudut dunia menjalani latihan bersama sehingga majalah prestisius, Training Magazine, bulan Februari 2007 menyebut Ritz Carlton sebagai the best global training company.

Anggota keluarga besar

Kunci sukses The Ritz-Carlton, tidak peduli apa jabatan dan posisinya, semua karyawan akan diperlakukan sebagai anggota keluarga. Kebijakan tersebut berhasil membangun loyalitas kepada perusahaan. Selain itu, setiap hari semua karyawan selalu menyimpan kartu kredo, tiga langkah pelayanan sebagai inti dasar budaya perusahaan, dalam saku baju seragam mereka. Pertama, ucapkan salam hangat kepada tamu dengan tulus sambil menyebut namanya. Kedua, penuhi semua permintaan pelanggan. Ketiga, sewaktu berpisah, ucapkan selamat jalan dan sebut lagi namanya.

Kredo di atas ikut melengkapi motto The Ritz-Carlton, ”Ladies and Gentlemen serving Ladies and Gentlemen”. Bagi sebagian orang, motto tersebut mungkin dianggap kuno atau terlalu mengada-ada, khususnya pada masa kini yang serba sibuk. Namun, Horst Schulze, bekas Presiden Ritz-Carlton, melukiskan, ”…justru dengan motto tersebut, setiap tamu yang datang ke hotel kami secara otomatis sudah bisa mengharapkan, pasti mendapatkan layanan profesional. Semua staf berinteraksi sejajar, dan pimpinan puncak menjaga ladies dan gentlemen mereka dari segala macam gangguan, sebagaimana layaknya sesama anggota keluarga.”

Kisah sukses Ritz-Carlton bisa dicapai berkat pemilihan karyawan secara cermat lewat proses pendekatan pribadi yang teliti. Begitu lolos, para karyawan kemudian diperlakukan sebagai anggota keluarga, mendapat kesempatan mengembangkan untuk bisa diri, dan diberi kehormatan dengan sebutan ladies dan gentlemen.

Beranikah kita meniru teladan tersebut? (Julius Pour, Wartawan dan Penulis Buku)

0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri