![]()  | 
| Komisi Pemberantasan Korupsi | 
Tujuhbelas Agustus memang sudah lewat tiga hari, dan bagai kafilah  yang tetap berlalu sayapun akan tetap nekad menuliskan tentang tema sama  dengan hari kemarin, yaitu mengenai  "kemerdekaan". Sikap cuek-bebek  akan saya peragakan apalagi saat nanti sebagian besar  teman-teman  tercintaku disini menganggap hal itu sudah basi, karena toh ini mustinya  temanya sudah beralih ke acara mudik pun persiapan Lebaran.
Setelah  negeri ini memasuki pintu gerbang kemerdekaan pada 1945, beberapa tahun  dijalani, selain membangunnya, hal-hal lain yang sifatnya merusak  negeri pun dihindari bahkan disatroni. Tak terkecuali topik korupsi  menjadi hal yang serius ditangani.
Tatkala kita membaca sejarah, dan kita teringat jejak-jejak AH Nasution, M Yamin pun Roeslan Abdulgani, sejatinya semenjak era 1960-an praktek-praktek korupsi itu  sudah mulai digemari, tepatnya ketika terjadi nasionalisasi perusahaan  asing. Tterbaca disana alih-alih ingin menyelamatkan kondisi  perekonomian negeri, namun justru tindakan korup itu semakin marak  dilakukan.  Dari berbagai perilaku seperti itulah maka Presiden Sukarno  saat itu emmbentuk Panitia retooling Aparatur Negara yang disingkat Paran, fungsinya urang lebih adalah sebagai pencatat kekayaan para pejabat negeri.
Sejarah Orde Baru lebih gamblang lagi mampu kita baca. Bahwa praktek korupsi sudah sangat sistematis keberlangsungannya. Okeylah waktu itu ada perkembangan nyata dalam gerak pembangunan negeri ini, namun kita juga harus melek mata bahwa itu semua tetap tak lepas dari yang namanya 'pelicin' demi kelancaran pertumbuhan ekonomi katanya (..?).
Hal itu bisa dibaca pada tanda tahun 1970-an, bahwa para mahasiswa mendesak agar punggawa orde baru memberantas praktek-praktek korupsi, walau sebagaimana yang jamak kita ketahui ending   dari itu semua hanyalah ilusi belaka. Yaa, inilah wajah negeri yang  selalu bersolek, maka para bapak negeripun sepertinya merasa gatal kalau  tak melakukan kegiatan  sekedar pemolesan wajah didepan anak-anak  bangsanya. 
Dan akibat dari perbuatan korup itu jugalah, salah satu yang akhirnya mampu membinasakan kekuasaan orde baru. 
Akan tetapi tatkala kita masuk pada perputaran roda reformasi,  bahkan pemimpin negeripun sudah berganti berulangkali, ternyata keadaan  tak dengan serta-merta bisa berubah secepatnya.  Yang terlihat justru  semakin parah, Praktek Korupsi Kolusi Nepotisme bukan semakin sirna  namun kalau diibaratkan tanaman justru saat ini sedang dalam wilayah konservasi (cagar). 
Jika kita melihat cagar alam pun cagar budaya ada perlakuan isolasi,  yang  tujuannya mungkin adalah demi kelestariannya serta  kemaslahatannya, maka sepertinya perlakuan tindak KKN oleh para punggawa  negeri inipun tak jauh berbeda. Kalau alam pun budaya itu mampu  dipersembahkan untuk seluruh anak-anak bangsa, yang menjadi pembeda  disini hanyalah bahwa perlakuan isolasi tindak korup ini sebatas  dipersembahkan untuk mereka yang memiliki kuasa.
Pembentukan  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) awalnya adalah solusi atas  ketidakpercayaan massa terhadap aparat hukum dinegeri ini, akan tetapi  berjalan seiring waktu justru KPK tak ubahnya gudang tampungan kasus thok, tak lebih dari itu. Ada banyak contoh yang sudah terjadi, dari ruwetnya Century,  rekening gendut, BLBI, bahkan yang terikini adalah case  wisma atletnya Anas Urbaningrum pun Nazaruddin. Adakalanya KPK mirip  dengan sanggar ataupun galery, yaitu sebagai tempat berkumpulnya  orang-orang seni ataupun barang-barang menarik banyak minat manusia guna  menyaksikannya, namun entah sampai kapan penari-penari disanggar itu  akan pentas, entah hari apa galery itu bakalan buka memulai operasi  melayani mengunjung yang tak lain adalah pemirsanya.
66 tahun  Indonesia ini merdeka, yang bisa kita saksikan adalah berdirinya aturan,  tumbuhnya badan penegak hukum, serta badan pemberantas tindak  penyalahgunaan wewenang. Lagi-lagi itu semua hanya badan, badan , dan  badan, tak pernah memiliki kaki, sehingga hanya mampu jalan ditempat.  Tak pernah terlihat badan penegak hukum itu difasilitasi kaki lalu  dengan lihai menyentuh pun menjerat para penguasa lalim. 
Akan  berlangsung selamanyakah badan-badan itu tak bersaranakan kaki,  sementara pelakunya justru malah berkaki empat..? Ada kaki dan tangan  pencetak kebijakan negeri, ada kaki dan tangan pemegang amanat rakyat,  serta tak ketinggalan ada kaki dan tangan penegak hukum itu sendiri. [uth]
___________________
gambar kami ambil dari sini

0 comments:
Post a Comment