Saturday, December 27, 2008

Bregada Yodja (Prajurit Jokja)

Kalau Indonesia memiliki tentara yang terbagi dalam 3 kesatuan yaitu angkatan darat, laut dan udara, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki 13 kesatuan prajurit yang disebut bergodo. Layaknya tentara, masing-masing kesatuan tersebut memiliki pakaian atau seragam khas yang mencirikan kesatuan dan menjadi kebanggaan tiap prajurit.

Menurut catatan Romo Yamto salah seorang ahli busana Keraton Jogja, ke 13 kesatuan prajurit Keraton itu adalah Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung, Patangpuluh, Wirobrojo, Jogokaryo, Nyutro, Dhaeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero, Langenastro, Surokarso dan Bugis.
(Nama-nama tersebut juga dopakai sebagai nama tempat dengan menambahkan akhiran an... Bugisan, Wirabrajan, Jogokaryan, Ketanggungan, Prawirotaman, dan lain sebagainya)
Romo Yamto mengatakan masing-masing kesatuan tersebut memiliki fungsi, pakaian serta persenjataan yang berbeda. Memang selain menambah gagah dan ciri kesatuan, seragam atau busana yang dipakai masing-masing kesatuan juga dimaksudkan untuk membuat gentar musuh.
Misalnya Kesatuan Sumoatmojo. Merupakan pasukan pengawal pribadi Sultan yang langsung berada di bawah komando sultan. Pasukan ini terdiri dari 2 orang perwira berpangkat panji, 2 orang bintara berpangkat sersan dan 16 orang prajurit.

Pasukan ini berseragam baju zirah dengan perisai lempengan baja berbentuk bulan sabit berukuran besar, berikat pinggang besar dan kuat terbuat dari kulit kerbau, memakai tutup kepala yang disebut Udheng Gilig dan tidak memakai alas kaki. Selain itu, seluruh tubuhnya dan wajahnya dibedaki dengan boreh berwarna kuning. Dahulu jika sedang melaksanakan tugas mengawal sultan, di sepanjang jalan memperagakan tarian perang atau tayungan.
Lain lagi dengan Kesatuan Wirobrojo. Pakaian yang dikenakan oleh kesatuan ini terdiri dari Topi Centhung (berbentuk seperti kepompong), warna merah. Destar (ikat kepala) berwarna wulung (ungu). Baju dalam lengan panjang berwarna putih, beskap baju luar, berwarna merah.
Sementara itu, Lonthong (ikat pinggang dalam) berupa kain bermotif cinde dominasi warna merah, kamus (ikat pinggang luar) berwarna hitam, sayak (kain penutup dari pinggang sampai di atas lutut) berwarna putih, celana panji (celana yang mempunyai panjang sebatas lutut) berwarna merah. Kaos kaki berwarna putih, sepatu pantofel warna hitam, Karena prajurit ini berpakaian serba merah maka lebih dikenal dengan nama Prajurit Lombok Abang.
“Saya sangat bangga dan merasa percaya diri ketika mengenakan pakaian prajurit kesatuan saya,” kata Siswanto salah seorang prajurit dari kesatuan Wirobrojo. Meskipun ia mengaku hanya mengenakan seragam itu beberapa kali dalam satu tahun namun kebanggaan dan kesetiaan kepada Keraton Jogja itu tetap ada.

Memang berdasarkan bukti sejarah prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibentuk pada masa pemerintahan Hamengku Buwono I sekitar abad 17 tepatnya pada tahun 1755 Masehi. Prajurit yang terdiri atas pasukan-pasukan infanteri dan kavaleri tersebut sudah mempergunakan senjata-senjata api yang berupa bedil dan meriam.
Selama kurang lebih setengah abad pasukan Ngayogyakarta terkenal cukup kuat, ini terbukti ketika Hamengku Buwono II mengadakan perlawanan bersenjata menghadapi serbuan dari pasukan Inggris di bawah pimpinan Jenderal Gillespie pada bulan Juni 1812.
Selain itu di dalam Babad menceritakan bahwa perlawanan dari pihak Hamengku Buwono II hebat sekali. Namun semenjak masa Pemerintahan Hamengku Buwono III, Inggris membubarkan angkatan perang Kasultanan Jogja.

Selanjutnya dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatangani oleh Sultan Hamengku Buwono III dan Raffles, dituliskan bahwa Kesultanan Jogja tidak dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat.
Di bawah pengawasan penjajah Inggris, Keraton hanya boleh memiliki kesatuan-kesatuan bersenjata yang lemah dengan pembatasan jumlah personel. Sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melakukan gerakan militer. Maka sejak itu fungsi kesatuan-kesatuan bersenjata sebatas sebagai pengawal sultan dan penjaga keraton.
Ketika Pemerintahan Kolonial Belanda kembali berkuasa pasukan-pasukan bersenjata yang sudah lemah tersebut makin dikurangi sehingga tidak mempunyai arti secara militer dan dilanjutkan pada tahun 1942 semua kesatuan bersenjata Keraton Jogja dibubarkan oleh pemerintahan Jepang.

Tetapi mulai tahun 1970 kegiatan para prajurit Keraton dihidupkan kembali. Dari ketiga belas prajurit yang pernah ada baru sepuluh kesatuan atau bergada yang direkonstruksi dengan beberapa perubahan, baik dari pakaiannya, senjatanya maupun jumlah personel yang sering ditampilkan pada saat acara Garebeg.
Sources: Tentrem Mujiono

0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri