Tuesday, August 2, 2011

Mata manakah yang akan menjadi pelita..?

Ketika bolak-balik membaca journalnya Arief Lukman Hakim akhirnya yang terlintas dibenak saya adalah  satu hal mengenai pelita yang digunakan sebagai alat penerang belajar oleh saudara-saudara kita di Papua sana.

Pelita pada umumnya berfungsi memang sebagai penerang dalam kita berkegiatan. Tentu kalau kita sudah berbicara wacana penerangan seperti ini hal yang pertama kali bisa membedakan adalah indera pengelihatan, mata. Itu yang ada dalam kondisi manusia memiliki panca indera normal, karena jika mata sudah tak normal (baca: buta) maka indra perasa bakal mengambil alih fungsinya.

Wacana mengenai "mata" ini selanjutnya masih bisa kita jabarkan dalam satu perenungan.
Jika mata sebagai indera pengelihatan pada fisik dan atau badani akhirnya bisa beralih pada indera perasa, misalnya kulit, sepertinya tak menutup kemungkinan media lainpun bakalan mampu mewakili dalam pengambil-alihan peran tersebut. Sebut saja sebagai contoh adalah mata budi yang merupakan satu bentuk kesadaran budi dalam menimbang menggunakan akal sehat. Lain itu ada lagi mata hati dan atau mata batin yang bisa juga disebut sebagai mata nurani (non badani).    

Dalam menggunakan mata fisik teramat kasat dapat kita bedakan mengenai obyek mana yang harus dilihat dan obyek mana yang musti kita hindari. Begitu juga dalam memfungsikan mata hati, meski tak kasat namun itu semua tak cukup menjadi alasan guna tak mempedulikannya lagi, karena toh hasil yang didapat pada matahati yang sudah buta bakal mampu terlihat juga oleh maat fisik orang lainnya.

Puasa mengandung makna dalam memanage itu semua. Semua fungsi mata baik mata fisik, mata hati, pun mata budi sudah selayaknya difungsikan secara bersamaan. Karena akan menuai hasil tak layak tatkala hanya satu sisi mata saja yang digunakan dalam memandang satu keadaan. Hal itu sudah teramat banyak dapat kita jumpai dinegeri ini.  Katanya puasa namun kenyataan yang bisa kita lihat adalah justru tindakan sweeping yang dilakukan oleh sebagian mereka para pelaku puasa itu sendiri, padahal tak bisa kita pungkiri justru  seharusnya mereka itulah yang berposisi mampu menahan emosi, juga lebih menggunakan mata hati dalam memilah dan memilih keputusan dalam perbuatan.

Disinilah keberadaan kita dalam perenungan tentang banyak "mata" yang telah DIA karuniai. Matahati memang tak begitu berarti dalam mendukung keberadaan tujuan badani ini, akan tetapi dengan mata hati bentuk kepedulian pada diri bukan saja mampu terrealisasi, lebih dari itu esensi puasa dan eksistensi kesamaan hak hidup sebagai sesama manusia insanNYA akan lekat sekali diperankan disini.

Sekali lagi saya kira kita sudah tak bakalan ada niatan untuk mau berbuat semena-mena dalam melancarkan aksinya tatkala kita mampu membedakan antara mata fisik, matahati pun matabudi, dimana dalam ranah matabudi ada satu budi dari orang seterkenal Albert Einstein dengan kepintarannya memaparkan mengnai sebaris argumen bahwa Before God we are all equally wise and equally foolish, Didepan Tuhan (dipandang dengan mataNYA) kita manusia ini ternyata adalah sama-sama bijaksana, akan tetapi juga sama-sama menyandang penyakit bodoh.

Nah keputusan dalam kontemplasi ibadah puasa kali ini, pilihan pada sisi manakah yang musti kita ambil sebagai ruang gerak...?
Apakah kita akan tetap menjadi manusia yang menempatkan obyek pandang lain dihadapan nilai  mata manusianya...?
Ataukah kita  akan terus berusaha menjadi manusia yang menempatkan obyek pandang lain dihadapan  nilai mata Tuhannya..?

Yang paling tahu kondisi kita adalah kita sendiri, jadi mari kita tempatkan hasil kontemplasi mengenai mata ini seyogyanya adalah yang terbaik bukan saja untuk diri pribadi, namun juga untuk lingkungan lain. Karena selain matafisik, matabudi pun matahati kita masih bisa menuai beberapa kemungkinan, antara lain adalah matabuta, matapisau, mata-mata, gelapmata dan lain sebagainya. [uth]


_______________________________________________________________________________________________

  

0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri