Jurnal tentang memperindah dan mempermanis kehidupan ini
 tertulis selain dengan tujuan berbagi, secara pribadi saya juga 
berkeinginan menjadikannya sebagai bahan introspeksi dan berkaca pada 
diri sendiri.
Mempermanis kehidupan
 ini tertulis lebih karena beberapa waktu lalu saya membaca sebuah 
catatan menteri yaitu Pak Dahlan Iskan (Menteri BUMN) disalah satu kolom
 website BUMN-nya. Catatan Pak Menteri tersebut tepatnya berjudul Mbah Surip Lokal untuk Garuda.
Sejatinya memang sejak dulu saya mengidolakan sosok bernama Dahlan Iskan
 ini, tepatnya saat beliau berhasil memimpin perusahaan surat kabar yang
 berada dibawah naungan Jawa Pos Group. Namun pengidolaan saya ini agak 
meredup dan bahkan lebih mengarah "menjauh" ketika Dahlan Iskan mulai 
menduduki jabatan Menteri.
Alasan "menjauh" tersebut saya
 terapkan bukan lantaran saya menilai Dahlan Iskan bakal berlaku 
sebagaimana pejabat lainnya yang lalu lupa pada kewajibannya. Akan 
tetapi alasan yang saya terapkan lebih pada kehendak menjadi obyektif 
dalam memandang seorang pejabat yang semestinya melayani, mengayomi dan 
me"ngayemi" masyarakatnya. Dimana dengan tak lagi terlalu 
mengidolakannya, maka kesan subyektif adalah hal yang saya harapkan. 
Bukan hal positif saja yang musti dilihat, sebaliknya, saya bisa lebih 
merdeka dalam mengkritisinya.
Hanya
 saja kali ini saya tak mau juga kalau harus terbelenggu pada melulu 
kritisi yang bersifat "kurang puas", lantaran saya juga musti konsekwen 
dalam melihat segala sesuatunya yang tak harus melulu pada kulit, namun juga semestinya pada isi.
Ambillah keputusan terbaik yaitu dengan fokus pada tujuan demi kejayaan! Resiko dikecam adalah bagian dari kehidupan yang sangat indah! [DIs]
Quotation di atas adalah kalimat Pak Dahlan Iskan yang tetap masih saya anggap sebagai "isi", dimana saya tak terlalu memikirkan 'sosok'
 bernama dan berujud 'Dahlan Iskan'. Oleh karenanya kalimat tersebut 
tetap saya anggap sebagai satu hal yang wajib dicerna, direnungi, dan 
akhirnya juga musti diamalkan.
Tatkala
 kita ragu-ragu dan akhirnya hanya beraksi menunda keputusan -apalagi 
hal itu dilakukan hanya karena takut heboh pun terjadi kasak-kusuk-, 
maka justru perjalanan hidup kita selanjutnyalah yang bakal menemui 
kesulitan. Dan selanjutnya ketika hidup ini menemui kesulitan sejatinya 
bukan kita saja yang menderita, lebih dari itu orang-orang disekitar 
kita jugalah yang akhirnya turut menangung akibatnya.
Sebaliknya,
 orang-orang yang pernah mengecam -dan atau memuji- itu toh pada 
akhirnya tak akan turut menderita, dan bisa jadi mereka para pengecam 
itu justru menertawakan. Namun biarkanlah, ini negeri demokrasi, jadi tetap memberikan kebebasan pada mereka -para pengecam- untuk berekspresi adalah sikap "kasih sayang" yang tepat dibanding kita musti berpusing-ria membencinya.
Di
 akhir, saya masih sepakat, bahwa alangkah bahagianya ketika kita mampu 
menjadikan kecaman-kecaman yang ada sebagai bahan mengingatkan pada diri
 sendiri. Bukan tanpa sebab, lantaran hal itu  ternyata mampu memberi 
"pengingat" alias 'reminder'  kepada kita, bahwa hidup ini memang adalah
 sebuah permainan, akan tetapi akan lebih tepat kalau kita tiada niatan 
main-main pada kehidupan. Jadi kitapun mau memposisikan diri untuk takut
 pada permainan pat-gulipat, dimana harapannya kehidupan kita kedepan 
bisa berguna bagi pihak lain, mampu memperindah dan mempermanis kehidupan lain. [uth]
0 comments:
Post a Comment