SANG EKSISTENSIALIS
Ini kali pertama Nasrudin pergi ke
Akhirnya, Nasrudin masuk ke sebuah toko kelontong. Pramuniaga toko segera menghampirinya dan menyapanya dengan ramah.
“Apa yang bisa saya bantu untuk Tuan?”
“Saya hanya ‘numpang nanya…”, jawab Nasrudin.
“Oh, Silahkan Tuan, silahkan…”.
“Apakah anda mengenal saya?”.
“Tidak, Tuan…”, jawab Sang Pramuniaga sambil tersenyum.
“Apakah kita pernah bertemu sebelum ini?”.
“Eeee…. Tidak juga, Tuan…”, Pramuniaga mulai bingung.
“Kalau anda tidak mengenal saya dan kita belum pernah bertemu, mengapa
anda yakin kalau ini saya?!”.
Nasrudin ngeloyor meninggalkan Sang Pramuniaga yang terbengong-bengong.
****
Pengakuan. Ya, mungkin setiap manusia membutuhkan pengakuan dari orang lain atas keberadaannya. Serendah apapun status sosial seseorang di masyarakat, tetap dia membutuhkan pengakuan. Cobalah anda sesekali ikut nimbrung siskamling atau ronda dengan petugas satuan pengaman (Satpam) atau petugas pertahanan sipil (Hansip). Atau iseng-iseng nongkrong dengan para kuli sindang, tukang gali dan angkut tanah di kolong jembatan layang.
Pasang telinga anda dan dengarkan mereka bercerita. Mereka bukan cuma menceritakan diri orang lain, tapi juga cerita tentang diri sendiri. Merekalah “tokoh” dalam cerita itu. Menceritakan diri sendiri kepada orang lain adalah keinginan tersembunyi untuk diakui.
Nasrudin, sebagai tokoh yang sangat dikenal masyarakatnya, ketika menjadi pelancong di
Keadaan itu benar-benar membuat Nasrudin kesal. Padahal berapa lama sih orang melancong itu? Apakah ada orang yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk melancong? Dan seberapa besarkah
Yak… terkadang kita melakukan berbagai macam cara agar bisa dikenal banyak orang. Malah sebagian dari kita melakukan hal yang aneh-aneh dan eksentrik: dandanan, prilaku, ucapan, pikiran, pokoknya semuanya harus serba aneh. Semua itu kita lakukan agar dikenal orang. Kita ingin mengukuhkan eksistensi kita lewat keanehan. Kita ingin pengakuan manusia.
Itu juga yang membuat kita bekerja habis-habisan, malam jadi siang dan siang jadi malam, tidak peduli hari libur. Itu kita lakukan dengan alasan demi keluarga, meskipun kita hanya menjadikan rumah sebagai tempat transit, untuk tidur dan ganti pakaian. Padahal, diam-diam, kita sedang menipu diri sendiri. Kita bekerja tidak mengenal waktu sesungguhnya ingin memuaskan ambisi untuk menduduki posisi tertentu, yang menaikkan prestise dan stastus sosial kita. Tidak peduli keluarga hanya kebagian sisa waktu, tenaga dan pikiran kita.
Di sisi lain, kadang juga kita melakukan berbagai hal untuk menarik perhatian orang, agar orang itu mau mengenal kita lebih dekat. Dalam sebuah acara reality show di sebuah tv swasta, seorang pemuda mati-matian melakukan hal yang aneh, berani dan spektakuler agar gadis pujaan hatinya tertarik dan menerima “cintanya”. Begitu juga sebaliknya, seorang gadis nekat melakukan pekerjaan yang berbahaya hanya agar “sasaran tembaknya” mengerti betapa si gadis sangat “mencintainya”.
Mengapa kita begitu ingin orang mengenal kita lebih dekat? Mengapa kita ingin dikenal banyak orang dan menjadi popular? Padahal “cinta” sesama manusia hanya sebatas usia kita saja. Dan kekaguman orang kepada kita selama kita masih hidup saja. Sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh tahun yang akan datang, barangkali sudah tidak ada lagi orang yang mengenal dan menyebut nama kita. Atau kalaupun ada, orang itu hanya samar-samar mengingat nama kita. Memang ada juga tokoh-tokoh yang namanya dikenal orang sampai ratusan bahkan ribuan tahun. Tapi, siapakah kita?
Saudaraku…, sesungguhnya kita, manusia, hanya pelancong di bumi Allah. Kita hanya main ke tempat wisata yang bernama dunia. Lama kita melancong di bumi ini hanyalah sekejapan mata bila dibandingkan dengan “hitungan” hari di sisi Allah. Satu hari di sisi Allah sama dengan seribu tahun –bahkan mungkin lebih!-- hitungan manusia di dunia!
Nah…, kalau kita begitu risau lantaran tidak dikenal orang atau tidak mengenal seorangpun di suatu tempat padahal kita hanya turis saja, mengapa kita tidak gelisah kalau tidak dikenal oleh Pemilik bumi ini? Mengapa kita tidak sedih kalau tidak mengenal si Pencipta bumi ini? Padahal kita makan dan minum dari bumi ini juga. Kita bersenang-senang, bahkan bermaksiat, di bumi ini juga. Bukankah kalau anda mau mengontrak rumah, anda harus bertemu dengan si empunya rumah atau yang mewakilinya dahulu? Anda harus kenal dia, dan diapun harus mengenal anda. Mengenal dan dikenal akan membuat urusan menjadi mudah. Tidak mungkin anda main masuk slonong boy saja. Bagus sekali kalau anda hanya diusir dan tidak sampai dipukulinya atau dilaporkan ke Polisi.
Bisakah anda bayangkan, ada orang yang hidup di bumi Allah Azza wa Jalla, tapi dia tidak mengenal si Empunya bumi ini? Dan lebih celaka lagi, kalau si Empunya yang “tidak –mau— mengenal” dia! Kasarnya, Allah cuek kepadanya.
Yang membuat kita tidak mengenal Allah adalah kekufuran. Kita menutupi diri dari cahaya dan petunjukNya dengan perbuatan dosa. Dan yang membuat Allah tidak mau mengenal kita adalah keangkuhan dan kesombongan. Status sosial, trah, keturunan, pengakuan sebagai intelektual dan sebagainya, membuat kita lupa pada asal kejadian kita. Imam Ali ra. mengilustrasikan dengan indah tentang manusia. Beliau berkata, bahwa manusia awalnya adalah air yang hina dan akhirnya adalah bangkai. Jadi, apakah yang pantas kita sombongkan kalau akhirnya kita tidak lebih hanya bangkai?
Sudah sepatutnya kita risau apabila tidak mengenal Allah Swt. Meskipun kita seorang Muslim, seringkali kita abai akan beradaan Allah. Kita tetap melalaikan perintahNya, dan asyik melakukan apa yang dilarangNya. Padahal keberadaan seluruh yang maujud di jagat raya ini tak lepas dari pantauanNya. Allah sudah “memperkenalkan” eksistensiNya kepada kita lewat berbagai ciptaanNya, juga lewat Nabi dan Rasul-RasulNya. Tapi dengan alasan-alasan yang naif dan aneh-aneh kita menolakNya.
Kadang juga dengan pikiran yang njelimet, kita mencoba merumuskan apa itu “tuhan”. Dengan memberikan definisi filosofis, kita merasa sangat mengenal Tuhan. Segalanya tentang Tuhan, dari A sampai Z kita mengerti. Padahal ujung-ujungnya kita tidak mengenal Dia sama sekali. Kita malah semakin jauh dariNya. Sayangnya kondisi itu tidak membuat kita risau….
Tapi orang yang paling celaka adalah yang justru Allah tidak mau mengenal mereka disebabkan kesombongan dan kezaliman yang mereka perbuat. Ingatkah anda dengan orang yang berteriak-teriak “Labaik Allahumma labaik!” di seputar Ka’bah? “Aku datang memenuhi panggilanMu, ya Allah. Aku datang…”. Tapi apa jawab Allah? “Tidak! Tidak ada panggilan untukmu!”. Ini artinya Allah tidak mau menerima dia datang ke rumahNya. Allah tidak mau mengenalnya!
Di dunia ini kita seperti wisatawan yang sekedar duduk di bawah pohon untuk istirah sambil menyiapkan bekal, kemudian bangkit kembali melanjutkan perjalanan. Perjalanan menuju kampung akhirat. Kita akan sampai pada pintu gerbang maha dahsyat, Gerbang Kematian. Itulah pintu kampung kita yang abadi. Pintu yang menjadi tujuan akhir perjalanan kita. Suka atau terpaksa, kita akan melaluinya.
Nah…, kerisauan apakah yang lebih berat daripada kita tidak kenal Allah Azza wa Jalla dan sekaligus tidal dikenalNya..?[kangKoentjoro]
Sumber : Buku “TAWA MEMBAWA HIKMAH BERSAMA NASRUDIN HOJA
Penulis : Dwi Bagus MB
0 comments:
Post a Comment