Walau berujud kampung, tempat kelahiran dan tumbuh berkembangnya saya masih termasuk dalam wilayah Ngayogyakarta Hadiiningrat. Dengan latar belakang anak kampung dan karena masih kental dengan tradisi serta adat istiadat itulah saya bisa merasakan satu budaya yang telah dihadapkan pada kehidupan sehari-hari.
Bulan Ramadan seperti sekarang ini entah kenapa acapkali saya merasa terkenang dengan Simbok yang dulu selalu menyarankan tiap sore agar pergi ngaji. Saya kangen suasana itu.
Soal menjaring pembaca muda, peluang masih terbuka. Utroq Trie Haryanto misalnya, pekerja teknologi informasi di Jakarta, membaca Djaka Lodang sejak sekolah dasar, terus bertahan karena merasa mendapat nilai-nilai menarik dari budaya Jawa. Rubrik favoritnya, "Jagading Lelembut," katanya menyebut rubrik yang menceritakan pengalaman bersentuhan dengan dunia mistis di Djaka Lodang.
Sayang, Utroq sering kesulitan mendapatkan Djaka Lodang di lapak-lapak koran di Jakarta. Sempat mencari informasi berlangganan melalui situs pencari, ia tidak mendapat kejelasan, bahkan update informasinya, enam tahun lalu. "Djaka Lodang harus mengikuti perkembangan teknologi kalau ingin terus bertahan."
http://majalah.tempointeraktif.com/
Saya quote tulisan mBak Rurit diatas dan memang hal itu adalah kalimat yang merupakan jawaban atas pertanyaannya.
Banyak nilai budaya yang sangat menarik dan masih sangat relevan apabila kita terapkan pada saat ini, banyak wejangan yang tak lekang dimakan waktu. Tak terdogma oleh satu pengkotakan, teman-teman yang berbudaya lain pun bisa mengambil banyak pelajaran atas budaya Jawa yang saya ikuti tersebut. Tak membatasi atas satu keyakinan untuk mempelajarinya karena sejauh yang saya tahu budaya pun tak pernah menyombongkan diri sebagai hal yang bersifat sempurna.
Dengan menjalankan Puasa semoga pada hari ketiga ini kita sudah bisa mulai merenungi tentang diri, kesejatian ini yang tak bisa lepas dari kearifan lokal karena memang kita hidup dan bergaul pun dalam kelokalan yang ada.
Saya yaqin, tak menutup kemungkinan jika hal ini mampu kita rawat dan jaga bersama sebuah identitas diri yang baik sebagai bagian dari budaya anak negeri tak bakalan tercuri lagi oleh negara lain, karena nilai budaya telah menjadikan kita bisa hidup bersama secara berdampingan.
Mengutip sedikit tentang satu hal yang sempet di kemukakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga bahwa "dalam hal kepercayaan memang perlu di ajarkan tentang Islam dengan pengertian yang dalam, sudah barang tentu berasal dari Bangsa Arab. Namun sebagai Orang Jawa hendaknya tetap bisa menjadi "orang Jawa", Berkebudayaan Jawa, Tak perlu diganti langsung dengan kebudayaan Bangsa Arab."
Sesuai hal diatas dapat kita pahami bahwa kebenarannya kita telah memiliki rumah sendiri dengan bentuk budaya sendiri pula, dengan wujud rumah sendiri itu kita pun memiliki serambi dengan ukiran dan model khas budaya sendiri, kearifan budaya lokal Jawa. Jadi sepertinya tak usahlah bercita-cita sok kebarat-baratan apalagi ke Arab-Araban. Serambi Jogja ya miliknya tanah Jogja, sama sekali bukan milik tanahnya orang Mekkah dan atau Madinah apalagi milik Belanda.
Puasa sebagai budaya "laku prihatin" semoga makin membuat kita semua menjadi pribadi yang memprihatinkan batin sendiri demi memperhatikan kebersamaan tanpa pemaksaan. [uth]
Ilustrasi: joglo
Banyak nilai budaya yang sangat menarik dan masih sangat relevan apabila kita terapkan pada saat ini, banyak wejangan yang tak lekang dimakan waktu. Tak terdogma oleh satu pengkotakan, teman-teman yang berbudaya lain pun bisa mengambil banyak pelajaran atas budaya Jawa yang saya ikuti tersebut. Tak membatasi atas satu keyakinan untuk mempelajarinya karena sejauh yang saya tahu budaya pun tak pernah menyombongkan diri sebagai hal yang bersifat sempurna.
Dengan menjalankan Puasa semoga pada hari ketiga ini kita sudah bisa mulai merenungi tentang diri, kesejatian ini yang tak bisa lepas dari kearifan lokal karena memang kita hidup dan bergaul pun dalam kelokalan yang ada.
Saya yaqin, tak menutup kemungkinan jika hal ini mampu kita rawat dan jaga bersama sebuah identitas diri yang baik sebagai bagian dari budaya anak negeri tak bakalan tercuri lagi oleh negara lain, karena nilai budaya telah menjadikan kita bisa hidup bersama secara berdampingan.
Mengutip sedikit tentang satu hal yang sempet di kemukakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga bahwa "dalam hal kepercayaan memang perlu di ajarkan tentang Islam dengan pengertian yang dalam, sudah barang tentu berasal dari Bangsa Arab. Namun sebagai Orang Jawa hendaknya tetap bisa menjadi "orang Jawa", Berkebudayaan Jawa, Tak perlu diganti langsung dengan kebudayaan Bangsa Arab."
Sesuai hal diatas dapat kita pahami bahwa kebenarannya kita telah memiliki rumah sendiri dengan bentuk budaya sendiri pula, dengan wujud rumah sendiri itu kita pun memiliki serambi dengan ukiran dan model khas budaya sendiri, kearifan budaya lokal Jawa. Jadi sepertinya tak usahlah bercita-cita sok kebarat-baratan apalagi ke Arab-Araban. Serambi Jogja ya miliknya tanah Jogja, sama sekali bukan milik tanahnya orang Mekkah dan atau Madinah apalagi milik Belanda.
Puasa sebagai budaya "laku prihatin" semoga makin membuat kita semua menjadi pribadi yang memprihatinkan batin sendiri demi memperhatikan kebersamaan tanpa pemaksaan. [uth]
Ilustrasi: joglo
0 comments:
Post a Comment