Kisah ini dimulai tentang sebuah kelahiran di bulan Waisak tahun 623 SM, tentang bayi agung dari kerajaan Kapilavastu, tentang bunga teratai yang tumbuh diatas kaki sang bayi. Bumi yang bergetar, jiwa yang bergejolak, tentang paradoksal masa lalu dan yang akan datang, tentang taman lumbini yang menyelipkan ceritera tentang awal dan akhir sebuah kehidupan.
Mestinya hidup tidak melulu tentang kegagahan, dan kemewahan, tidak melulu tentang kemegahan dan kemasyuran, tapi hidupkah kehidupan Pangeran Sidharta? ketika ia dilarang melihat empat hal. Hidupkah kehidupannya ? Ketika ia dilarang melihat orang sakit, orang tua, orang mati dan pertapa ? Hidupkah kehidupan Sidharta, ketika Yasodhara istri terkasih dan Rahula sang anak tercinta menjadi bagian dari hidupnya?
Pada akhirnya pangeran Sidharta melihat semua kenyataan itu. Manusia menjadi tua, sakit dan mati, ia tidak berhenti bertanya, ia merasakan, ia adalah bagian dari semua itu. Ia bukan burung yang silau oleh bulu indahnya. Ia bagian dari realitas itu. kenyataan hidup yang menyakitkan.
Lalu sidharta bertanya Siapakah yang dapat menghentikan semua tragedi itu? obat apa yang dapat mengatasi semua penderitaan itu? Bulatlah sudah, Sidharta meninggalkan keluarga dan menanggalkan kemilau kekayaannya, mencari obat yang dapat mengatasi semua penderitaan.
Namun semua itu tidak mudah dengan jerih payah menyakitkan dan melelahkan. Ditengah hedodisme ketidak jernihan pandangan hati dan pikiran, dan ditengah kemungkinan menjadi bagian dari orang kebanyakan. Atau menjadi ahli waris dari sebuah kerajaan yang gilang -gemilang, Sidharta memilih menjadi seorang pertapa. Selama enam tahun Sidharta menyiksa dirinya, tetapi hidupnya tidak lagi dengan kepura-puraan. Hidupnya jadi punya makna. Ketenangan batin dan pandangan yang terang telah membongkar keserakahan , kebencian dan kebodohan yang selama ini mengakar menjadi sebab derita.
Berakhirlah semua pandangan keliru dan kemelakatan yang selama ini menyelimuti. Berakhirlah simbol-simbol duniawi yang menipu, yang menjebak dan mematikan. Memiliki semuanya tanpa harus memiliki apa-apa, menjadi punya dalam ketakpunyaan, menjadi tak punya dalam kepunyaan. Sang pangeran Sidharta telah menjadi Buddha. Di Bulan Waisak.
Sang Buddha kemudian membabarkan Dharma yang luhur kepada semua makhluk, selama 45 tahun memutar roda dhrma, membangkitkan kesadaran spiritual dan membuka sabut kegelapan yang selama ini mencengkram menutupi alam semesta.
Semua kisah pada akhirnya adalah sebuah epilog bahkan seorang guru agung seperti Sang Buddha yang tiada bandingnya yang sempurna dalam kebijaksanaannya akan mangkat. Tidak ada yang kekal kecuali kekekalan itu sendiri dan manakala bulan waisak di tahun 543 SM tiba, Sang Buddha pun mencapai maha parinirvana. Namun kelahiran tidak lagi tentang tangis bayi juga tidak lagi tentang paradoksal awal dan akhir.[semprul]
0 comments:
Post a Comment