Tuesday, August 30, 2011

Kearifan lokal Idul Fitri pada penyelenggara negeri..?

Bukan hendak menghilangkan sebuah hajatan yang berasal dari ceremony-religi, namun sejatinya saya memposisikan Idul Fitri a.k.a Lebaran itu tetap lebih cenderung ada pada ranah peringatan kebudayaan dibanding sebuah perayaan agama. Pasalnya pada perayaan Lebaran di Indonesia ini tak lagi hanya umat Muslim saja yang turut serta memperingatinya, keunikan pun kekhasan tradisi masyarakat masing-masing tempat tinggal juga tak luput mewarnainya.

sajian lebaran
Dan sepertinya banyak dari kita juga sudah mahfum bahwa di negeri-negeri Arab yang notabene sebagai pusat kebudayaan Islam sekalipun, perayaan Idul Fitri tak seheboh di negeri Indonesia ini. Justru yang lebih heboh disana adalah peringatan hari raya kurban atau yang acapkali disebut sebagai Idul Akbar (Idul Adha). Hal itu bukan semata-mata karena disana adalah tempat berkumpulnya orang-orang sedunia guna melaksanakan ibadah haji, karena kalau itu alasannya toh langsung bisa dibantah dengan negeri Mesir (dimana negeri ini tak ada hubungannya dengan Ibadah Haji, cmiiw..!) yang melakukan tradisi serupa, yaitu dalam merayakannya tetap sama-sama lebih meriah Idul Adha dibanding Idul Fitri.

Selain sebagai perayaan hari besar agama bagi sebagian umat, ditambah lagi juga sebagai perayaan kebudayaan bagi hampir seluruh anak-anak negeri, Idul Fitri di Indonesia juga merupakan simbolisasi kebersamaan yang sudah terpatri sebagai satu warisan budaya leluhur negeri.

Kenapa saya katakan demikian..?

Karena bila dirunut, Idul Adha adalah peringatan yang identik dengan ibadah haji pun ibadah penyembelihan hewan kurban, dimana dua jenis ibadah ini hanya kaum tertentu saja yang bisa menjalankannya, yaitu kaum dermawan dan berharta. Hal ini lain sekali dengan Idul Fitri, dimana hampir seluruh kalangan entah yang berharta pun yang tidak bisa turut menikmatinya. Bahkan sebelum peringatan Idul Fitri inipun mereka para fakir miskin dan anak terlantar yang harusnya dipelihara negara toh juga berhak memperoleh santunan berujud Zakat.

Berawal dari pemikiran kebersamaan, kekeluargaan, silaturahmi dan solidaritas yang merupakan warisan leluhur inilah kita terbudayakan dalam Lebaran. Berkumpul bersama bukan saja saling memaafkan, lebih dari itu, semua juga diperagakan dalam wujud usaha membuat senang para tamu yang tak lain adalah sanak-saudara, teman, kerabat, juga tetangga dekat.

Usaha membuat senang ini antara lain adalah memberikan semacam angpaw kepada anak-anak kecil. Selain itu sajian Idul Fitri juga tak lepas dari suguhan berujud makanan, hal ini tak lain dan tak bukan salah satu sebabnya adalah karena telah merasa menang dari ujian puasa sebulan penuh. Nah, menyikapi hal yang sudah bisa diprediksikan semacam ini maka banyak masyarakat mensiasatinya dengan caranya sendiri-sendiri.

Bakal ketahuan kalau harga-harga kebutuhan melonjak saat peringatan Idul Fitri, maka tak sedikit para wong cilikpun bersama-sama saling urunan mengumpulkan uang satu tahun sebelumnya guna dialokasikan pada satu usaha, dikelola oleh pihak terpercaya yang selanjutnya dituailah hasilnya pada hari menjelang lebaran tahun berikutnya. Usaha itu bisa saja berupa ternak ataupun usaha jual beli ujud lainnya, yang pasti banyak jalan menuju Roma.

Melihat fenomena ini, semestinya para petinggi negeri mampu melihatnya sebagai kaca benggala guna dijadikan tauladan pada koridor moral serta sosial kemanusiaan. Memupuk kebersamaan yang bersih, bermartabat, adil, makmur dan merata. Sungguh demokratis sekali aplikasi nyata yang terlihat dari para wong cilik sebagai subyek pun obyek perayaan Idul Fitri ini.

Alangkah mulianya tatkala kita semua anak bangsa bisa melihat para pemimpin negeri mampu memaknai Idul Fitri sebagai momentum untuk meminta maaf lalu sadar sesadar-sadarnya untuk memperbaiki kinerja diri. Bahwa negara yang di-manage-nya sudah seharusnya melayani para anak negeri, mencerdaskannya, memajukannya, pun mensejahterakannya. Bahkan lebih dari itu adalah memelihara mereka-mereka yang berada dibawah garis kemiskinan ataupun memberikan hukuman kepada mereka-mereka para pejabat lalim pengerat uang rakyat.

Saya rasa jika hal diatas benar-benar bisa dilaksanakan oleh pemimpin-pemimpin negeri, perilaku itu juga bakalan mampu menjadikan wong cilik tetap bisa merasa eksis menjadi warga negara. Tak lain semua itu karena berasal dari tindakan bisa memanusiakan manusia (manungsakake manungsa liya).

Menjadi hal yang "wajib" dipikirkan oleh para penyelenggara negeri, bahwa kemiskinan dan keterbelakangan bukan semata-mata adalah takdir Sang Pencipta. Lain dari itu, penegakan hukum, penentuan arah politik, pun kebijakan ekonomi akan selalu menjadi sebab yang tak terelakkan, keadilan dan pemerataan yang timpang adalah salah satu bukti nyata. Oleh sebab itulah maka tak sedikit berserakan kaum-kaum termarjinalkan dalam proses-proses (yang katanya) kemajuan jaman ini.

Tatkala anak-anak negeri mampu mensiasati kapitalisme dengan tindakan kebersamaan, saya rasa ini adalah salah satu bentuk egaliter pun kesabaran yang masih tersisa dari anak-anak negeri. Hal ini masuk dalam kategori kearifan lokal yang masih tetap terpelihara meskipun pada tingkatan rakyat jelata. Keperkasaan anak-anak bangsa terbesit disini, terbukti bahwa mereka tak pernah cengeng untuk selalu berpangku tangan atau bahkan mengemis kepada (para penyelenggara) negara. Padahal kalau kita ingat, bukankah negara yang harus mengurusi mereka...? Disini (para penyelenggara) negara mustinya tahu diri dalam kewajiban melayani.

Sakiyeg-sakekapraya nyambut gawe bebarengan karo kancane.
Satu gerakan kebersamaan dan se-iya sekata bekerja sama dengan manusia lainnya.

Memang orang-orang kecil anak-anak negeri ini masih terus berlaku sabar dalam mencari jalan keluar atas permasalahan yang dihadapinya. Meski dalam keterbatasan tetap mau sakiyeg-sakekapraya nyambut gawe bebarengan karo kancane. Ketidak-leluasaan ruang gerak yang disandang tak menjadikan mereka para wong cilik itu patah arang dalam berjuang, tetap dan terus semangat menjalani hari-harinya.

Akan tetapi setelah mengamati hal itu, lalu kapankah para pemimpin negeri ini mampu terketuk pintu hatinya..? Pada saat bagaimanakah mereka para penyelenggara negeri ini juga bisa melihat realita makhluk-makhluk kecil dihadapannya yang terpuruk akibat ketidakadilan dan penindasan...? [uth]

_________________________________
gambar ilustrasi: sajian lebaran


4 comments:

anazkia said...

Rak ngurusi pemerintah
Ora pernah aweh angpau je :D

Saiki njaluk angpau nang Mas Trie wae

*nyladong tangan

anazkia said...

Jiyan nyebelin banget, kolom komentarnya kudu pake acount google, mbok diganti tho.

maztrie said...

lahh,,,
iku ya tak bukak komentare nggo open ID ngono owk Naa....
piye ik..?

anazkia said...

Endhiiii...??? Open ID masih tetep gak friendly, mbok setting everyone ae, meskipun kalau pake sistem itu anonym masih bisa komen. Tapi seenggak2nya lebih friendly. Kalau buka acount google doank, kesane ndak bersahabat sama yang lain. Maap ngoceh

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri