Friday, May 8, 2009

WAJAH-WAJAH MANGUNWIJAYA

Nama YB. Mangunwijaya, atau yang dikenal dengan panggilan Romo Mangun, pastilah orang mengenal. Juga, setidaknya, mengenali wajahnya. Sosok yang dikenal sebagai budayawan, pastor dan arsitek ini memang telah tiada. Untuk memperingati 80 tahun Mangunwijaya, kelompok Sepi dan YPR –Yayasan Pondok Rakyat—mengadakan pameran seni rupa yang diberi tajuk ‘MeMangun’, Sabtu (2/5) sampai 8 Mei di Karta Pustaka, Bintaran Tengah 16, Yogyakarta.

Wajah-wajah mangun ditorehkan kedalam kanvas dalam berbagai macam ekspresi. Namun umumnya menyerupai pas foto. Artinya, wajah Mangun yang dihadirkan hanya bagian muka sampai batas dada. Ada ‘wajah’ Mangun dalam usia yang sudah mulai tua, ada juga ‘wajah’ Mangun yang kelihatan muda. Ada juga mesin ketik, piranti yang dipakai Mangun untuk menghasilkan karya sastra dan sejumlah tulisan lain. Selain itu, dihadirkan sosok-sosok orang kecil yang dibela oleh Mangunwijaya.

Dalam kata lain, pameran seni rupa ‘MeMangun’ menyajikan karya seni rupa yang merepresentasikan segala aktivitas Mangunwijaya berikut wujud komitmennya. Namun, lukisan yang berjudul ‘Masih Ada Sesuatu’ karya Dwi Haryanto, yang menyajikan visual kacang kulit, separuh diantaranya kelihatan isinya, terasa sangat simbolik dan sulit sekali dicari titik temunya dengan Mangun. Berbeda dengan karya-karya yang lain, meski tidak menampilkan ‘wajah’ Mangun, tetapi wujud visualnya, seperti ‘Balada Tiga Roda’ karya Nurbito yang menghadirkan tukang becak, bisa ditemukan titik sambungnya, ialah komitmen Mangun terhadap orang-orang kecil.

Wajah-wajah Mangun memang mengingatkan sosok Romo Mangunwijaya, misalnya lukisan karya Rusli yang berjudul ‘RYBM’, singkatan dari Romo YB.Mangunwijaya, menyajikan ‘potret diri’ Romo Mangun pada usia tua. Rambut dan jenggotnya sudah mulai memutih. Lukisan lain, ‘Listening’ judulnya, karya Kadafi. Hampir menyurupai ‘wajah Mangun’, hanya bagian rambutnya diberi warna hijau, sehingga seolah memiliki makna, bahwa YB. Manguwijaya –kala itu--, masih segar dan energik.

Memberi penjelasan mengenai pameran seni rupa ‘Memangun’, penyelenggara pameran, dalam hal ini kelompok Sepi dan Yayasan Pondok Rakyat, menulis dikatalognya seperti bisa dibaca ini:

“Pameran bertema ‘MeMangun’ yang dimaknai sebagai memerindah dan juga mengenang Mangun ini memberi inspirasi kepada para pecinta seni untuk mengenang karya-karya Romo Mangun dan juga peristiwa Konfrensi Asia Afrika sehingga mempunyai semangat KAA dan semangat Romo Mangun”.

Apa yang dimaksud dengan semangat Romo Mangun?

Pada pameran ini, semangat itu bisa dilihat pada ‘lukisan diri’ Romo Mangun yang dihadirkan. Ini artinya, semangat Mangun dalam bentuk menghadirkan orangnya. Namun, ada juga yang menangkap spirit Mangun pada orang-orang kecil, sehingga muncul lukisan yang menyajikan visual becak, sepeda, perempuan dan dua orang anak, petani. Pendeknya, figur-figur rakyat kecil.

Oeda Teda Ena tampil agak lain. Dia hadir dengan mesin ketik dan Mangun ‘melesat’ ke atas dari mesin ketik, laiknya kertas yang keluar dari masin ketika saat dipakai. Rupanya, melaui mesin ketik, Oeda melihat energi dan kreativitas Mangun yang mengagumkan.

Romo Mangun memang telah tiada, tetapi karya-karyanya masih bisa dibaca dan diteladani. Melalui pameran seni rupa ini, setidaknya kita bisa mengingat Romo Mangun.

Source

2 comments:

andreas iswinarto said...

sisi lain mangunwijaya

Dari banyak segi dan aneka warna manusia Mangunwijaya, kerjanya dan panggilan hidupnya, barangkali agak kurang tajam disoroti Mangunwijaya dalam ‘Kebermainannya’, Sang Homo Ludens ini. Padahal sejatinya dari ‘kebermainan’ inilah kualitas dan citra kemanusiaan, kemerdekaan dan kesejatian dapat ditelusuri jejaknya.

Romo Mangun menulis di Kedung Ombo 6 Mei 1990 sebagai berikut :
“…. kebermainan manusia sangat erat hubungannya dengan spontanitas, autentisitas, aktualisasi dirinya secara asli menjadi manusia yang seutuh mungkin. Oleh karena itu ia menyangkut dunia dan iklim kemerdekaan manusia, pendewasaan dan penemuan sesuatu yang dihayati sebagai sejati. Bermain mengandung aspek kegembiraan, kelegaan, penikmatan yang intensif, bebas dari kekangan atau kedukaan, berporses emansipatorik; dan itu hanya tercapai dalam alam dan suasana kemerdekaan.
Manusia yang tidak merdeka tidak dapat bermain spontan, lepas, gembira, puas”.

(dari pengantar Mangunwijaya untuk buku Johan Huizinga Homo Ludens : Fungsi dan Hakekat Permainan Dalam Budaya, LP3ES 1990)

Mangun melalui Atik dalam novel Burung-burung Manyar mengungkapkan lebih jauh tentang penghayatan jati diri dan dimensi kualitas kemanusiaan ini yang menurut saya berangkat dari kebermainan sang homo ludens ini…

Silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/03/burung-burung-manyar-mangunwijaya-dalam.html

maztrie said...

Okey Makasih Pak...
Banyak Multi tafsir atas keberadaan Romo Mangun, bersama Cak Nun masih peduli untuk berbuat "memanusiakan manusia" yang sangat patut diconto tanpa pembedaan satu batas baik itu agama ataupun strata

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri