PADA awal Januari 2010 ini, terbit satu buku seni rupa yang berjudul Taring Padi: Praktik Budaya Radikal di Indonesia (LKiS, 2010; 191 hlm). Buku karangan Heidi Arbuckle ini menambah deretan buku yang memaparkan gerakan seni (rupa) kerakyatan di mana dua tahun sebelumnya seniman Sanggar Bumi Tarung mengeluarkan ''buku putih'' mereka dengan judul Amrus Natalsya dan Bumi Tarung (2008). Sementara itu, Moelyono, perupa radikal ISI yang terkenal dengan ''Koperasi Unit Seni''-nya pada era 80-an, sudah jauh hari memperkuat jejak seni kerakyatan dengan mengeluarkan buku Seni Rupa Penyadaran (Bentara Budaya, 1997; 120 hlm) dan Pak Moel Guru Nggambar (Insist Press, 2005; 75 hlm).
Seni rupa kerakyatan memang tak pernah kehabisan peminat di Jogjakarta. Bukan saja karena di kota ini pertama genre seni itu diproklamasikan dan diekspresikan sedemikian keras kepalanya oleh Sindudarsono Soedjojono dkk sejak medio dasawarsa 1930-an, melainkan juga imajinasi tentang seni berbasis publik diujicobakan berkali-kali dengan beragam artikulasinya di masa ketika seni kontemporer menguasai jagat berkesenian Jogja. Mulai dari ''kiri-tengah'' seperti yang dipraksiskan Samuel Indratma dengan proyek Jogja Mural Forum yang mengusungi jargon politik dengan riang gembira: ''revolusi kulonuwun'' hingga ''kiri-dalam/progresif'' seperti yang dipraksiskan Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi dengan tangan terkepal meninju langit yang bersemangat ''revolusi belum selesai'' sebagaimana dipraktikkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) puluhan tahun sebelumnya.
Imaji tentang posisi gerak seni Taring Padi yang bersandar pada kerja Lekra itu sudah tercium sejak pertama dideklarasikan pada 2 Desember 1998 di LBH Jogjakarta oleh Yustoni Volunteero dkk. Sejak dari menamai manifesto politik berkeseniannya dengan ''Mukadimah'' dan judul selebaran propaganda tentang siapa musuh yang harus ditonjok: ''Lima Iblis Budaya''.
Dalam genealogi sejarah seni rupa kritis pasca-Orde Baru, tak bisa dibantah bahwa Taring Padi adalah ''pewaris sah'' imajinasi seni rupa seniman Lembaga Seni Rupa (Lesrupa/Lekra) yang terakhir kali mengadakan sidang pleno pada Juli 1965 dan semua program seni kerakyatannya sungsang oleh prahara ''Gestok''.
Taring Pading dalam posisi ini tak boleh dicibir sebagai ''cah nakal'' ISI lantaran kemunculan mereka dengan posisi tegas dan imajinasi sejarah yang juga tak kalah tegasnya. Heidi Arbuckle dalam buku Taring Padi dengan sangat baik membantu kita melihat detail-detail sikap berkesenian Taring Padi pada tiga tahun awal berdirinya. Bahkan hingga pada amatan kehidupan sehari-hari aktivisnya: ''di bekas kampus ASRI, Gampingan, Jogjakarta... mereka berbagi tugas-tugas harian seperti memasak, mencuci, dan merawat kebun sayur swadaya" (Heidi, 2010: 73).
Menurut doktor lulusan Universitas Melbourne Australia itu, dalam pengorganisasian seninya, Taring Padi tak sementereng Lekra, dan bahkan menurut saya, Sanggar Bumi Tarung sekalipun. Ini disebabkan Taring Padi sama sekali tak memiliki akses atau patron negara dan partai seperti yang dimiliki pendahulunya. Untuk mempraktikkan produksi seni ber-''komitmen sosial'', Taring Padi hanya mengandalkan jejaring budaya kiri-progresif yang terpecah-pecah.
Kepada jaringan nirnegara dan partai politik itulah Taring Padi mendesakkan praksis berkeseniannya yang berangkat pada ''kesadaran populer'' dan pentingnya ''berpihak kepada rakyat'' (bandingkan dengan kata ''rakyat'' yang dipakai Taring Padi, sementara Apotek Komik dan JMF yang justru lebih ''nyaman dan baik-baik saja'' memakai kata ''publik'').
Taring Padi sangat sadar bahwa ''seni untuk rakyat'' adalah gabungan yang konsisten antara ***karya yang politik dan tindakan yang politik***. Yang diutamakan dari teori progresif anutan Taring Padi ini adalah implikasi politik, bukan implikasi estetiknya. Karena dalam produksi seni, banyak sekali dijumpai karya yang politik, namun tindakan sehari-hari perupanya jauh dari politik, dan bahkan malah apolitis.
Lantaran itu kita menemukan teknik memproduksi karya Taring Padi sebangun dengan sikap-sikap itu. Selain mengabaikan penonjolan individu, kebanyakan karya rupa Taring Padi berupa baliho atau spanduk, poster cukil-kayu, figur-figur wayang, dan selebaran populer Terompet Rakyat yang terbit berkesinambungan di mana kerja-kerja itu lebih menonjolkan kerja kolektivitas dan propaganda yang ''berimplikasi politik''.
Turba atau ''turun ke bawah'' kemudian menjadi kata kunci berkarya. Turba yang ditafsir Taring Padi adalah menggelar aksi-aksi bersama. Bukan hanya bersama organisasi mahasiswa dalam kasus pembakaran patung Soeharto 1998 (Heidi, 2010: 40-41) dan aksi keranda kematian bagi Soeharto-Habibie-Wiranto 1999 (Heidi, 2010: 94-95); berbaur dengan kelompok musik marginal dalam aksi ''Proklamasi Kemanusiaan'' (Heidi, 2010: 104-105), bareng LSM internasional dalam Konferensi Asia Pasifik (Heidi, 2010: 106-107); melainkan juga menggelar Festival Memedi Sawah di areal persawahan petani Delanggu (Heidi, 2010: 126-34) dan aksi protes penggunaan pestisida petani Magelang dan Boyolali (Heidi, 2010: 124) atau yang paling mutakhir bergabung dengan rakyat Gunung Kidul memprotes penambangan pasir besi.
Dalam aksi-aksi itu, poster dan baliho Taring Padi menjadi demikian menonjol. Tak hanya besarnya ukuran, masalnya produksi, tapi juga kata-kata sarkas yang meninju. Bahkan, salah satu karya para perupa Taring Padi yang saya kira bisa menjadi ikon seni rupa adalah baliho berukuran raksasa petani berdiri berjajar-jajar yang menjadi latar pertemuan Konferensi Asia Pasifik pada 1999. Usai pergelaran kelompok antiimperialisme dari pelbagai ornop itu, karya ini dipotong-potong dan dibagikan kepada peserta asing yang mengikuti konferensi tersebut. Saya kira upacara ''pelenyapan karya politis untuk tindakan politis'' atas karya itu sikap luar biasa, dan bahkan tak setara jika dibandingkan dengan perupa Tisna Sanjaya misalnya yang pada penutupan 2009 membakar karyanya sendiri untuk dilarung di Pantai Klungkung, Bali.
Dalam bersikap dengan pasar dan segala abstraksinya, Taring Padi juga meneguhkan pendirian. Selain melakukan penentangan secara muka-muka dengan galeri-galeri komersial seperti Cemeti Art House (Heidi, 2010: 87-90) dan kelompok Apotek Komik (Heidi, 2010: 62), bahwa karya-karya ''asli'' Taring Padi seperti baliho dan wayang sama sekali tak boleh dijual. Yang boleh dijual -itu pun secara loakan dan bukan distro mapan dan resik- hanyalah karya yang mudah direproduksi seperti cukil berbentuk poster, stiker, pin, kaus, dan semua yang bersifat cenderamata.
Bagi Taring Padi, baliho adalah ikon dan sekaligus ''bendera'' untuk aksi-aksi advokasi dan representasi visi kolektif yang diproduksi dengan skala raksasa (Heidi, 2010: 160-161).
Tapi tendensi radikal Taring Padi yang direkam Heidi, menurut saya, hanya berlaku untuk Taring Padi di awal-awal berdirinya ketika euforia reformasi sedang di ujung kepalan tangan. Namun saat praktik demokratisasi berdetak keras, kanal kebebasan pers dibuka seluasnya, militer kembali ke barak, pemerintah kota mulai ''ramah'', Taring Padi pun perlahan gamang dan aktivis-aktivisnya mau tidak mau harus melakukan reposisi diri dan ideologi yang dipundakinya dengan badan tegak.
Tak heran kemudian kronik Almanak Seni Rupa Jogja mendeteksi bagaimana para peletak dasar ideologi ''kiri progresif'' atau ''seni kerakyatan'' Taring Padi kompromi dengan galeri-galeri komersial. Misalnya, Surya Wirawan pada 5 Desember 2008 menggelar pameran tunggal di Kedai Kebun Forum Jogjakarta (saudara sepupu Cemeti Art House yang dikecam Taring Padi habis-habisan sebagai salah satu ''iblis budaya'') (Almanak, 2009: 289). Sebut juga Arya Pandjalu yang bukan hanya berpameran di galeri komersial, tapi juga ikut dalam program residensi (Landing Soon #1) yang diselenggarakan Cemeti Art House yang bekerja sama dengan Heden, Den Haag di Belanda, 1 November 2006 hingga 31 Januari 2007 (Almanak, 2009: 251).
Atau presiden pertama Taring Padi Yustoni Volunteero yang pada 14 Juni 2008 menggelar 17 karyanya di Galeri Biasa (Almanak, 2009: 276); sebuah galeri di Jogjakarta yang menurut saya tak punya sama sekali rekam jejak mengongkosi gerakan-gerakan petani melawan angkara imperialisme global dengan jalan seni rupa. Namun, yakinlah ''iblis budaya'' ini sangat ''ramah'' dan giat memamerkan karya-karya seniman-seniman belia. Dan kini, secara kelembagaan, Taring Padi mengikuti Biennale Jogja X yang jelas-jelas diongkosi pemerintah kota dan sederet sponsor penjaja komersialisme dan dikuratori oleh pentolan ''musuh''-nya, Samuel ''Apotek Komik'' Indratma.
Anggap saja sikap itu pendiri dan ideolog Taring Padi sebagai taktik-strategi menghadapi arus pasar seni rupa yang ''susah untuk tak diterima''. Hari-hari ini, Taring Padi berusaha bertahan, belajar adaptif, dan sesekali mengirimkan pukulan. Dan selemah-lemahnya pukulan adalah doa. [jawapos]
maztrie
Seni rupa kerakyatan memang tak pernah kehabisan peminat di Jogjakarta. Bukan saja karena di kota ini pertama genre seni itu diproklamasikan dan diekspresikan sedemikian keras kepalanya oleh Sindudarsono Soedjojono dkk sejak medio dasawarsa 1930-an, melainkan juga imajinasi tentang seni berbasis publik diujicobakan berkali-kali dengan beragam artikulasinya di masa ketika seni kontemporer menguasai jagat berkesenian Jogja. Mulai dari ''kiri-tengah'' seperti yang dipraksiskan Samuel Indratma dengan proyek Jogja Mural Forum yang mengusungi jargon politik dengan riang gembira: ''revolusi kulonuwun'' hingga ''kiri-dalam/progresif'' seperti yang dipraksiskan Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi dengan tangan terkepal meninju langit yang bersemangat ''revolusi belum selesai'' sebagaimana dipraktikkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) puluhan tahun sebelumnya.
Imaji tentang posisi gerak seni Taring Padi yang bersandar pada kerja Lekra itu sudah tercium sejak pertama dideklarasikan pada 2 Desember 1998 di LBH Jogjakarta oleh Yustoni Volunteero dkk. Sejak dari menamai manifesto politik berkeseniannya dengan ''Mukadimah'' dan judul selebaran propaganda tentang siapa musuh yang harus ditonjok: ''Lima Iblis Budaya''.
Dalam genealogi sejarah seni rupa kritis pasca-Orde Baru, tak bisa dibantah bahwa Taring Padi adalah ''pewaris sah'' imajinasi seni rupa seniman Lembaga Seni Rupa (Lesrupa/Lekra) yang terakhir kali mengadakan sidang pleno pada Juli 1965 dan semua program seni kerakyatannya sungsang oleh prahara ''Gestok''.
Taring Pading dalam posisi ini tak boleh dicibir sebagai ''cah nakal'' ISI lantaran kemunculan mereka dengan posisi tegas dan imajinasi sejarah yang juga tak kalah tegasnya. Heidi Arbuckle dalam buku Taring Padi dengan sangat baik membantu kita melihat detail-detail sikap berkesenian Taring Padi pada tiga tahun awal berdirinya. Bahkan hingga pada amatan kehidupan sehari-hari aktivisnya: ''di bekas kampus ASRI, Gampingan, Jogjakarta... mereka berbagi tugas-tugas harian seperti memasak, mencuci, dan merawat kebun sayur swadaya" (Heidi, 2010: 73).
Menurut doktor lulusan Universitas Melbourne Australia itu, dalam pengorganisasian seninya, Taring Padi tak sementereng Lekra, dan bahkan menurut saya, Sanggar Bumi Tarung sekalipun. Ini disebabkan Taring Padi sama sekali tak memiliki akses atau patron negara dan partai seperti yang dimiliki pendahulunya. Untuk mempraktikkan produksi seni ber-''komitmen sosial'', Taring Padi hanya mengandalkan jejaring budaya kiri-progresif yang terpecah-pecah.
Kepada jaringan nirnegara dan partai politik itulah Taring Padi mendesakkan praksis berkeseniannya yang berangkat pada ''kesadaran populer'' dan pentingnya ''berpihak kepada rakyat'' (bandingkan dengan kata ''rakyat'' yang dipakai Taring Padi, sementara Apotek Komik dan JMF yang justru lebih ''nyaman dan baik-baik saja'' memakai kata ''publik'').
Taring Padi sangat sadar bahwa ''seni untuk rakyat'' adalah gabungan yang konsisten antara ***karya yang politik dan tindakan yang politik***. Yang diutamakan dari teori progresif anutan Taring Padi ini adalah implikasi politik, bukan implikasi estetiknya. Karena dalam produksi seni, banyak sekali dijumpai karya yang politik, namun tindakan sehari-hari perupanya jauh dari politik, dan bahkan malah apolitis.
Lantaran itu kita menemukan teknik memproduksi karya Taring Padi sebangun dengan sikap-sikap itu. Selain mengabaikan penonjolan individu, kebanyakan karya rupa Taring Padi berupa baliho atau spanduk, poster cukil-kayu, figur-figur wayang, dan selebaran populer Terompet Rakyat yang terbit berkesinambungan di mana kerja-kerja itu lebih menonjolkan kerja kolektivitas dan propaganda yang ''berimplikasi politik''.
Turba atau ''turun ke bawah'' kemudian menjadi kata kunci berkarya. Turba yang ditafsir Taring Padi adalah menggelar aksi-aksi bersama. Bukan hanya bersama organisasi mahasiswa dalam kasus pembakaran patung Soeharto 1998 (Heidi, 2010: 40-41) dan aksi keranda kematian bagi Soeharto-Habibie-Wiranto 1999 (Heidi, 2010: 94-95); berbaur dengan kelompok musik marginal dalam aksi ''Proklamasi Kemanusiaan'' (Heidi, 2010: 104-105), bareng LSM internasional dalam Konferensi Asia Pasifik (Heidi, 2010: 106-107); melainkan juga menggelar Festival Memedi Sawah di areal persawahan petani Delanggu (Heidi, 2010: 126-34) dan aksi protes penggunaan pestisida petani Magelang dan Boyolali (Heidi, 2010: 124) atau yang paling mutakhir bergabung dengan rakyat Gunung Kidul memprotes penambangan pasir besi.
Dalam aksi-aksi itu, poster dan baliho Taring Padi menjadi demikian menonjol. Tak hanya besarnya ukuran, masalnya produksi, tapi juga kata-kata sarkas yang meninju. Bahkan, salah satu karya para perupa Taring Padi yang saya kira bisa menjadi ikon seni rupa adalah baliho berukuran raksasa petani berdiri berjajar-jajar yang menjadi latar pertemuan Konferensi Asia Pasifik pada 1999. Usai pergelaran kelompok antiimperialisme dari pelbagai ornop itu, karya ini dipotong-potong dan dibagikan kepada peserta asing yang mengikuti konferensi tersebut. Saya kira upacara ''pelenyapan karya politis untuk tindakan politis'' atas karya itu sikap luar biasa, dan bahkan tak setara jika dibandingkan dengan perupa Tisna Sanjaya misalnya yang pada penutupan 2009 membakar karyanya sendiri untuk dilarung di Pantai Klungkung, Bali.
Dalam bersikap dengan pasar dan segala abstraksinya, Taring Padi juga meneguhkan pendirian. Selain melakukan penentangan secara muka-muka dengan galeri-galeri komersial seperti Cemeti Art House (Heidi, 2010: 87-90) dan kelompok Apotek Komik (Heidi, 2010: 62), bahwa karya-karya ''asli'' Taring Padi seperti baliho dan wayang sama sekali tak boleh dijual. Yang boleh dijual -itu pun secara loakan dan bukan distro mapan dan resik- hanyalah karya yang mudah direproduksi seperti cukil berbentuk poster, stiker, pin, kaus, dan semua yang bersifat cenderamata.
Bagi Taring Padi, baliho adalah ikon dan sekaligus ''bendera'' untuk aksi-aksi advokasi dan representasi visi kolektif yang diproduksi dengan skala raksasa (Heidi, 2010: 160-161).
Tapi tendensi radikal Taring Padi yang direkam Heidi, menurut saya, hanya berlaku untuk Taring Padi di awal-awal berdirinya ketika euforia reformasi sedang di ujung kepalan tangan. Namun saat praktik demokratisasi berdetak keras, kanal kebebasan pers dibuka seluasnya, militer kembali ke barak, pemerintah kota mulai ''ramah'', Taring Padi pun perlahan gamang dan aktivis-aktivisnya mau tidak mau harus melakukan reposisi diri dan ideologi yang dipundakinya dengan badan tegak.
Tak heran kemudian kronik Almanak Seni Rupa Jogja mendeteksi bagaimana para peletak dasar ideologi ''kiri progresif'' atau ''seni kerakyatan'' Taring Padi kompromi dengan galeri-galeri komersial. Misalnya, Surya Wirawan pada 5 Desember 2008 menggelar pameran tunggal di Kedai Kebun Forum Jogjakarta (saudara sepupu Cemeti Art House yang dikecam Taring Padi habis-habisan sebagai salah satu ''iblis budaya'') (Almanak, 2009: 289). Sebut juga Arya Pandjalu yang bukan hanya berpameran di galeri komersial, tapi juga ikut dalam program residensi (Landing Soon #1) yang diselenggarakan Cemeti Art House yang bekerja sama dengan Heden, Den Haag di Belanda, 1 November 2006 hingga 31 Januari 2007 (Almanak, 2009: 251).
Atau presiden pertama Taring Padi Yustoni Volunteero yang pada 14 Juni 2008 menggelar 17 karyanya di Galeri Biasa (Almanak, 2009: 276); sebuah galeri di Jogjakarta yang menurut saya tak punya sama sekali rekam jejak mengongkosi gerakan-gerakan petani melawan angkara imperialisme global dengan jalan seni rupa. Namun, yakinlah ''iblis budaya'' ini sangat ''ramah'' dan giat memamerkan karya-karya seniman-seniman belia. Dan kini, secara kelembagaan, Taring Padi mengikuti Biennale Jogja X yang jelas-jelas diongkosi pemerintah kota dan sederet sponsor penjaja komersialisme dan dikuratori oleh pentolan ''musuh''-nya, Samuel ''Apotek Komik'' Indratma.
Anggap saja sikap itu pendiri dan ideolog Taring Padi sebagai taktik-strategi menghadapi arus pasar seni rupa yang ''susah untuk tak diterima''. Hari-hari ini, Taring Padi berusaha bertahan, belajar adaptif, dan sesekali mengirimkan pukulan. Dan selemah-lemahnya pukulan adalah doa. [jawapos]
maztrie
0 comments:
Post a Comment