Thursday, April 9, 2009

agama Kartini


Pembicaraan tentang Kartini seakan-akan tidak pernah habis-habisnya. Berbagai penulis di luar dan dalam negeri menyorotinya dari berbagai aspek dengan berbeda perspektif dan kepentingan. Aspek spiritual keagamaan tokoh emansipasi ini bisa dilihat dari sisi kejawen, komunis, Islam, dan Kristiani. Sebagaimana terlihat dari tiga buku yang ditulis tentang Kartini.

  1. Pertama, Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramoedya Ananta Toer (1962, cetak ulang tahun 2000);
  2. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara (1995); dan
  3. Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini oleh Th Sumartana (1993). Tulisan ini juga menyinggung artikel St Sunardi, Ginonjing: Emansipasi Kartini pada majalah Kalam (No 21, 2004).
Sinkretisme

Ada usaha untuk menggambarkan figur Kartini sebagai wanita yang menganut faham sinkretisme. Kartini mengatakan bahwa ia anak Budha, dan sebab itu pantang daging. Suatu waktu ia sakit keras, dokter yang dipanggil tak bisa menyembuhkan. Lalu datanglah seorang narapidana Cina yang menawarkan bantuan mengobati Kartini. Ayah Kartini setuju. Ia disuruh minum abu lidi dari sesaji yang biasa dipersembahkan kepada patung kecil dewa Cina. Maka ia dianggap sebagai anak dari leluhur Santik-kong dari Welahan. Setelah minum abu lidi persembahan untuk patung Budha itu, Kartini memang sembuh. Ia sembuh bukan karena dokter, tapi oleh obat dari ''dukun'' Budha. Sejak itu Kartini merasa sebagai ''anak'' Budha dan pantang makan daging.

Pramoedya menulis, ''Bagi Kartini semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya pada sesamanya, yaitu masyarakatnya.'' Kartini menemukan dan mengutamakan isi lebih daripada bentuk-bentuk dan syariat-syariat, yaitu kemuliaan manusia dengan amalnya pada sesama manusia seperti dibacanya dalam rumusan Multatuli: ''Tugas manusia adalah menjadi Manusia, tidak menjadi dewa dan juga tidak menjadi setan''.

Menurut Kartini, ''Tolong-menolong dan tunjang-menunjang, cinta- mencintai, itulah nada dasar segala agama. Kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna keilahian daripadanya: karunia.'' (hlm 235). Sebelumnya Kartini telah menegaskan, ''Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam, dan lain-lain.'' (hlm 234)


Kartini dan Alquran


Di dalam buku Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia terdapat sebuah bab yang berjudul 'Pengaruh Al Quran terhadap Perjuangan Kartini'. Pandangan Kartini tentang Islam disoroti secara positif. ''Segenap perempuan bumiputra diajaknya kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang, untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat agama lain memandang agama Islam, agama yang patut dihormatinya'' (surat kepada Ny van Kol, 21 Juli 1902.)

Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, Ny. Van Kol berusaha mengajak Kartini beralih kepada agama Kristen. Namun hal ini ditolak oleh sang putri Bupati Jepara itu. Bahkan ia mengingatkan zending Protestan agar menghentikan gerakan Kristenisasinya. Jangan mengajak orang Islam memeluk agama Nasrani.

Sejak lama Kartini resah sebab tidak mampu mencintai Alquran karena Alquran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa manapun. Di sini tiada seorang pun tahu bahasa Arab. Orang di sini diajarkan membaca Alquran, tetapi yang dibacanya tiada yang ia mengerti. Demikian pengakuan dirinya tentang kebutaannya terhadap Alquran kepada Stella Zeehandelaar (18 Agustus 1899). Kartini merindukan tafsir Alquran agar dapat dipelajari.

Betapa bahagianya Kartini setelah mendapat penjelasan kandungan isi Alquran, seperti digambarkannya kepada EC Abendanon, ''Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaaan di samping kami''. Dirasakannya ada semacam perintah Allah kepada dirinya, ''Barulah sekarang Allah berkehendak membuka hatimu, mengucap syukurlah!''

''Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang teguh teguh di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi''. Kata habis gelap terbitlah terang selain tercetus 17 Agustus 1902 juga karena pengaruh cahaya yang menerangi lubuknya hatinya. Minazh zhulumati ilan nur Ini tafsiran Ahmad Mansur Suryanegara.


Akrab dengan Ajaran Kristen


Di dalam buku yang ditulis Th. Sumartana diakui bahwa Kartini lahir dan meninggal sebagai muslimat (hlm 67). Namun ia memiliki kedekatan dengan ajaran Kristen. Bagaimana pendapatnya tentang zending? Berbeda dengan uraian Ahmad Mansur Suryanegara, Th Sumartana melihat dari sudut pandang lain. Menurutnya, Kartini menganggap tidak jujur apabila zending memancing di air keruh dan mempropagandakan agama Kristen di tengah-tengah orang Jawa yang miskin, penuh penyakit dan bodoh, tanpa lebih dulu mendidik mereka, mengobati dan menolong mereka dari kemiskinan. Iman dan kepercayaan yang benar menurut Kartini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang sudah benar-benar sadar memilih, dan mereka yang sudah dewasa (hlm 47). Jadi bagi Th Sumartana, persoalannya bukankah masalah mengkristenkan orang Islam, sebagaimana yang disoroti oleh banyak ulama.

Kartini menggambarkan bahwa ada hubungan yang dekat dan intim antara dirinya dengan Tuhannya. Kedekatannya dengan Tuhan tersebut pada gilirannya memperoleh gambaran tertentu yang diambil dari kehidupan keluarganya sendiri, yaitu hubungan antara bapak dan anak. Ia sendiri amat dekat dengan ayahnya, sekalipun dalam banyak perkara mereka tidak sependapat, hal itu tidak mengurangi rasa kasih sayang dan saling menghormati di antara mereka berdua.

Sebab itu ketika Ny van Kol mengintroduksi ungkapan ''Tuhan sebagai Bapa'', Kartini segera menyambutnya dengan semangat. Ungkapan tersebut dianggap tepat, sebagai cetusan pengalaman batinnya sendiri. Dengan demikian, dapat dipahami jikalau dalam surat-surat Kartini ungkapan Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih sayang tersebar di sana-sini. Dalam suratnya kepada Ny. van Kol tanggal 20 Agustus 1902, ia menulis: ''Ibu sangat gembira... beliau ingin sekali bertemu dengan Nyonya agar dapat mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada Nyonya atas keajaiban yang telah Nyonya ciptakan pada anak-anaknya; Nyonya telah membuka hati kami untuk menerima Bapa Cinta Kasih!''

Pada surat lain, Kartini menulis ''Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali persaudaraan di antara semua makhluk Allah, berkulit putih dan cokelat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak Bapa yang Satu itu, Tuhan yang Maha Esa!''

Dari Ny. van Kol pula Kartini belajar membaca Bibel dan mengerti sebagian dari beberapa prinsip teologis dari ajaran Kristen. Malahan turut pula mengambil alih beberapa kata yang punya arti tertentu dalam cerita Al-Kitab, seperti Taman Getsemani, tempat Yesus berdoa dan menderita sengsara.

Dalam surat kepada Ny. van Kol, Agustus 1901, Kartini menyebutkan bahwa derita neraka yang dialami oleh kaum perempuan itu disebabkan oleh ajaran Islam yang disampaikan oleh para guru agama pada saat itu. Agama Islam seolah membela egoisme lelaki. Menempatkan lelaki dalam hubungan yang amat enak dengan kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan harus menanggungkan segala kesusahannya. Perkawinan cara Islam yang berlaku pada masa itu, dianggap tidak adil oleh Kartini. (hlm 41).

Itu bukan dosa, bukan pula aib; ajaran Islam mengizinkan kaum lelaki kawin dengan empat orang wanita sekaligus. Meskipun hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan ajaran Islam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya dosa. Semua perbuatan yang menyebabkan sesama manusia menderita, saya anggap sebagai dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain; manusia atau binatang. (hlm 41)

Kritik Kartini yang keras terhadap poligami mengesankan ia anti-Islam. "Tetapi sebetulnya tidak demikian," ujar Haji Agus Salim. ''Suara itu haruslah menjadi peringatan kepada kita bahwa besar utang kita dan berat tanggungan kita akan mengobati kecelakaan dan menolak bahaya itu. Kepada marhumah yang mengeluarkan suara itu, tidaklah mengucapkan cela dan nista, melainkan doa mudah-mudahan diampuni Allah kekurangan pengetahuannya karena kesempurnaan cintanya kepada bangsanya dan jenisnya.'' (hlm 43).

St. Sunardi, dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta mengulas aspek emansipasi yang dilancarkan oleh Kartini yang mencakup emansipasi kelembagaan dalam bidang pendidikan, emansipasi keluarga, bahasa, dan olah rasa. Ginonjing adalah nama gending kegemaran Kartini dan adik-adiknya yang menggambarkan pengalaman batin yang tidak menentu. Ada suasana muram saat Kartini mengunyah ide emansipasi di Eropa dan membandingkan dengan keadaan di Jepara saat itu. ''Siapa pun yang terpilih oleh nasib menjadi ibu ruhani untuk melahirkan yang baru harus menanggung derita. Ini adalah hukum alam siapa yang melahirkan harus menanggung kesakitan saat melahirkan bayi yang teramat sangat kami cintai.''

Ternyata kemudian Kartini tidak jadi belajar ke negeri Belanda. Ia menerima lamaran Bupati Rembang yang sudah beristri tiga dan punya anak tujuh. Kartini memang manusia biasa dengan segala keterbatasannya. Namun wacana tentang perempuan yang satu ini masih tetap hidup, baik di kalangan penganut aliran kepercayaan, Islam, Protestan, Katholik, dan komunis, dengan berbagai versi dan beraneka kepentingan.

Bagi Kartini semua agama sama, amal terhadap sesama manusia lebih penting dari syariat. Demikian interpretasi Pram. ''Habis gelap terbitlah terang'' disebabkan oleh karena lubuk hati Kartini telah memperoleh nur Ilahi, demikian pendapat Ahmad Mansyur Suryanegara. ''Tuhan sebagai Bapa'', merupakan cetusan hati Kartini, begitu ujar Th. Sumartana. ''Ibu rohani menanggung derita," ucap St. Sunardi. "Meskipun bersuara keras menentang poligami, Kartini bukan anti-Islam," kata Haji Agus Salim.

Kartini tampaknya ditakdirkan menjadi milik semua golongan dan diperebutkan oleh berbagai kepentingan. Pertanyaan yang dapat diajukan di sini, mana yang lebih penting apakah label agama/ideologi seseorang atau perjuangannya untuk emansipasi bangsa
Source: Pakdhe Dar

0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri