Sunday, February 7, 2010

''Kabar Burung'' Garuda

DI pekan terakhir Januari 2010, muncul insiden kecil terhadap burung garuda. Bukan insiden ''biasa'' sebetulnya karena mengundang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar unjuk komentar.

Insiden itu dipicu rumah mode Giorgio Armani yang memakai gambar garuda ''mirip'' lambang negara Indonesia sebagai image dalam salah satu seri kausnya. Dan, kaus itu, alamak, harganya dibanderol mahal di mal-mal Jakarta: USD 42 (setelah ada kehebohan, harganya melambung jadi Rp 650 ribu). Bandingkan dengan kaus kesebelasan PSSI-Garuda yang hanya Rp 40 ribu dan masih bisa ditawar.

Sang menteri menyayangkan kelakuan A|X Armani Exchange yang keterlaluan itu karena, kata dia, ada unsur paten di sana. Juga, Armani dituduh ''memodifikasi'' lambang sakral negara itu. Sang menteri bahkan berjanji memanggil para pakar hukum untuk menganalisis perbuatan Armani tersebut.

Jauh sebelum insiden Armani itu, kabar soal burung satu ini sudah lama menjadi ''kabar burung'' dalam mahkamah sejarah. Itu tak pernah (di)selesai(kan) pemegang otoritas hingga hari ini. Misalnya, belum jelas jawaban siapa sebetulnya konseptor logo lambang negara itu. Ada yang bilang Mohammad Yamin karena kepakarannya pada hal-hal berbau mitologi. Ada yang bilang Sultan Hamid II karena menjadi koordinator Panitia Lencana Negara. Lalu, muncul nama perupa Basuki Resobowo yang disebut-sebut sebagai pemenang lomba sayembara membuat lambang negara pada 1947 lewat organisasi SIM, Pelukis Rakyat, PTPI, dan KPP bagian kesenian. Juga, perupa Prancis D. Ruhl Jr yang dijagokan Bung Karno karena paham semiotik dan namanya ada dalam isi nota pengantar Sultan Hamid II kepada Soekarno tertanggal 20 Maret 1950 saat menyerahkan sketsa terakhir bikinan Ruhl sebelum mendapatkan sentuhan terakhir perupa istana Dullah.

Nama Sultan Hamid II dan Basuki Resobowo, kita tahu, memang (di)hilang(kan) lantaran ''kelakuan'' mereka dalam arus sejarah. Sultan Hamid II terlibat dalam ''Pemberontakan Pejambon'' 1950 dan Basuki adalah perupa Lekra dan dekat dengan PKI yang jadi bahaya laten sejak 30 September 1965.

Belum lagi soal dosa ''modifikasi'' yang ditudingkan ke Armani yang kemudian mengingatkan saya pada buku perupa yang concern dengan isu burung garuda dan pencitraan visualnya, yakni Nanang R. Hidayat, Mencari Telur Garuda (Nalar, 2008). Buku itu meriset bagaimana burung garuda diperlakukan dan dicitrakan kembali oleh publik (di gang-gang kampung, sekolah, baju, uang, kantor pemerintah, dan sebagainya).

Jadi, untuk mencari dosa modifikasi tak usah jauh-jauh menuding Armani. Masuk saja ke Istana Negara. Merujuk pada Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951, tulis Nanang (2008: 54), jelas ada ''pelanggaran'' pakem di sana. Selain bentuknya tiga dimensi, mulut burung di istana terbuka terlalu lebar dan terkesan gahar sekali. Bandingkan dengan mural garuda karya seniman di daerah Mantrijeron Jogja yang matanya merem, mulut manyun terkatup, dan terkesan sangat baby face. Tapi, garuda di Istana Negara dan mural di Mantrijeron itu tak mengikuti kaidah aturan.

Modifikasi garuda juga terdapat pada logo Perbakin (Persatuan Menembak Indonesia). Sekilas tampak seperti garuda, tapi perisainya diganti dengan tulisan ISHA dan sang garuda tak mencengkeram pita, melainkan bedil.

Di program plesetan BBM (versi Indosiar) bahkan logonya sangat ekstrem: mengganti garuda dengan burung hantu dengan pose yang sama. Acara kloningnya, Republik Mimpi (versi Metro TV), logonya garuda hitam dengan pose sayap kanan menekuk ke arah kiri.

Juga, lambang Harley-Davidson di Indonesia yang bergambar burung elang, tapi perisainya bergambar Pancasila. Sebut saja modifikasi dari perkawinan dua kultur ini sebagai Pancasila Indo (Indonesia-Amerika).

Deformasi burung garuda juga bisa dilihat di salah satu gapura Kota Gede Jogja (Nanang, 2008:55). Tapi, kakai gambar burung itu mengangkang terlalu lebar sehingga tak kokoh sama sekali. Dan, nasib garuda di situ memang terlihat sengsara: sayapnya patah dan leher terjerat kawat (bandingkan dengan burung Armani yang modis dengan harga internasional).

Atau, tengok salah satu atap POM bensin di Jalan Bantul Jogja (Nanang, 2008:131). Leher garuda di situ panjang dan menjulur ke bawah, seperti sedang melihat orang lalu-lalang mengisi bensin/solar di bawah. Tapi, tak punya dua sayap (karena patah). Letaknya diapit angka 17 dan 8.

Di gapura Dukuh Kebondalem, Pendowo, Bantul, berdiri garuda yang jika diamati seksama lebih mirip Gatotkaca ketimbang burung garuda: tubuh kekar, mata melotot, wajah menatap lurus (tak meleng ke kanan seperti umumnya), dan bercelana hitam selutut. Macho sekali.

Modifikasi yang lebih berani adalah baju seragam Korpri. Garuda dengan perisainya sudah dikosongkan dari lima sila Pancasila. Juga, tak ada pita Bhinneka Tunggal Ika dan bulu sayapnya hanya 14.

Demikian juga logo Visit Indonesia Year 2008. Logo itu sekilas merupakan kumpulan garis lengkung warna-warni. Namun, dilihat secara seksama, konfigurasi garis itu menyerupai seekor burung yang punya bulu-bulu panjang bergelung-gelung yang merupakan jelmaan dari lambang Garuda Pancasila.

Adalah maestro patung Edhi Sunarso yang bisa disebut sebagai penetas produktif telur garuda. Bahkan, dia yang pekerjaannya membikin patung tiga dimensi menuai kontroversi ketika menerima proyek dari Kementerian Dalam Negeri. Tapi, karena terlihat gagah, instansi lain ikut-ikutan. Termasuk, DPR/MPR yang mengorder pematung G. Sidharta untuk membikin garuda dengan bentangan sayap 250 cm yang sudah melanggar kaidah skala seperti kita lihat saat ini di ruang sidang.

Garuda yang lain melakukan pelanggaran skala serupa adalah garuda di Lubang Buaya. Edhi Sunarso mengatakan tak lagi mengikuti skala yang ditentukan undang-undang. Sayap garuda buatannya memang terlihat mengembang lebar.

Menurut Nanang (2008:53), lambang negara yang sebelumnya didesain sebagai simbol negara yang memiliki aturan standar dan hukuman bagi yang melanggarnya (PP No 43 Tahun 1958 pasal 13) malah dinikmati tak ubahnya karya seni rupa yang terkadang dua dimensi, relief, dan atau tiga dimensi lengkap dengan gayanya: realis, surealis, futuristis, kartun, minimalis, kontemporer, dan sebagainya.

Jadi, jika Armani melakukan modifikasi -sebagaimana Harley-Davidson- disyukuri saja sebagai apresiasi. Sebab, jangan-jangan desainer Armani tak sedang terinspirasi dengan garuda Indonesia, tapi burung (garuda) di banyak logo negara lain. Sebab, kita tahu logo burung raksasa juga dipakai Thailand, Amerika Serikat, Armenia, Austria, Rumania, Moldova, Serbia, Emirat Arab, Yaman, Sudan, Mesir, Iran, dan Libya sebagai lambang negara mereka. [jawapos]
maztrie
Creative Commons License

0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri