Saturday, June 11, 2011

[ulang tahun] daun sebagai wadah tumpeng dan bubur tujuh rupa

Kalau kita melihat budaya barat dalam merayakan kesenangan biasanya menggunakan media makanan atau minuman, yaitu sebagai contoh adalah  champagne salah satunya, maka kita warga Indonesia ini entah kesepakatan dari mana tetap menggunakan acara (media) tumpengan sebagai lambangnya.

Yah, tumpeng sepertinya sudah identik dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Terbukti beberapa saat lalu ketika seorang teman saya merayakan ulangtahunnya di Belgia juga memamerkan sebongkah nasi berujud tumpeng.

Tumpeng adalah salah satu jenis makanan  berasal dari nasi yang dipresentasi-kan  berbentuk kerucut. Sejatinya bentuk kerucut itu tak lain adalah tumpukan nasi yang  menjulang ke atas.  Sementara wujud mengerucut keatas itu menyimpan pesan dan harapan agar kehidupan kita pun semakin “naik” dan menuju arah yang lebih  “tinggi”. Dengan alasan itulah bentuk kerucutwajib dipertahankan dan tidak tepat kalau harus diubah kedalam bentuk lain sekalipun hal itu teramat mungkin dilakukan agar menjadi indah dipandang dalam bentuk baru.

Membaca pokok bahasan “tumpeng” dalam acara ulang-tahun ini, semoga teman-teman akan sedikit berkenan serta merasa pas jika harus saya hubungkan dengan sajian  bubur (jenang) tujuh rupa. Yaitu satu sajian bubur yang biasanya diadakan pada saat mengadakan ritual “selapanan” bayi. Selapan sama dengan peringatan 35 hari, dimana pada hari ke-35 itu diistilahkan juga dengan “weton bayi” atau hari lahir bayi tepat dengan hari Masehi pun hari pasaran. Macam bubur tujuh rupa itu adalah,
  1. jenang abang
  2. jenang putih
  3. jenang abang dengan palang putih
  4. jenang putih berpalang abang
  5. jenang baro-baro (jenang putih yang ditaburi parutan kelapa dan irisan gula jawa)
  6. satu cawan berisi separoh jenang abang dan separoh jenang putih
  7. satu cawan jenang putih yang juga diselingi sedikit jenang abang
Pada dasarnya bubur tujuh rupa itu dibuat dari (dua) bahan dasar beras yang diberikan warna yaitu merah dan putih, disajikan dalam berbagai macam kreasi menjadi tujuh warna.  Dua warna itu mengandung maksud, warna merah adalah lambang ibu, sementara warna bubur putih sebagai simbul Bapak. Terjadi hubungan salang menyilang, simbiosis-mutualis ( timbal-balik), selanjutnya muncullah bubur baro-baro sebagai kelahiran seorang anak. Tersirat didalamnya tentang asal usul sebagai media pengingat agar kita sebagai anak ini jangan pernah durhaka kepada orang tua. Terlahir dengan penyertaan ikhwal lain yang berjumlah tujuh rupa itu jugalah maka yang juga semakin menguatkan tentang 'sedulur papat lima pancer, kakang kawah adhi ari-ari'.

Satu hal yang kali ini ingin saya jadikan sebagai titik bidik adalah keberadaan daun-daunan yang berwarna hijau. Ada daun bayem sebagai bahan sayuran mengandung makna berarap agar hidup mampu menjadi "ayem", atau ada daun kangkung yang mampu hidup didua tempat, darat dan air. Maka itu melambangkan agar kita manusia ini harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apa pun jua. 

Selain itu, tumpeng pun bubur tujuh rupa disajikan pula dengan menggunakan alas daun pisang sebagai pelapis wadah (tambir)nya. Mungkin awalnya memang karena pada saat dahulu kala hanya ada daun pisang yang cocok digunakan sebagai alasnya. Namun ketika kita bisa memaknai lembaran daun pisang bukankah daun pisang itu sendiri memberikan banyak bahan pelajaran buat kita, bisa digunakan menutupi pun melindungi hal lain yang memang sedang butuh. 

Dan ketika kita bicara daun secara umum, semoga tak dianggap hanya othak-athik-gathuk yang tanpa alasan pasti dalam melihat dibalik makna tersebut. Bahwa tak terelakkan daun itu sendiri menyiratkan perputaran hidup kita, keberadaan daun juga berrotasi, setelah daun yang tua berguguran, daun yang muda pun musti mengganti peranannya, yaitu juga menjadi sumber hidup satu pohon karena telah mengumpulkan energi yang diberikan oleh Sang Surya. Tak berhenti disini, daun yang telah gugur bakalan jatuh kebawah dan akan menyatu dengan tanah menjadi kompos, selanjutnya kompos  yang ada itu bakalan menjadi pupuk dan sumber penghidupan si pohon, selalu berputar begitu seterusnya.

Maka, tatkala kita mengambil pemaknaan dari daun tersebut, kita tak ubahnya mereka, bahwa hidup kita ini toh teramat pantas kalau harus dikondisikan sebagai cermin dari bahan pijakan (alas), dimana disinilah terdapat beberapa lembar tulisan sebagai wadah dan atau tempat yang bisa kita jinjing layaknya tas.  Bisa kita tenteng kesana kemari, ada yang musti kita saring dan bawa sebagai bahan pun beban pada bagian tertentu, namun bukan berarti pada bagian (saku) tas lainnya dengan serta merta lalu seenaknya dibuang begitu saja.  Kesabaran me-manage nafsu serta kesadaran menyimpulkan makna akan bergantung pada pilihan diri-sendiri pada tas yang akan kita tenteng pun bawa.

Teruntuk DM yang hari ini sedang berulang-tahun,  saya ucapkan "Selamat Ulang Tahun yaaa, wish you get luck in your future endeavors"...  Dan semoga tas-tas yang adik jinjing penuh dengan makna dalam menjadikan hidup ini menjadi sebenar-benarnya manusia.  Terimakasih untuk uluran iklas persahabatannya selama ini. [uth]

_________________________________
Ilustrasi:


0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri