Sunday, August 28, 2011

Citra Fitri Kemerdekaan, memaafkan bukan berarti melupakan

Sedari dinihari tadi sampai dengan pagi ini sengaja saya menyimak beberapa socmed a.k.a jejos guna mengetahui informasi terkini sehubungan dengan perjalanan pulang kampung beberapa teman jelang lebaran tahun ini.

Ada banyak argumentasi tertulis dari ocehan-ocehan mereka, intinya adalah mengeluhkan keadaan jalan yang semakin lama bukannya semakin lancar, namun justru sebaliknya, semakin lama malah bertambah semakin padat merayap, bahkan stuck.

Begitulah hiruk-pikuk arus mudik jelang lebaran sebagaimana telah jamak diketahui. Pengalaman ulang bertahun-tahun lamanya namun tak pernah dijadikan satu kendala berarti, tujuannya sama dan satu, demi Lebaran bersama dikampung halaman. Bermaaf-maafan dengan kerabat, teman, tetangga, pun sanak saudara dilakukan berjamaah seiring datangnya Idul Fitri 1432 Hijriah.

Ini sudah menjadi semacam budaya yang adanya memang di Indonesia. Perayaan itu secara religi memang hanyalah demi memperingati hari bersejarahnya umat Islam (muslim), akan tetapi kenyataannya sambutan atas peringatan hari raya ini juga dilakukan oleh banyak umat termasuk non-muslim. Jika hal ini dengan kesadaran penuh bisa kita petik maknanya, sungguh akan sangat besar kesempatan untuk duduk dan berdiri bersama antar kita manusia ini tanpa harus mengedepankan sebuah ego-kelompok bernama agama. Dan alangkah indahnya jika kesadaran utama itupun timbul dari umat Muslim yang notabene adalah mayoritas.

Lalu kesadaran macam apa yang musti dipetik maknanya itu...?

Tak lain dan tak bukan adalah kesadaran akan sebuah tonggak semangat kebersamaan demi kembali (Ied) kedalam citra (Fitri) diri. Citra manusia yang bersih, fitri, dan suci sebagai satu keniscayaaan yang terbentuk dalam wujud asasi dari Sang Maha Pencipta.

Dari budaya mudik yang adanya di Indonesia itu, sepertinya sudah menjadi satu keharusan bahwa sebagai bangsapun kita musti sadar untuk mengembalikan citra fitri ini. Semoga semua sepakat bahwa citra fitri, citra baik, citra yang bersih, pun citra yang putih, adalah jauh dari sifat pencitraan itu sendiri, karena tanpa pencitraanpun kalo memang bagus, tegas dan teges dalam penampilan, perbuatan pun perkataannya, obyektifitas manusia lain bakal memposisikannya keranah suci.

Jika tanggal 17 Agustus lalu adalah hari kemerdekaan bangsa, yang diartikan sebagai awal terlepasnya kita dari keterbelengguan penjajahan imperialis pun kolonialis, maka ada makna lain pada hari kemenangan nan fitri beberapa hari lagi.

Idul Fitri dimaknai sebagai hari kemenangan dari kita tiap individu karena telah lolos dari keterbelengguan nafsu angkara pun bujuk rayu setan. Padahal baik nafsu pun setan yang kita kambing-hitamkan sebagai belenggu itu sadar ataupun tidak toh semua justru berasal dan bersemayamnya adalah pada tubuh kita sendiri. Nafsu itu siapa yang punya, setan itu sosok pribadi siapa..? Tak lain adalah kita kita (saya) sendiri. Korelasi antara hari kemerdekaan bangsa dengan hari kemenangan tiap individu adalah dua hal yang bisa dianalogikan sebagai hulu dan hilir pada satu sungai.

Tatkala Idul Fitri, kita sebagai individu ini benar-benar mampu menjadi pemenang sejati dalam melaksanakan laku-prihatin puasa sebulan penuh berujud melawan segala hawa nafsu, saya pikir ini sudah sedikit menjadi modal guna mengisi kemerdekaan bangsa, karena dengan begitu aplikasi yang ada (sedikit banyak) kita bakal jauh dari tabiat memaksakan kehendak atas diri orang lain, menguasai hak orang lain, memonopoli jatah umat lain, dan perlakuan semena-mena lainnya.

Nah, ketika kita telah sedikit mencerna keterkaitan antara hulu dan hilir tersebut, pertanyaannya adalah; "sudah sejauh mana kita mengaplikasikan sebuah hari kemenangan dengan perwujudan peringatan Idul Fitri ini...?". Akankah kita balik lagi ke tabiat buruk sebelumnya dan merasa sudah menjadi almameter karena sudah lolos ujian-Nya tahun ini...? Ataukah mentang-mentang sudah memaafkan lalu akan dengan lenggang bakal melupakan sebuah kesalahan masa lampau..?

Secara pribadi saya teriakkan jawaban dari pertanyaan diatas adalah "TIDAK..!"

Idul Fitri sebagai hari H-nya semangat saling memaafkan merupakan perwujudan sifat pun sikap mulia dari hati-nurani anak negeri, putra-putrinya Ibu Pertiwi ini. Suku, agama, pun warna kulit tiada pernah menjadi pembeda, saling membuka hati dilakukan antar anak manusia disana. Hal ini dilakukan tentu dengan bekal tulus-ikhlas, tak ada niatan lagi saling menyakiti dihari kedepannya. Ini adalah bagian pertemuan dari setiap individu kita berikut hak-asasi manusianya.

Kembali lagi pada hal "memaafkan bukan berarti melupakan". Pada lain pokok bahasan bernama hak ternyata masih ada satu kewajiban, itu dilaksanakan baik pada saat ini pun dimasa yang akan datang. Setelah hak memaafkan kita perankan, bukan lantas kita juga harus melupakan satu kesalahan masa lampau, apalagi kesalahan itu telah mengakibatkan kerugikan banyak orang. Sebaliknya, sudah tiada lagi argumentasi untuk mengelak dari kewajiban itu meskipun alasannya telah berdamai dengan simbulnya adalah pemaafan.

Baik ada atau tiadanya peringatan hari kemenangan serta bermaaf-maafan, saya rasa semua sepakata bahwa bangsa kita sebenarnya memang sudah terkenal sebagai bangsa pemaaf. Akan tetapi saya kira banyak anak-anak negeri ini juga sepakat bahwa para pengerat uang rakyat dan juga pihak-pihak yang telah merugikan orang banyak itu "wajib hukumnya" untuk menerima ganjaran setimpal, bukan malah lalu dilupakan. [uth]

ilustrasi: tom and jerry

0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri