Suatu hari Nasrudin kedatangan seorang Badui dari dusun. Badui itu membawakannya seekor
kalkun yang sangat besar. Nasrudin tentu saja senang. Dia membalas kebaikan si Badui dan menjamunya dengan makanan yang enak-enak.
Selang beberapa hari, datang lagi ke rumah Nasrudin seseorang yang mengaku sebagai kerabat si Badui. Nasrudin kembali menjamunya makan, walaupun tidak semewah kemarin. Selang beberapa hari kemudian, datang lagi orang yang mengaku sebagai teman dari kerabat orang yang memberi Nasrudin kalkun itu. Nasrudin, walaupun mulai kesal, tetap menjamunya ala kadarnya.
Eh, beberapa hari kemudian datang lagi orang yang mengaku sebagai teman dari teman kerabat orang yang memberi Nasrudin kalkun. Nasrudin, yang sangat marah, menjamu orang itu dengan menghidangkan sepanci air yang diberi sedikit garam. Tentu saja si tamu kaget dan protes.
“Wahai Nasrudin, apa yang anda hidangkan ini?”.
Nasrudin, sambil menahan amarah, menjawab;
“Itu kuah kari dari karinya kari kalkun dari temannya teman kerabat si Badui itu!”
*****
KKN
Istilah KKN, kalau saya tidak khilaf, pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Muhammad Amien
Rais, di masa-masa akhir kekuasaan Presiden Soeharto. Istilah itu kemudian demikian popular dan akrab di telinga kita. Dari pejabat tinggi (tentu pejabat yang tidak terlibat KKN!),
sampai para pengangguran di gang-gang sempit “komplek” rumah-rumah kumuh, semua bicara KKN.
KKN tiba-tiba menjadi “makhluk” yang mengerikan dan patut diganyang bersama-sama. Salah
satu agenda reformasi yang disodorkan para mahasiswa dalam demonstrasi mereka adalah memberantas KKN, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Salah satu isi kampanye para calon anggota legislative dan capres dalam pemilu, yang banyak disambut massa adalah janji “akan” memberantas KKN bila terpilih. Walaupun setelah terpilih, sebagian dari mereka menjadi bagian dari praktik itu. Dan memberantas KKN hanya tinggal “janji akan”.
Nasrudin mengalami sendiri, betapa menjengkelkannya prilaku KKN itu. Dia menyangka, menjamu tamu sudah sebanding dengan seekor kalkun yang diberikan si tamu. Ternyata itu belum cukup, karena masih diikuti dengan kunjungan tamu-tamu lain yang mengaku mempunyai hubungan dengan si pemberi kalkun atau teman si pemberi kalkun. Untungnya Nasrudin mempunyai “keberanian” untuk memutus mata rantai KKN yang menjengkelkan itu. Sehingga selamatlah dia dari kemungkinan yang paling buruk yaitu dirongrong terus menerus oleh tamu-tamu yang mengaku sebagai teman atau kerabat si pemberi kalkun.
Rupanya kita kudu belajar dari keberanian Nasrudin memberantas KKN. Dia tidak sungkan-sungkan langsung memotong putus jerat gurita KKN. Hanya dengan cara itu KKN bisa diberantas, begitu pikir Nasrudin. Sastrawan Italia, Umberto Eco penulis novel laris The Name of The Rose, pernah dengan sinis menggambarkan kebobrokan KKN di negerinya, bahwa seseorang yang kenal dengan teman dari temannya anak seorang pejabat bisa dengan mudah mendapatkan proyek dari pemerintah.
Yang membuat KKN merajalela di negeri Nasrudin adalah bobroknya sistem sosial dan politik.
Setiap orang yang diangkat sebagai pejabat negara mengidentifikasikan diri sebagai ”raja”
yang harus dilayani para abdi dalem, dan menggunakan harta Negara seperti miliknya sendiri. Itulah sebabnya mengapa di sana terjadi korupsi besar-besaran tapi tidak satupun koruptor yang dihukum. Karena memang sulit sekali dibuktikan, meskipun tanda-tandanya bisa dilihat mata.
Belum lagi soal kolusi. Dalam kisah Nasrudin yang berkenaan dengan lembaga peradilan atau
penegakan hukum, “aroma” kolusi terasa sangat kental. Dan Nasrudin, kalau posisinya sebagai klien, selalu berhasil merobek-robek jerat kolusi ini. Betapapun rapinya drama kolusi dimainkan oleh Hakim dan orang yang berurusan dengan Nasrudin, tapi Mullah kita ini selalu lebih cerdik dan keluar sebagai pemenang.
Dan nepotisme...?
Prilaku nepotisme sebenarnya syah dan baik-baik saja, asalkan proporsional dan profesional.
Proposional kalau maksud yang terkandung dalam kebijakan yang dianggap nepotis itu untuk kepentingan yang lebih besar dari sekedar mengangkat anak, teman atau saudara menduduki posisi tertentu. Misalnya untuk kepentingan Negara atau rakyat.
Dan profesional maksudnya mereka yang dilibatkan dalam kebijakan nepotis itu harus betul-betul ahli, mengerti dan bisa melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.
Kalau anda menjadi Presiden dan anak anda seorang yang ahli dalam ilmu kelautan, saya rasa,
tidak ada salahnya kalau dia diangkat sebagai Mentri Eksplorasi dan Kekayaan Laut, misalnya. Kalau teman anda diakui sebagai pakar pendidikan, tidak masalah kalau dia ditunjuk sebagai Mentri Pendidikan.
Nepotisme baru bermasalah kalau secara kasat mata kita melihat kejanggalan dalam kebijakan
nepotis itu. Karena posisi anda sebagai orang nomor satu di sebuah instansi, lalu anda dengan seenaknya mengangkat orang-orang yang dekat dengan anda, padahal mereka tidak mempunyai kecakapan dan kemampuan yang memadai untuk jabatan yang mereka emban.
Tapi ‘ala kulli hal, di negara manapun KKN memang sangat menjengkelkan. Itulah sebabnya
“dia” harus diberantas, termasuk di Indonesia. Walaupun di sini masih dalam taraf “janji akan”. Bukankah begitu....?!![kangkun]
~~maztrie~~
Monday, May 25, 2009
KKNnya ala Nasrudin
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment