Bagi Rendra, hidup adalah perjuangan. Dalam kasus Indonesia, setiap perjuangan --apa pun-- pastilah punya kadar sebagai perjuangan politik.
Yang menonjol dari jelujur riwayat kehidupan Rendra adalah kenyataan betapa ia hidup dalam lingkungan yang nyaris selalu berkata ''tidak'' kepadanya. Hidup Rendra --sedari kecil-- diabadikan untuk berjuang mengubah ''pen-Tidak-an'' itu agar menjadi ''peng-Iya-an''. Paling tidak, permakluman.
Rendra kecil hidup dan dibesarkan di tengah keluarga yang keras. Ayahnya, Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, adalah sumber pertama perjuangannya. Sang ayah inilah yang dianggapnya kerap menjegal kegairahan yang terus membesarkan Rendra pada fantasi dan imajinasi dengan terus-menerus mendesakkan kaidah-kaidah kehidupan yang rasional, ilmiah juga taat asas. Ayahnya pula yang bahkan meminta pihak sekolah untuk men-skors Rendra yang urakan dan sukar diatur.
Sajak Suto Mencari Bapak, salah satu sajaknya yang terpanjang, adalah bukti otentik perjuangan Rendra dalam menghadapi ''pen-Tidak-an'' yang diterimanya dari sang bapak. Rendra, kepada Romo Mudji Sutrisno, memang akhirnya membeberkan tafsirnya sendiri atas sajak itu, di mana ''bapak di situ bisa ditafsirkan sebagai Tuhan...''
Gaya hidupnya yang mbeling juga bisa dibaca sebagai perjuangannya menghadapi standar moral dan kehidupan yang dianggapnya mengekang kebebasannya sebagai manusia-pencipta. Di sini, ia melanjutkan stereotipe seorang penyair sebagai manusia bebas, pemberontak, juga urakan yang pernah dilakukan dengan penuh-seluruh oleh Chairil Anwar, kendati sajak-sajaknya di era 50-an sendiri menunjukkan pen-Tidak-an atas hegemoni stilistika sajak Chairil yang membekam penyair-penyair (seperti Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Mansur Samin) yang terdiri atas puisi liris yang bergumam dari dalam diri, remang, dan terkadang gelap.
Ketika Rendra akhirnya menggelar sebuah perhelatan menghebohkan bertajuk ''Perkemahan Kaum Urakan'' di Pantai Parangtritis pada 1971, Rendra dengan energi yang paling penuh mengungkapkan perjuangannya menghadapi tatanan kehidupan yang mapan, yang tunduk pada terlampau banyak kaidah dan menggeber ''spirit Ken Arok'' yang --dalam kata-katanya sendiri-- ''dengan kekurangajarannya pada tradisi dan nilai-nilai halus masyarakat, mereka mampu mengungkapkan frustasi dan impian-impian akan perbaikan yang semula terpendam di bawah sadar...''
Bersama momen itulah, menurut saya, Rendra sudah penuh berjuang melawan ''pen-Tidak-an'' yang sedari dini sudah diterimanya di rumah, melalui protagonis sang bapak yang rasional, ilmiah, juga penuh tata. Bersama dengan itu pula, karena merasa sudah penuh melawan ''pen-Tidak-an'' pada ''tradisi dan nilai-nilai halus masyarakat'', Rendra sudah sangat siap memasuki kancah perjuangan baru: melawan ''pen-Tidak-an'' yang kelak akan terus-menerus dialaminya dari rezim penguasa.
Paruh pertama dekade 1970-an, seusai menggelar perhelatan kaum urakan di Parangtritis, Rendra tampil lebih galak dan frontal pada pemerintah. ''Karyanya langsung pada inti kehidupan. Berani berkata putih adalah putih, dan hitam adalah hitam,'' ujar Romo Dick Hartoko, salah seorang sahabat kenalnya.
Sejak itulah, pementasan drama-dramanya dan sajak-sajak yang ditulisnya menjadi mata air yang menginspirasi semangat oposan atas pemerintahan Orde Baru. Jika pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Soekarno sajak-sajak naratif Taufiq Ismail yang seakan jadi ''juru bicara'' gerakan perlawanan atas rezim penguasa, kali ini sajak-sajak Rendra yang menggantikannya.
Rendra memang pernah bicara bahwa intelektual itu mestinya berumah di atas angin. Tapi Rendra tak pernah di sana --kecuali mulai Jumat kemarin. Dia selalu di darat, menulis sajak yang keras, pentas teater dengan persistensi sikap oposan yang keras. Bila perlu berdemo, dan ia juga pernah didemo (tiket pentasnya di Jogja dirasa sangat mahal dan saat ia menerima sokongan dana dari Gatra untuk pementasannya pasca-pembredelan TEMPO).
Rendra, baik itu sajaknya, naskah dramanya, pentas teaternya, bahkan tubuhnya sendiri, adalah sebuah monumen di mana politik dimengerti sebagai perjuangan. Apa arti perjuangan bagi Rendra? Seperti dikatakannya dalam larik yang sangat terkenal: ''perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata''.
Masalahnya, Rendra selalu berkata-kata, terus menulis sajak, dan dengan demikian --inilah tugas dan ''kutukan'' kata-katanya-- ia harus terus berjuang, apa pun arti perjuangan itu, dan di mana pun itu dilakukannya, seturut versi dan perhitungannya sendiri --karena setiap pilihan pastilah bisa didebat sampai tak ada ujung dan pangkalnya.
Barangkali karena kutukan kata-katanya itu pula, di tengah deraan penyakit yang makin keras menghajar di ujung kehidupannya, Rendra kemudian mengambil satu langkah politik yang --sependek pengetahuan saya-- tak pernah dilakukan sebelumnya: mendukung secara terbuka, terang-terangan dan verbal pasangan kandidat presiden tepat di hari pendeklarasian pasangan itu.
Entah apa yang membuat Rendra akhirnya memutuskan untuk secara terbuka, terang-terangan dan verbal mendukung Mega-Pro. Saya menduga, Rendra tahu waktu untuknya sudah akan habis. Dan, mungkin itulah satu-satunya momentum yang masih tersisa di mana ia bisa menghayati politik dengan intensif dan cara yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya, kendati ia terlalu pintar untuk tahu bahwa kali ini ia akan ''kalah''. Inilah momentum terakhir si Burung Merak tua itu masih mencoba mengibas-ngibaskan bulunya.
Ada satu parafrase yang sering diucapkan Rendra, yaitu manjing ing kahanan. ''Manjing ing kahanan itulah, kunci dari apa yang saya hayati terhadap berbagai denyut kehidupan yang tumbuh di sekitar saya,'' ujar Rendra.
Secara harafiah ''kahanan'' berarti ''keadaan'' atau ''situasi''. Tapi, dalam kasus dukungannya yang terbuka dan terang-terangan pada pasangan Mega-Pro pada hari deklarasi, sesuatu yang tak pernah dilakukannya. ''Kahanan'' bisa dibaca pula sebagai ''kejadian'' atau ''L'evenement'' dalam pengertian Alain Badiou: suatu momentum yang berbeda, dramatis, genting, sekaligus menerobos, yang dilakukan dan dihayati para pelakunya sebagai sesuatu yang baru dan berarti; sesuatu yang membangkitkan subjektivitas dan militansi.
Bersama Badiou, kita menemukan politik sebagai sebuah ''kejadian'' yang bukan hanya berbeda, baru, tidak sama dengan sebelum-sebelumnya, tapi juga yang membutuhkan penyikapan dan tindakan yang juga berbeda dari sebelum-sebelumnya. Ironisnya, bagi saya, momentum yang berbeda dan dramatis itu datang kepada Rendra bukan sebagai sesuatu yang sepenuhnya logis secara kalkulasi politis. Di situ, terlihat suatu pilihan yang sangat tersubjektivikasi tapi juga tak sepenuhnya jelas, karena --masih menyebut Badiou-- politik sebagai ''kejadian'' memang tak selamanya datang dari penalaran dan logika yang kokoh nan keras. Kadang terasa centang-perenang tapi jelas dalam pandangan sang subjek, juga kerap berbauran dengan kerinduan yang kuat.
Di ujung orasinya di Bantargebang, Rendra bertanya kepada massa yang hadir: ''Setujukah kalian dengan Mega-Pro?'' Kita tahu, pertanyaan itu dijawab ''tidak'' oleh mayoritas pemilih. Pada momen pertama sekaligus terakhir di mana ia menghayati politik dengan cara yang berbeda, kepak bulu Merak yang sudah menua itu memang sudah terlampau lemah. Politik, seperti pernah disebut Max Weber, adalah pengeboran kayu keras yang sulit dan lama. Kayu Indonesia ternyata memang sangat keras dan alot, bahkan untuk seorang Rendra sekali pun.
Momen epifani itu pun datang: Saat ia baru saja ''di-Tidak-kan'' oleh mayoritas pemilih, setelah sebelumnya bertahun-tahun ia kenyang ''di-Tidak-kan'' oleh penguasa. Dalam situasi itulah ia ''meng-IYA-kan'' maut, pergi menghadap ''Tuhan yang Maha Faham'' (istilah yang digunakan Rendra dalam sajaknya Doa di Jakarta), yang kepada-Nya Rendra tak mungkin ditolak dan di-Tidak-kan. [jawapos]
0 comments:
Post a Comment