Saturday, August 29, 2009

Mawas diri dari Tari pendèt éngkang dipun pendhet

Membaca artikel postingan beberapa temen dan juga ditambah lagi browsing di beberapa webPortal, koq malah jadi bikin complicatéd bener ya ngadepin satu casé tentang budaya, dan rasa nasionalisme ini.

Berita terakhir yang masih sempet héboh sampai sekarang ini adalah tentang klèm-pengakuan atas tari pendèt setelah beberapa waktu yang lalu juga pernah terjadi peristiwa serupa. Tari pendèt-Bali dijadikan iklan budaya oleh Malaysia pada évent visit yéar-nya. Kita semua tahu bahwa sempet juga 'angklung' yang sampai-sampai Idang Rosyadi ogah tuk manggung di negeri Jiran itu juga di akuinya, atau juga lagu 'rasa-sayange' yang bisa bikin rakyat Maluku kelabakan untuk unjuk gigi mempertontonkan bukti yang telah ada sejak masa lampau, dimasukkan dalam backsound iklan Malaysia trully Indonésia Asia. Kejèngkèlan warga Ponorogo juga merebak seiring di alih bahasakan nama sebuah 'réog-Ponorogo' menjadi 'Tari-Topèng''. Ada lagi mengenai batik, jamu, Hombo Batu, tari Folaya dan juga nantinya tetep masih bisa makan masakan Padang....

Setumpuk perlakuan telah berlangsung atas diiri kita, dari yang menyangkut wilayah téritorial sebuah Negara, lepasnya Pulau Sipadan juga Ligitan dari genggaman Ibu Pertiwi ini. Atau juga tidak diakuinya passport istri dari seorang pejabat kedutaan sampai dengan penghakiman Policé atas Wasit Taé Kwon Do Indonésia, bahkan yang lebih parah adalah perlakuan pasukan RELA atas rekan dan saudara TKI kita. Tidak menutup kemungkinan seperti pengalaman yang sudah terjadi adalah tinggal pulang membawa nama.

Selama ini yang kita semua ketahui adalah réaksi pasivé dari pihak penyelenggara negara ini. Ternyata ketahuan bener kalau kita hanya pintar mengekspor para tenaga kerja dengan dalih Pahlawan Devisa (namun apakah di urusi segala ribet-ruweté...?). Dan yang tak kalah menariknya adalah berlakunya ruang yang luas buat peng-impor-an tenaga pembuat bom yang mampu mejadikan Indonésia ini lebih terkenal. Yach, tenaga impor itu berjuluk Noordin Menthog M Top dan mendiang doktor Ashari.

Dalam menghadapi kasus Tari Pendèt ini, langkah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kita serasa kebakaran jenggot (kalo masih ada juga kumisnya semoga saja tak turut terbakar ya..!), Bapak Jero Wacik sudah dengan tegas mengirim Surat Cinta memohon klarifikasi kepada pihak yang berwenang dari Malaysia. Semoga saja yang menjadi alasan adalah bukan karena kelahiran Tari Pendét dan kelahiran Bapak Menteri berasal dari tanah yang sama, Tanah Bali. Kita semua berharap Bapak Menteri telah semakin bertambah sifat patriotismenya untuk membela bangsa ini. (bukankah baru seminggu yang lalu Bapak Menteri juga ikut menghadiri Upacara tujuhbelasan ya...)

Pertama kali saat mengetahui kabar tentang semua ini, sebenarnya dalam hati ini merasa jengkel dan geram. Cuma semoga saja masih tetap ada sifat sabar untuk selalu bisa 'ngemong'. Karena sejatinya tak usah kita jelaskan ,kita semua tahu kalau Negara tetangga itu secara usia memamngla masih lebih muda ketimbang kita. Untuk itu kita juga musti sadar akan sifat 'mbocahi' (childish) yang di milikinya. Cuma kita juga harus bisa memahami kapan musti memberi aturan, kapan juga musti memberi 'jèwèran' pada saat dirasakan bocah tadi semakin ngelunjak. Supaya bisa semakin peka, agar semua tingkah-polahnya tidak terlanjur (sekarang sudah terlanjur atau belum ya.....?)

___________

Jika dinalar dengan otak (tidak) waras saya, terbukti bahwa kita ini sebenarnya keliru kalau harus marah. Sebaliknya kita sewajibnya bisa menjadi senang bahkan mungkin gembira karena kebudayaan kita telah turut di promosikan oleh Negara tetangga tersebut.

Tindakan utama buat kita semua yang lebih pas dan tepat dalam menghadapi kenyataan tersebut (menurut saya) adalah Intropeksi. Memberikan korèksi kepada para pejabat dan penyelenggara pemerintahan ini. Musti tegas dan sadar. Supaya tetap merawat budaya kita ini agar tetap adiluhung.

Kalau saja waktu itu kita semua bisa héboh dengan kabar-kabari serta chèck n réchèck juga infotainment lainnya yang memberitakan tentang kisah petualangan Limbuk Manohara beserta Pangeran KudaLanang Kelantan. Kita semua sibuk sok berjiwa nasionalis membéla atas dasar hubungan P n G, People n Goverment, bukan lagi P n P. Memang sih yang kita bela tuh berparas cantik..... Namun selayaknya kita juga lebih bisa melirik tentang penjualan aset Pulau indah kita disamping juga pembelaan atas budaya seperti tersebut diatas.

Tahukah kita bahwa kenyataannya ada juga pulau-pulau kita yang diperjual belikan? Mengenai Penjualan Pulau itu, Silahkan lihat link ini atau bisa juga disini...

Merujuk lagi pada satu artikel dari portal berita JogjaNews yang sempet juga di repost di nJOWO sini, maka semua dari kita juga sudah selayaknya wajib menyadari satu jawaban atas pertanyaan, Siapakah sebenarnya bagian dari Warga Malaysia itu...? Sudah berapa lama negara kita mengadakan acara pengeksporan tenaga kerja yang selanjutnya disebut sebagai TKI ini...? Terus sudah ada berapa keturunan generasi....? Ini adalah satu jawabannya. Kenyataan yang tak lagi dapat dipungkiri adalah bahwa seorang Menteri Pertahanan Malaysia saja ternyata adalah juga anak-turunnya orang Wates, Kulon Progo, Yogyakarta lho...! Maka yang agak diperlunak dan dipermaklum saja apabila meréka itu masih ada pengakuan sebagai bangsa yang majemuk dan warna-warni alias plurality, entah dengan berbagai macam alasan yang seperti apa namun itulah kenyataan yang dapat kita lihat bersama....

Dengan dasar seperti itu sudah barang tentu kebudayaan yang ada pada diri kita sedikit banyak telah terbawa. Padahal menurut KangMas Mahmud Syaltout yang seorang kandidat Jurist Doctor di bidang Hukum Internasional, Hukum Uni Eropa dan Perbandingan Hukum, Universite Paris 5 – Sorbonne Rene Descartes.menyatakan bahwa Budaya itu tak dapat dipatenkan dan tak dapat dicuri. Untuk itulah kita semua semestinya mampu berpikir jernih untuk selalu menggali potensi yang ada, satu pengakuan yang kita butuhkan adalah bukan semata-mata ada hak patennya saja, namun lebih dari itu adalah bentuk pemeliharaan atas apa yang telah kita miliki guna selalu merawatnya.

Dengan dasar keturunan yang tak jauh beda sebagaimana tersebut diatas, sepertinya tak baik kalau kita musti maju berperang melawan negara tetangga ini (walaupun tak menutup kemungkinan kita semua akan merasa sama dan menggebu-gebu pingin nampar negara tetangga itu). Bukan saja atas dasar kemanusiaan, namun kita juga mesti sadar, apa sih yang masih ada pada Tentara kita...? Selain mémanglah apa yang menjadi kepemilikan atas alutsila, ada lagi yang musti dipikirkan, yaitu mengenai jumlah personil berbanding luas wilayah yang ada. Akankah apabila mémang kondisi memaksakan untuk terjadinya sebuah pertempuran kita harus melawan Negara itu yang memang sudah bermodalkan sebuah statement "pakta-pertahanan" berbarengan dengan Australia dan Negara Inggris?, hmmmmm wajib kita pikirkan.....

Mau Diplomasi...?!! Ingat Sipadan dan Ligitan...? Akankah mau diulang kembali...?

Sementara kalau melihat kenyataan yang ada sewaktu diadakan satu ajang lomba menyanyi yang bertajuk Asian-Idol saja, kita kalah dari negara yang sak-umprit yaitu Singapore. Bagaimana kalo lebih besar dari Singapore...? Di asumsikan oleh mBah Marto-Seni itu semua terjadi tak jauh karena faktor tehnologi, karena disana sitem yang digunakan adalah polling lewat SMS. Itu semua tak lain adalah karena pengetahuan serta kemajuan akan sistem tehnologi pada satu Negara.

Dengan pertimbangan tersebut diatas sebagai pengejawantahan akan perawatan tentang kepemilikan budaya yang ada pada kita, marilah secara bersama kita acapkali memperhatikan budaya kita sendiri, jangan sampai yang selama ini kurang kita perhatikan akhirnya gara-gara sudah di cubit oleh negara lain maka kita akan merasa tersakiti. Kata lain dari terlena.

Adakalanya kalau memanglah itu masih dirasa belum cukup mempan, guna menghadapi kenakalan tetangga muda tersebut, mungkin tetep musti pake jurusnya Kang T4mp4h berikut ini. 'Mari kita berperang lewat media, bikin promosi yang ciamik. Kalau Anda ikuti forum, milis, group diskusi, silahkan promosikan jargon-jargon parodi semacam ini. Indonesia the Original Taste of Archipelago. Jadi mengapa tidak, kita berpromosi serius dengan memparodikan tetangga kita ? kalau mereka marah ? ya biar !!!'

Sekali lagi ku setuju tuk konfrontasi itu tapi kalau dalam keadaan terpaksa lho (padahal muka ini sudah terlanjur merah karena esmosi hihi) , yang lebih penting adalah rasa "mawas diri "yang ada pada kita. Sudahkah kita merawat dengan baik budaya kita...? Adiluhung kah...?!! Dimanapun tempat namanya perselisihan itu tak bakalan menyelesaikan satu pokok persoalan. [uth]

_______

Saya tulis ini sebagai refleksi kegatelan tangan saya akan tulisan sedulur lanangku Kang Tambir-T4mp4h dan mBah Marto-Seni. Matur sembah Nuwun Dab, Nyuwun Sewu mBah...

PICTURE


~~maztrie~~
Creative Commons License

0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri