Sunday, September 4, 2011

Pentas Sandiwara Jelang Lebaran di Istana

1 Syawal 1432 H sebagai moment Lebaran Idul Fitri tahun 2011 ini telah berlalu, yang kemarin berduyun-duyun pualng "mudik" kampung juga sudah mulai kembali berdatangan kepada tempat pun kegiatan seperti biasanya. Ya, budaya tahunan "arus mudik" itu kini telah kembali menjelma menjadi "arus balik".

Jika kita berbicara mengenai budaya tahunan itu, tak pelak ingatan sayapun melayang pada seputaran lebaran tahun lalu, salah satunya adalah mengenai warta yang beredar dari lingkup istana, atau minimal yang ada hubungannya dengan istana negeri ini.

Tahun lalu hampir sama dengan tahun ini, bahwa menjelang acara Lebaran Idul Fitri ada acara kenegaraan yang sangat penting dalam hubungannya tercipta NKRI ini, adalah perayaan Hari Kemerdekaan Republik. Sehubungan dengan hal tersebut memang bukan hal yang aneh bila satu ampunan baik berujud grasi, amnesti, abolisi, pun rehabilitasi itu diberikan. Tetapi akan menjadi hal yang layak dipertanyakan adalah ketika kita rakyat negeri ini dengan kasat mata mampu melihat "banyak (mantan) pejabat pengerat uang rakyat" memperoleh discount berupa ampunan tersebut. Sebut saja Aulia Pohan yang sempat menjadi pejabat Bank Indonesia. Yang sama-sama dari Bank Indonesia, selain Aulia Pohan ada juga Bun Bunan Hutapea, Maman H Soemantri, serta Aslim Tadjuddin. Sementara satu lagi yang memperoleh ampunan pada setahun lalu itu adalah mantan pejabat Bupati Kutai Kartanegara ( Kukar), Syaukani Hasan Rais. Pejabat satu ini nilai korupsinya hampir mencapai Rp 100 M .

laskar dagelan
Saya rasa teman-teman dan para pembaca disini sepakat untuk tak bisa "berdiam-diri" menyikapi hal itu...? Saya kira semua juga setuju untuk tak berlaku menjadi pengikut "Faham Sendika Dhawuh" melihat kenyataan itu.

Setidaknya kita juga bakal berandai-andai untuk (berlaku subyektif demi) men-"syah"-kan kejadian pemberian ampunan atas Aulia Pohan diatas. ~Ohh, ya wajarlah dia dikasih ampunan, lha wong sama besan sendiri lhoo..!"~

Okey, kalau sekiranya kita tak boleh berandai-andai sebagaimana kalimat diatas, lalu bakalan menjadi wajar bagaimana kita bisa menyikapinya..? Akankah kita menerima 'pasrah bongkokan' alasan yang dipaparkan oleh Marzuki Ali berikut ini..?

Marzuki Ali mengatakan bahwa besan Presiden SBY, Aulia Pohan, dan juga ketiga pejabat BI yang memperoleh ampunan bukanlah koruptor. Melainkan bahwa mereka itu melakukan kesalahan administrasi pengambilan keputusan dalam rapat dengan Pejabat tinggi BI waktu itu, sementara uang Rp 100 M yang digunakan bukanlah uang negara melainkan uang yayasan , dan untuk itu mereka layak untuk mendapatkan ampunan dari Presiden.

Yayasan yang manakah pemilik uang tersebut...? Atau Bank Indonesia itu sudah dikategorikan sebagai yayasan..?

***

Setahun telah berlalu, keadaan itu masih belum bisa kita lupakan, walau memang kenyataannya tak mudah untuk selalu di ingat-ingat kembali.

Dan tahun ini, menjelang Lebaran Idul Fitri, kita juga musti memicingkan mata kembali. Ada aktor baru walau berwajah lama, aktor utamanya bernama Nazaruddin. Dibantu aktor-aktor lain, seperti Anaz Urbaningrum dan pasukan Demokrat-nya, diramaikan para anggota sanggar KPK, kita rakyat Indonesia ini disuguhi tontonan sinetronesia. Dalam adegan demi adegan hampir serupa dengan Gayus Tambunan, kepiawaian serta ketenaran (baca: kesemaran) Nazaruddin tak begitu kalah jika harus dibandingkan dengan Gayus Tambunan. Aktingnya pun sungguh memukau. Peran marah, berontak, menantang, berpetualang sampai dengan acting menyedihkan sudah kita saksikan bersama-sama.

Beberapa hari menjelang Lebaran Idul Fitri tahun ini, sungguh kenangan lama itu tergambar kembali. Kenangan saling berkirim surat bak sahabat pena telah kita lihat didepan mata. Yang bertindak sebagai aktor pasangan Nazaruddin (yang entah antagonis atau protagonis) tak lain dan tak bukan adalah Pak SBY, sang punggawa tertinggi negeri.

Adalah pentas anak negeri yang tak pernah kita tahu apakah butuh tehnik blocking, komposisi, imajinasi pun improvisasi atau tidak. Yang pasti selama dua tahun berturut-turut telah kita saksikan pementasan itu, yaitu saat jelang Lebaran tahun lalu dan waktu jelang Lebaran tahun ini. Kalau tak bisa dikatakan berseri tetapi kenyataan yang kita lihat toh tetap berkesinambungan dengan alur cerita yang hampir serupa. Inilah panggung bangsa ini, pentas jelang lebaran anak negeri.

Lebaran Idul Fitri, yang dapat kita ambil makna adalah moment untuk saling memaafkan. Dan pasca Idul Fitri kali ini, sebagaimana kita dengan mudahnya mampu menyimpulkan ending dari kebanyakan cerita, sinetron, film, pun sandiwara, sepertinya kita juga musti menyiapkan diri untuk kuat dan tahan banting demi menyaksikan pentas "pemaafan para koruptor" dinegeri ini. Kenapa tidak, lha wong Artalyta "Ayin" Suryani saja bisa kokk..! Urip Tri Gunawan saja mendapatkan "berkah" maaf itu juga lhoo...!

Selanjutnya, kita juga musti memaafkan para wong cilik yang tiada ampun menerima hukuman negeri. Meski kesalahan yang pernah dilakukannya masih sebatas mencuri demi sesuap nasi.

Tatkala ending sudah bisa kita tebak, bukan berarti tak ada yang bisa kita pikirkan lagi. Sisa pertanyaan diakhir cerita adalah, akankah selamanya kami rakyat kecil ini harus selalu berposisi sebagai "bala dupak" , sebagaimana peran pendukung pada pertunjukan seni kethoprak...?

Ya, bala dupak memang sangat berperan dalam menghidupkan suasana, namun yang tak dapat dipungkiri, "bala dupak" jugalah yang selalu mendapatkan jatah peran sebagai korban pada pentas perang kolosal. Akankah kita wong cilik ini harus seperti itu..? [uth]

#Prihatin...

#Sungguh terlalu...

0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri