(FYI: Pernah saya posting sebelumnya di Group nJoWO).
Kesadaran adalah satu rasa dari dalam hati kita setiap insan manusia sebagai alat kontrol agar terhindar dari "jeratan" keinginan yang ditimbulkan oleh keliaran pada pikiran. Pikiran yang hanya berkeinginan memuaskan kebutuhan jasmaniah dalam bentuk kenyamanan dan materi. Sebagai masyarakat yang beradab dan berbudaya sebenarnya kita telah dimuliakan oleh ajaran dari leluhur kita. Berikut petikan dari tembang "pangkur" bait kedua :
Duduga lawan Prayoga, myang Watara Riringa aywa lali Iku parabot satuhu, tan kena tininggala Tangi lungguh angadeg tuwin lumaku, angucap meneng anendra, Duga - duga nora kari
Duduga dan Prayoga, Watara serta Riringa Itu adalah empat perangkat diri yang tidak boleh di tinggalkan
Pada saat bangun, duduk, berdiri, dan berjalan, Bicara diam dan Tidur Jangan lupa akan keadaanmu
Terucap di tembang tersebut empat perkara sebagai filter pada setiap langkah gerak pikiran pada manusia
- Duduga, berarti melihat kembali. Instropeksi diri sebelum bertindak.
- Prayoga, adalah keutamaan. Tetap menjaga hal-hal utama dalam melakukan pekerjaan.
- Watara, dapat di definisikan sebagai MISI. Setiap tindakan akan lebih bisa menemukan hasil sempurna apabila dilakukan perencanaan terlebih dahulu.
- Riringa, bersifat kehati-hatian. Selalu sadar sertiap saat.
Inti pesan dari tembang Pangkur dalam "wulang reh" adalah AJARAN HATI yang dimulai dari diri sendiri. Sebagai bentuk "pengabdin hidup" yang berarti mengabdi pada yang memberikan hidup, "Lelabuhan Kang Kanggo Wong Ngaurip"
Ya, Sudah tak dapat dipungkiri lagi bahwa sekarang ini kebanyakan dari kita, termasuk saya pribadi tentunya, sudah mengabdikan diri pada sesuatu yang bersifat materi duniawi, uang - ketenaran - jabatan - kekuasaan - . . .
Belum ada sifat total "kepasrahan " kita pada Yang Maha Memberi Hidup. Maka yang wajib kita lakukan pertama kali "duduga", menengok kembali, apakah diri kita sudah pantas dikatakan sebagai "ABDI / HAMBA" Tuhan seperti sering terucap dalam doa kita se hari- hari...?
Dalam perjalanan hidup ini yang bisa menilai diri kita adalah orang lain, orang di sekitar kita, dan bukan kita sendiri. Karena akan cenderung selalu menilai lebih baik apabila dinilai dari diri pribadi. Tetapi sudah barang tentu tidak demikian jika dinilai dari sudut pandang orang lain. Untuk itu, sangat disarankan bagi kita untuk selalu bisa legowo menerima kritik dan saran sebagai bentuk pembangunan kearah yang lebih baik, demi "prayoga_ning lian", Demi keutamaan dalam melakukan tindakan. Ala lan becik piniku, prayoga kaweruhana.
Hidup tiap detik, menit, jam hari, tahun, akan berubah berurutan, berrotasi, dan berrevolusi...Berjalan dan mengalir.
Seyogyanya kita melakukan perencanaan dan aturan, langkah selanjutnya wajib patuh terhadap Watara tersebut. Tujuan orang hidup tak lain dan tak bukan adalah mati. Untuk itu dalam tradisi Islam Ada Sholat lima waktu, ada pula ibadah Puasa wajib selama sebulan penuh dalam satu tahun. Begitu pula bentuk peribadatan pada wilayah agama lain.
Semua itu (dan ditunjang dengan pelaksanaan Ibadah Sunnah lainnya) dapat di katakan sebagai Watara, guna menemukan jalan yang lapang menuju kehidupan di kemudian hari.
Dalam perjalanan guna menemukan jalan lapang tersebut masih diperlukan sifat "Riringa", Hati-hati dan sabar setiap saat. Tidak gampang menerima goda dan coba dunia. Selalu menggunakan suara hati sebagai cerminan dari suara Qalbu. Bukan memakai jalan pikiran yang pada akhirnya memuluskan pembangunan jalan setan. Karena tak lain setan adanya cuma dalam pikiran dan tubuh kita. Adat waton puniku dipun kadulu, miwah to ing tatakrama
Lebih bisa mengutamakan adat dan aturan, juga tata krama demi tercapai keutamaan diri. Den kaesthi siyang Ratri, Tetap berusaha untuk sadar dan berhati-hati setiap saat. Siang maupun malam.
Duduga, Prayoga, Watara, Riringa . . .!
Semoga dapat berfungsi sebagai pembening dan penjernih jendela kaca dalam mata hati rumah kita. Amiiiieeeeennnnnn....
0 comments:
Post a Comment