Monday, July 12, 2010

ajaran bahagia dan derita dalam menang ataupun kalah

Beberapa hari dan minggu terakhir ini sering sekali saya lihat ada perlombaan menulis journal dengan berbagai tema, ada yang sudah diumumkan pemenangnya dan ada pula yang sampai dengan saat ini masih berlangsung penyelenggaraannya.
Tak luput dari pengamatan kita semua selama sebulan terakhir ini pun melalui pesawat televisi kita telah disuguhi sebuah perhelatanb akbar kompetisi bernama "Piala Dunia - World Cup Champion". Dan kebetulan barusaja upacara penutupannya kita saksikan tadi pagi. Pun pada puncak kompetisi tadi telah bersama-sama kita saksikan sebuah permainan yang mampu menimbulkan bermacam-macam argumen diantara kita.

Bukan keberanekaragaman argumen itu yang akan saya coretkan disini, saya hanya mencoba belajar bersama teman-teman tercintaku semuanya untuk saling menyimak kompetisi yang sudah terjadi berbanding kompetisi pada kehidupan yang sudah, sedang, dan akan kita lakoni ini. Semoga kita semua makin dewasa untuk bisa memahami.

Dalam sebuah kompetisi ada yang menang dan tentu saja syarat kemenangan itu bakal tercapai jika ada pihak yang belum menang (baca: kalah).

Begitu berbicara tentang "menang" atau "belum menang", saya teringat deretan kata sebagaimana saya lampirkan dibawah ini, yaitu berbentuk beberapa petuah orangtua pendahulu kita berupa wejangan bagi generasi-generasi selanjutnya yang tak lain adalah kita.


menang tan ngasorake - (menang tanpa menyombongkan/meninggikan diri)
nglurug tanpa bala - (menyerbu tanpa pasukan)
sekti tanpa aji - (sakti tanpa ajian)
dhuwur tan ngungkuli - (tinggi tak melampaui)
kebat tan nglancangi - (cepat tidak menyalip)


"menang tan ngasorake", Pada deretan kata baris pertama diatas tersusun sebuah kalimat yang membahas arti dari sebuah kemenangan. Bahwa menangpun hendaknya tak menjadi lupa diri lalu menunjukkan diri yang lebih dari kompetitor lain. Dapat dimaknai disini tentang arti dari sebuah kemenangan akan sangat lebih berharga jika merasa bisa mengendalikan nafsu pada diri kita sendiri, dengan demikian dapat dipahami kesamaan arti dari menyerang tanpa harus berlaku mengandalkan sekelompok pasukan (nglurug tanpa bala).

Setelah bisa mengendalikan diri tanpa mengandalkan bala batuan berujud pasukan yang bernama korps nafsu itu, maka tak menutup kemungkinan kita pun bakal memperoleh hasil sebagai hadiah yang diungkapkan sebagai kesaktian. Artinya kesaktian disini kita bisa memilikinya dengan tanpa harus memaksakan diri mengeluarkan kekuatan (ajian) yang sifatnya hanya menghancurkan musuh belaka. "
sekti tanpa aji"
Sebagai wujud realita dari itu pun dapat dicontohkan pada permainan sepakbola yang tak cantik misalnya, atau pada permainan wasit yang kurang bisa memposisikan diri bahwa keberadaannya itu bertanggung jawab penuh sebagai pemimpin pada laga pertandingan dilapangan dengan tanpa menggunakan emosi apalagi memihak satu sisi.

Tak berhenti disini, setelah tercapai sebuah kemenangan dan terraih sebuah piala sebagai hadiah dalam kompetisi, kita tetap selalu merasa diingatkan kembali pada kata dhuwur tan ngungkuli, yaitu satu tingkat yang meskipun sudah berada diatas tak pernah merasa diri ini berada pada tingkatan yang lebih dibanding pihak (lawan) lain. Ingat, bahwa diatas langit masih ada langit.

Begitu juga dalam berjalan, memang lebih bagus jika kita mampu bergerak cepat, namun bukan berarti kita terus melupakan yang kalah, apalagi lantas meninggalkannya sebagai pesakitan. Akan lebih bisa menemui jatidiri kita sendiri tatkala disini terdapat kesadaran untuk bisa menuntun dan 'ngemong' pada pihak lain, termasuk juga pihak yang pernah menjadi kompetitor kita. Bukan malah memusuhinya...

Sungguh hal yang tak ringan kita memberlakukan itu semua pada diri ini, namun saya rasa bakal menjadi sejatining menang
apabila kemenangan sejati (murni) itu mampu kita terapkan mulai dari hal yang kecil pada kehidupan keseharian ini.

Diatas adalah paparan dari sebuah kemenangan. Jika kemenangan ada wejangan-wejangan dalam kita menyikapinya, begitu juga pada pihak yang "belum menang" a.k.a kalah.


menggah manungsa menika kedah saged nglenggana kanthi legawa nut jaman lakonipun
katitik wonten pocapan lamun mati wong lanang aja ditangisi

kedudukan manusia ini juga harus mampu menerima keadaan dengan Ikhlas
menurut runtutan jaman yang berlaku
Sebagaimana sebuah pepatah yang berarti "meskipun seorang lelaki
namun jika telah meninggal janganlah ditangisi"


Membaca tulisan yang saya quote diatas, semoga dalam posisi kalah pun kita masih bisa belajar untuk selalu merasa tangguh dalam menghadapi kekalahan yang ada. Sanggup mengayunkan langkah kaki menuju jalan pulang dengan tanpa menggendong beban berupa "dendam" karena berani (legawa) dalam menerima kekalahan itu sendiri.
Hal yang akan lebih indah jika kita juga bisa menghormati sebuah keputusan akan kemenangan yang didapat orang lain. Bukan tidak menutup kemungkinan dari sana pun kita telah ditambah ilmu yaitu berupa bagian kecil dari rasa-pangrasa tentang arti sebuah kebahagiaan maupun penderitaan itu sendiri. Kita telah diajarkan dan ditunjukkan bahagia pun derita.

Harapannya semoga kita tetep bisa selalu mengunyah dan mencernanya...

Sebagaimana terpercik pada lagu berikut ini, silahkan ceklik STOP playlistnya jika temen-temen tercintaku tak berkehendak menikmatinya. Terimakasih... [uth]


Ilustrasi: hitam-putih


tak semua pertanyaan butuh jawaban


0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri