Saturday, July 18, 2009

Tarmin [The Ritz Bomb blasted]

Sekali lagi saya reblog dari postingannya Kang Kandar. Makasih ya Kang.......

*****
Pagi ini terjadi ledakan bom di Mega Kuningan, Jakarta. Sebuah peristiwa yang mengingatkanku pada peristiwa serupa tahun 2004 lalu. Peristiwa seputar ledakan bom waktu itu menginspirasikanku untuk menulis sebuah cerpen berjudul di bawah ini. Pernah dimuat di Mingguan HIDUP, edisi Februari 2005. 'Tarmin'
TARMIN
TARMIN dengan sabar menunggui gerobak teh botolnya. Sesekali dia melayani pembeli dari antara kerumunan orang yang beberapa hari ini membuat jalanan macet. Omzet penjualan teh botolnya naik dua kali lipat semenjak kemarin lusa.
Sebetulnya Tarmin menyembunyikan kebingungan di sudut hatinya. Dia bertanya, apakah ini suatu berkah atau kutukan. Kalau berkah, mengapa justru mengalir dari darah dan potongan-potongan tubuh yang pernah tercecer di ruas jalan itu. Kalau kutukan, mengapa sekarang keuntungan yang dia peroleh berlipat ganda. Atau, jangan-jangan ini bagian dari kutukan yang karmanya akan dia terima entah suatu saat nanti. Tetapi, ah... mengapa pusing-pusing menjawab pertanyaan yang tak mungkin mampu dia jawab itu. Aku toh bukan rohaniwan, agamawan, moralis, apalagi filsuf. Penjual teh botol gerobak, iya! Dan yang jelas, bukan teroris atau provokator..!
Rupanya Tarmin tidak tahu bahwa soal identitas seseorang belakangan sempat membuat setiap HRD manager kantor sepanjang jalan itu kelabakan. Di antaranya bahkan ada yang baru mulai berpikir mengenai ID Card untuk karyawannya. Mereka baru sadar, betapa pentingnya secarik kartu laminatingan yang dikalungkan di leher atau dijepitkan di dada. Di situ tertera nama, jabatan, dan nomor induk dari tempat si pemakai bekerja. Kalau terjadi apa-apa atas diri karyawannya, segera sang manager tahu, dan segera mengurus klaim asuransi atau jaminan ini-itu. Kartu itu bisa menjadi passport masuk gedung perkantoran megah di Jl. Sudirman. Bahkan, yang tercanggih sekaligus bisa digunakan untuk kartu kredit berbelanja atau untuk mencairkan gaji di ATM. Gesek sedikit, beres..!
Tarmin tak punya itu. Ada, KTP lusuh, tetapi masih berlaku. Barangkali kalau dia kena bom, KTP-nya itu akan hancur juga berkeping-keping. Selanjutnya, akan ada judul di koran 1000 rupiahan yang dijual di lampu merah, “Penjual teh botol tewas kena ledakan bom!”
Namun, sekali lagi Tarmin saat ini tidak berpikir akan hal itu. Mungkin karena dia bukan bawahan atau tanggung jawab siapa-siapa. Dia menjadi bos bagi dirinya sendiri, meski hanya sebagai penjual teh botol gerobak dorong. Soal ID Card, cukuplah KTP lusuhnya. Kalau itu hancur juga karena kena bom misalnya, ya sudah! Kalau memang begitu cara dia akan mati, yang bagaimana lagi! Soal ini dia percayakan kepada Yang Di Atas. Pasrah.
Saat ini hatinya lebih digusarkan oleh pertanyaan tadi. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Sepertinya ada segoncangan teror atas identitasnya sebagai penjual teh botol pasca ledakan bom di tempat dia mangkal sekarang ini. Dia digoncang oleh pertanyaan, apakah aku adalah orang yang mengambil keuntungan dari sebuah tragedi! Barangkai perasaan ini terlalu berlebihan. Tetapi, itulah Tarmin, seorang urban baru dari pelosok desa yang mudah berempati pada penderitaan orang lain. Sementara dia tidak tahu jawaban atas pertanyaannya itu, entah mengapa sambil membukakan tutup teh botol dan memasukkan sedotan plastik ke dalamnya untuk “penonton masterpiece sang teroris” yang kehausan, dia membatinkan sebuah doa untuk para arwah jenazah yang sekarang masih di rumah sakit.
Dia berdoa, “Ya Tuhan, semoga mereka beristirahat dalam damai. Dan semoga rejeki yang aku terima ini tidak membawaku kepada kegelapan azab neraka, melainkan kepada hidup yang penuh syukur dan ampunan dari-Mu.” Dengan doa itu rasa bersalahnya seperti telah dia bayar. Hatinya sedikit terasa nyaman. Doa itu dia ulang-ulang menjadi sebaris dzikir sembari menunggu ada pembeli memesan teh botolnya. Mulut hatinya mengucapkan doa itu meski matanya sibuk mengikuti lalu-lalang orang dan kendaraan di depannya.
***
“Mas, kalau mau ke Kampung Melayu sebaiknya lewat mana ya...?”
Tiba-tiba doa si Tarmin terhenti oleh pertanyaan seorang cewek muda yang sedang dia layani. Dia sudah puas motret sana motret sini dengan kamera HP-nya. Dia memesan 2 teh botol, yang satu untuk seorang lelaki sebayanya yang menunggu di atas motornya.
“Oh, Kampung Melayu... Hmmm..., Mbak ambil jalan ini lurus ke Selatan, sampai di jembatan layang, ambil jalan ke Timur. Nah, lurus saja nanti akan ada papan petunjuk.”
“Selatan itu mana sih, Mas? Aku bingung mana Utara-Selatan Timur-Barat di Jakarta ini. Lebih mudah kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah, hehe...” Kemayu juga ini cewek, pikir Tarmin, mengamati caranya bicara.
Cewek itu senyam-senyum tanpa memandang Tarmin, karena mata dan jempol jari tangannya sibuk dengan HP berkamera seharga kira-kira 4 ekor kambing jantan itu.“Jalan ini arahnya Utara-Selatan. Nah Selatan itu sono...” terang Tarmin sambil menunjuk arah mataangin yang dimaksud.“Makasih ya Mas...”
Kasihan. Soal kiblat mataangin, cewek Jakarta ini tidak tahu! Tarmin segera ingat beberapa pembicaraan orang muda saat ngerumpi soal arah, ke arah mana harus ke Mall Mangga Dua, letak Casablanca dari arah Grogol, dsb.
Bukan Utara-Selatan Timur-Barat yang dia dengar. Tetapi hanya kiri-kanan. Mungkin kiblat yang berlaku di Jakarta hanya itu: kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah! Mungkin mereka tak pernah melihat di mana matahari terbit dan terbenam, meski mereka percaya kalau matahari terbit di Timur dan tenggelam di Barat.“Min, bapak pesan, di Jakarta kamu jangan sampai kelangan kiblat! Apa pun yang terjadi. Dengan itu kamu masih bisa pulang ....
Dengan itu pula kamu tahu bagaimana harus sujud berdoa ...” tiba-tiba pesan bapaknya sebelum Tarmin merantau ke Jakarta ini terngiang kembali.Tarmin tidak melupakan itu. Hanya sekarang dia memahami dimensi lain mengenai kiblat yang mesti dia pegang di Jakarta. Kiblatnya menjadi simpel, tetapi bisa berakibat fatal. Cita rasa moral-religius-simbolisnya
sebagai orang Jawa pelosok mencoba menterjemahkan hal ini. Sederhana sekali: kiri berarti salah, kanan berarti benar; belakang berarti mundur, depan berarti maju; atas berarti kejayaan, dan bawah berarti kekalahan. Entah mengapa, Tarmin tiba-tiba merasa menjadi orang yang harus bijaksana di Jakarta ini. Dalam bahasa Tarmin, bijaksana berarti ndalan (Jw.: setia berada di jalan yang benar), yaaah....
meskipun saat ini dia baru bisa di pinggiran jalan. Bijaksana di Jakarta berarti harus punya orientasi yang jelas, bukan hanya soal arah mataangin, tetapi soal bagaimana orang harus hidup. Saat-saat pertama tiba di Jakarta, Tarmin hampir selalu dipusingkan oleh macam-macam pertanda alam yang harus dia maknai sendiri. Apa yang terjadi di jalan telah berbicara mengenai banyak hal kepadanya tetang kehidupan di belantara kota Jakarta ini. Saking banyaknya, hampir-hampir dia tergoda untuk mengabaikannya saja, daripada gila karena adanya konflik batin antara yang semestinya dilakukan dan yang sudah lumrah dilakukan banyak orang. Hampir-hampir dia tergoda untuk berprinsip, “Kalau mau hidup di jalanan Jakarta, jangan ikut aturan! Bisa-bisa malah celaka!”“Aku tidak mau celaka!” pekik Tarmin dalam hati.“Tetapi aku tidak mau bersembunyi dari matahari di Timur dan Barat!” sekali lagi Tarmin menegaskan dirinya, “Entah apa pun yang terjadi .....”
Cewek dan cowok tadi sudah pergi ke Selatan, dengan 4 ekor kambing tergantung di tali HP yang melilit leher cewek itu. Tarmin masih setia di pinggir jalan dekat lokasi tragedi. Botol-botol teh di gerobak Tarmin mulai banyak yang melompong kosong. Jalan itu makin ramai saja menjelang hari gelap kali ini. Polisi masih memasang posko keamanan, dan petugas investigasi masih sibuk periksa ini-itu. Sekali waktu jeprat-jepret lampu blitz dan sorot lampu kamera reporter televisi menerangi sudut-sudut tertentu, dan barangkali besok hari ada berita dan liputan kecil dari mereka di media masa. Pembaca, pendengar dan pemirsa tentu menanti-nanti, apakah ada yang baru yang belum aku ketahui? Mereka beli koran, setel radio dan televisi, berharap akan berita baru yang lebih sensasional.....“Yaaa..... se-sensasional segarnya teh botol di gerobakku ini, ketika mengalir membasahi kerongkongan orang yang kehausan!” pikir Tarmin sambil meneguk sediri teh botol terakhir yang tersisa di gerobaknya.“Betul! Sama sensasionalnya!”
Tarmin tersenyum. Sepertinya dia sedikit memahami jawaban atas pertanyaannya tadi. [uth-reblog]
Jakarta, 6 Desember 2004
* Pernah dimuat di Mingguan HIDUP, edisi Februari 2005.
read more >>

Tuesday, July 14, 2009

[pesta blogger 2009] AS dukung blogger RI, blogger tak bisa di ikat kode etik

AS memberikan dukungannya pada pelaksanaan Pesta Blogger 2009. AS menilai kebebasan ekspresi harus didukung dan komunikasi lancar merupakan bagian yang penting untuk masa depan.

“Saya punya tiga alasan mengapa AS kembali memberikan dukungannya. Pertama, technology is fun. Kemudian kebebasan ekspresi harus didukung, dan komunikasi lancar merupakan bagian yang penting untuk masa depan,” ungkap Dubes AS untuk RI Cameron Hume dalam jumpa pers di Gedung Depkominfo, Jakarta, Selasa (14/7).

Dukungan itu berupa sponsor utama untuk pelaksanaan Pesta Blogger 2009 yang diperkirakan menelan biaya sekitar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Menurut Ketua Panitia PB 2009, Iman Brotoseno, pihak AS akan memberikan sumbangan 20%.

Tahun lalu, AS juga memberikan sumbangan untuk pelaksanaan PB 2008. Hume mengatakan peran serta AS juga penting bagi negara mereka sendiri dengan mengajarkan Amerika untuk bersosialisasi bersama, terutama dengan makin maraknya arus komunikasi modern

“Indonesia merupakan sebuah negara yang sensitif secara sosial, jaringannya luas. Kami berharap bisa belajar dari negara ini, dalam artian penggunaan media komunikasi seperti ini,” pungkas Hume.

*******

Blogger Tak Bisa Diikat Kode Etik

Kasus-kasus terkait penggunaan blog seperti yang dialami Prita Mulyasari beberapa saat lalu diakibatkan tak adanya batasan tertulis mengenai media online itu. Namun, blogger tak bisa diikat dengan peraturan.

“Tak ada aturan yang mengikat, hanya pengguna per komunitas saja. Itupun hanya semacam community guidelines,” ujar Enda Nasution, salah seorang anggota panitia penyelenggara Pesta Blogger 2009, usai konferensi pers di Gedung Depkominfo, Jakarta, Selasa (14/7).

Mencuatnya kasus Prita Mulyasari yang terseret ke pengadilan memang sempat membuat khawatir blogger Tanah Air. Sebab itulah beberapa komunitas berkumpul dalam sebuah forum yang bertujuan untuk membuat semacam kode etik blogging.

“Tapi blogging bukanlah profesi, seperti jurnalis yang memiliki kode etik. Tidak bisa menerapkan kode etik yang mengikat pada blogger. Namun bukan berarti bebas, blogger harus memiliki sopan santun agar tidak menjadi liar,” lanjut Enda.

Blogging di Indonesia tumbuh dengan pesat dan setiap tahunnya diwadahi secara khusus oleh pemerintah melalui ajang Pesta Blogger. Tahun ini, Pesta Blogger diselenggarakan bertepatan dengan Hari Blogger Nasional yang diperingati setiap 27 Oktober. [pakdhedar] [INILAH]

~~maztrie~~
Creative Commons License
read more >>

Saturday, July 11, 2009

Menggubah ‘Suluk’ di Tengah Kebebalan

Membaca review dari sedulur lanang KangMas Kandar (weh, sory yo Kang tak anggep sedulur tanpa permintaan ijin sebelumnya, semoga nggak dibanned atau report abuse, hihihiii....) koq ku merasa tertarik banget tuk menempel ulang dirumah ini sambil minum teh, rolasan siang akhir pekan ini mumpung masih dikampung, yummmmm nasgitellll..... Ada temen-temen yang mau...? Join disini yuk...!!!, burung kutilangku juga berbunyi koq ini.....
*******
SEBUAH videoklip berjudul
‘Pantun Jadi-jadian’, yang diunggah oleh Anis Sholeh di halaman facebook komunitas Orkes Puisi Sampak GusUran, tiba-tiba lenyap, persis sehari sebelum kelompok itu menggelar konser bertajuk ‘Bersama Kita Gila’ di Bentara Budaya, Palmerah Selatan, Jakarta, 11 Juni lalu. Admin facebook mengirimkan peringatan, videoklip itu ditengarai menyebarkan kebencian dan menjelek-jelekkan kelompok tertentu (hateful, threatening, graphic, or that attack an individual or group).

Hal serupa pernah terjadi juga pada videoklip
‘Suluk Kiamat alias Bersama Kita Gila’. Dia pernah ‘menghilang’ selama dua minggu dari halaman situs video-sharing YouTube di saat ratingnya telah melambung tinggi dan memperoleh 7 award dari para penggemarnya. Meski peristiwa itu nyaris tak terdengar oleh publik yang lebih luas, apalagi dimejahijaukan seperti pengalaman seniman-seniman vokal terdahulu, diam-diam kasus kecil itu menandakan bahwa suara kritis seniman masih ‘diperhitungkan’ oleh kalangan tertentu.

Beberapa puisi Anis memang bisa memerahkan telinga dan mengundang senyum kecut pihak-pihak tertentu. Misalnya:
“Dari Sabang sampai Merauke, berjajar maling-maling. Sambung-menyambung menjadi satu, namanya pasar maling. Para maling bersekongkol menyandera masa depan. Nilai diputarbalikkan jadi saham perdagangan,” dalam ‘Pantun Jadi-jadian’. Atau: ”Kamu bilang keadilan, kami bilang: prek! Kamu bilang kemakmuran, kami bilang: prek! Kamu bilang kesejahteraan, kami bilang: prek! Kamu bilang kemajuan, kami bilang: prek!” (dalam ‘Suluk Mabuk Segala Jurusan’).

Aroma kritik sosial dari puisi-puisi Anis nyaris seperti seruan seorang Nabi di padang gurun untuk mengoreksi umat yang sudah bengkok kehidupannya supaya kembali berikhtiar dan menjadi bijak:
“Kiamat, kita pembangunnya. Neraka, kita perancangnya. Jangan tuding pelaku lainnya, agar bisa jadi pahlawannya!” (dalam ‘Suluk Kiamat’). Atau: “Kemiskinan, kelaparan, anak-anak keleleran di pinggir jalan, akan merampok surga yang kaubayangkan dalam nyenyak ketidakadilan,” dalam ‘Suluk Sunyi’.
Sejak 1979 Anis Sholeh Ba’asyin sudah aktif menulis puisi dan esai sosial budaya, tersebar di berbagai media dan antologi. Sejumlah kumpulan puisinya telah diterbitkan:
Orang Pinggir Jalan (YP3M Prakarsa, 1982), Kisah Pertobatan Senti (YP3M Prakarsa, 1984), Potret Iblis (KPK, 1992), dan Jaman Gugat (Taman Budaya Jawa Tengah, 2007).

Tahun ’90-an sempat beristirahat dari dunia penulisan dan suntuk nyantri pada KH. Abdullah Salam, seorang kyai sepuh di Kajen, Pati. Mulai aktif lagi menulis tahun 2001.


Sejak 2005, bersama kelompok Orkes Puisi Sampak GusUran yang saat itu mulai berkibar, ia aktif mengadakan konser keliling dari pelosok desa sampai ke pusat-pusat kebudayaan. Selain itu ia juga aktif dalam banyak gerakan sosial, budaya dan keagamaan. Tema puisinya yang beragam, dari masalah sosial hingga renungan sufis, membuatnya bisa tampil baik dalam demo,
happening art, maupun pengajian.

Aktivitas dan latar belakang seperti itu tentu semakin mematangkan proses kreatif Anis Sholeh, baik dari segi muatan maupun kemasannya. Format ‘orkes puisi’ dipilih karena dianggap mampu mewadahi keinginan awal untuk menafsirkan, mengawinkan dan mengorkestrasikan puisi dalam komposisi-komposisi musikal. Selain itu, format itu diyakini mampu menjadi jembatan untuk lebih mendekatkan muatan puisi pada masyarakatnya.


Nama ‘Sampak’ diambil dari jenis irama musik dalam pewayangan, ritmenya rancak membangkitkan semangat, biasanya untuk mengiringi adegan perang. Sedangkan ‘GusUran’ bisa dibaca sebagai permainan bentuk penulisan kata ‘gusuran’ yang berkonotasi keterpinggiran. Kata ‘Uran’ dibaca sebagai bentuk jamak dari ‘ura-ura’ (Jawa) yang berarti bersenandung.

Dalam bermusik, kelompok ini berusaha untuk menerjemahkan ke-Indonesia-an secara lebih dinamis, dengan menyerap semangat dan komposisi musik tradisional, dan meramunya dengan mosaik musikalitas baru yang tumbuh di masa kini.

Akhir-akhir ini, di tengah hiruk pikuk kampanye capres dan cawapres, bersama 17 rekan yang tergabung dalam kelompok orkes puisinya, Anis Sholeh mengadakan tour keliling sambil memperkenalkan album perdananya
‘Bersama Kita Gila - Wis Ngedan Isih Ora Keduman’. Album yang didukung oleh WALHI, Lesbumi-NU dan Pemuda Tani Indonesia-HKTI itu menampilkan sembilan judul puisi: Suluk Keseimbangan, Suluk Jaman Akhir, Suluk Pintu Terkunci, Pantun Jadi-jadian, Suluk Kecelik, Suluk Kiamat (Bersama Kita Gila), Suluk Montang-manting, Suluk Mabuk Segala Jurusan, Suluk Sunyi.

Menikmati orkes puisi Anis dalam album ‘Bersama Kita Gila’ ini seperti menonton atau mendengarkan pagelaran wayang. Lantunan suluk di sana-sini seperti mengisyaratkan bahwa muatan pesan dalam puisi-puisi Anis hendaknya tidak ditelan mentah-mentah. Di sini berlaku filosofi pagelaran wayang: bayang-bayang menjadi proyeksi watak/karakter manusia, lakon menjadi cermin dari perjalanan hidup semesta ini, penonton/pendengar harus mengupasnya setelah lakon seutuhnya selesai digelar hingga byar, tidak sepotong-sepotong.

Oleh karena itu, menyimak puisi-puisi Anis dalam album ini tak cukup hanya mengusung dawai kegundahan sebagai dampak dari situasi sosial-politik-budaya saja, namun juga harus menyediakan ruang sunyi keheningan di hati dalam terang cahaya rohani Sang Khalik.

Sepintas suluk-suluk puisi Anis bernada suram dan pesimistis. Namun bila disimak lebih cermat, ‘Bersama Kita Gila’ itu berbingkai doa. Seolah kita diajak untuk ikut berdoa bersamanya: sebuah doa yang kontekstual; bukan doa mantra hapalan dari teks doa yang sudah ada, namun doa yang menghaturkan kesediaan diri untuk menjadi agen perubahan. Meskipun, untuk sampai ke kedalaman konteks doa itu, Anis Sholeh harus ngedan atau ‘mabuk’ dahulu melalui celoteh-celotehnya, untuk membongkar kesuntukan realitas kehidupan yang menjadi bahan doanya.

Mungkin masyarakat kita telah neg dengan tema-tema yang diusung: kekayaan sumber daya alam yang salah kelola, warisan budaya yang tak terurus, kemiskinan dan kesenjangan sosial, pemimpin dan penguasa korup, bencana (alam), hingga tema tentang kemerosotan moral, iman dan kekafiran, munculnya ‘nabi-nabi palsu’, dll. Namun tak bisa dipungkiri, itulah ‘ladang’ luas tak bertepi bagi jiwa-jiwa yang punya hati pada negeri ini.

Muatan kritik sosial dalam syair-syair puisi Anis sepintas mirip dengan syair-syair lagu Iwan Fals atau Doel Sumbang. Kadang dituangkan dalam rangkaian kata-kata serius penuh ikhtiar, kadang dalam gaya olok-olokan jenaka namun cerdas dalam logika. Dan tak diragukan, sentuhan pesantren yang begitu kental menjiwai puisi-puisinya jelas memberi ruh tersendiri.

Kekhasan syair-syair puisi Anis, menurutnya, terletak pada nafas tradisi syair-syair tembang Jawa yang diterapkannya. Syair-syair puisi Anis ditulis dengan kerangka sebuah tembang. Hampir semua judul puisi dalam album itu berawal dengan kata
‘Suluk’ (kecuali Pantun Jadi-jadian). Dalam dunia pewayangan, ‘suluk’ merupakan tembang yang dilantunkan sang dalang untuk menggambarkan suatu adegan yang sedang atau akan dimainkan. Sementara, kata ‘suluk’ bisa juga berarti ‘jalan’ atau ‘disiplin’ spiritual yang ditempuh untuk menuju Allah. Dengan demikian, pesan terdalam dari puisi-puisi Anis itu diartikulasikan dalam dua kekuatan: verbal dan non-verbal; syair berirama dan bunyi-bunyian bernada.

Balutan mosaik musikalitas yang berwarna-warni, mulai dari gaya dan alat musik etnik tradisional nusantara, dangdut, langgam, irama padang pasir, hingga rap, jazz, maupun rock tak sekedar menjadi ruang eksplorasi gaya bermusik, namun menjadi upaya agar suluk-suluk itu membumi.

Kumpulan suluk Anis Sholeh Ba’asyin ‘Bersama Kita Gila’ dapat menjadi referensi bagi siapapun yang peduli akan perannya sebagai agen perubahan. Baik dalam konteks pribadi maupun bersama, realitas sosial-politik-budaya selalu memanggil siapapun untuk mawas diri dan bersikap secara visioner. Siapapun dipanggil untuk menggubah suluk-nya sendiri, sebagai penanda langkah per-‘jalan’-an hidupnya sekaligus sebagai tanggapan bertanggung jawab terhadap realitas kehidupan yang kadang menggelisahkan. Kecuali bila kita telah benar-benar bebal dan matirasa..! [skd]
Ya Allah, bila kemuliaan disepelekan, bila kesabaran dihinakan, bila kekuasaan dituankan, bila kesombongan diberhalakan, ubah hamba jadi bah, jadi gempa, jadi badai, jadi kebakaran, sampai keadilan ditubuhkan, sampai keseimbangan dikembalikan! (Anis Sholeh Ba’asyin, Suluk Keseimbangan)
Pernah dimuat di Harian Merdeka, Sabtu, 4 Juli 2009.

http://tube.indo.net.id/play_audio.php?audio=249
~~maztrie~~
Creative Commons License
read more >>

Wednesday, July 1, 2009

kanca iku donga

Kanca kui donga Leee.... Mula nggolek'a kanca, rasah pilah-pilih saka ngendi asal usul lan sangkan parane kanca kui mau, Amarga yen mung sakudhege nggonmu urip, ra bakalan awakmu nemoni perobahan. Ananing ya aja keladuk lan kudu isa ngawekani samubarange.

Kanca iku donga, mungkin ada dari temen MP tercintaku yang ingat bahwa beberapa bulan lalu saya sempet memasang kata-kata tersebut sebagai judul teratas pada rumahBlog Mulkipli ini. Adalah kata-kata mBah saya yang acapkali juga di terjemahkan oleh emak (simbok) sewaktu saya dulu masih eksis dirumah kampung ini. (maklum saat ini sudah hilir mudik kesana-kemari numpang dirumah orang). Coba sedikit saya alih bahasakan, "Teman itu doa Nakkkkk...... Maka carilah temen, nggak usah terlalu memilah dan memilih dari mana asal-usul dan adat istiadatnya temen itu tadi, Sebab apabila hanya memiliki temen selingkungan dengan tempat kita tinggal ini, nggak bakalan nantinya kamu menemukan perubahan (baca:kemajuan). Akan tetapi juga harus bisa menjaga batas-batas (norma) apa saja yang harus dilakukan."

Mungkin temen-temen semua sudah lebih mahfum dan paham dibanding saya dalam dunia pertemanan. Cuma mau share sedikit mengenai hal tersebut.

Sudah sejak hari Jum'at emak saya dirawat di Rumah Sakit ini, dan sekarang saya berada disamping beliau, berarti sudah lebih dari enam hari beliau tak sadarkan diri. Namun beberapa jam yang lalu (sekitar Jam 7.00 pm) saya sangat merasa bahagia dengan melihat perkembangan yang ada. Emak sudah mulai bisa menggeliat menggerakkan tubuhnya. Secara yang sudah dalam hitungan hari tersebut diatas bener-bener telah diam telentang mematungkan diri dengan banyak selang disana-sini.....achhh.... Puji Tuhan ku Ucap Sukur Alkhamdulillah atas KaruniaNYA.

Sejak kecil, baru kali ini saya melihat emak bener-bener terkapar tak berdaya dirumah besar namun sunyi ini (kalopun ada suara, paling cuma tangis saja).
Saat ini saya tak begitu tahu keadaan dan lingkungan pergaulan emak. Ditambah lagi, sekarang sudah tak setiap hari saya bisa melihat keseharian beliau.
Yang sangat saya kagumi dari kesedihan berhari-hari ditempat ini adalah orang-orang yang datang menjenguk emak. Banyak yang saya kenal, namun tak sedikit yang tidak saya kenal. Kadang sampai malu harus bilang "nyuwun sewu" terus.
"Nyuwun sewu njih Buk.... Ibuk menika lenggahipun wonten pundi koq kula kesupen lan mboten radi paham..?!!! Ndherek nepangaken, kula ragilipun"
. "Permisi, mohoon maaf Ibu.... Ibu ini tinggalnya dimana ya, koq saya lupa dan nggak begitu paham...?!!! Salam kenal ini saya anak bontonya.

Tanpa saya sadari sebelumnya, Ini juga adalah salah satu hal yang bisa membuat penghiburan dihati yang memang sudah nggak tahu apa rasanya, tahu sedih tahu pilu atau apalah... Yang pasti jadikanku lelaki cengeng tuk beberapa hari ini.

Banyak sekali temen emak yang nengok, dan saya yakin semuanya berbekal doa. Doa-doa mereka inilah yang dipanjatkan ke Yang Maha Sehat demi kepulihan akan kesehatan emak juga. Dan sekali lagi Syukur Alkhamdulillah, Puji Tuhan Emak berangsur membaik. Pagi ini dah bisa ketawa melihatku, berusaha menanyakan ponakanku, nanyain pulangnya naik apa..? Bawa gerobak enggak..?!! yach, meski suaranya masih sangat-sangat terbatas sekali, tapi kita yang ada disamping nya tahu apa maksudnya. Bahkan sempat baru saja ku tanya, "Mak..... Emak netune dina apa....?!!" (Emak lahirnya hari apa...?!!), Beliau jawab juga mesti agak terbata. "....in .egi". Wow greatttttt, seneng banget karena daya ingatnya pun dah pulih. Senin Legi.

Sesaat malam sampai pagi ini sempet berulangkali saya merenungkan tentang perkataan bijak diatas. Kanca kui Donga. Ku bersyukur sekali, meski termasuk dalam kelompok warga penerima BLT, Bantuan Langsung Tunai, karena keluarga kami memang termasuk dalam kategori keluarga sangat tidak mampu alias MISKIN namun secara pribadi saya bangga akan KAYA nya batin yang sempet diajarkan oleh beliau-beliau kepada saya. Ya, just positive thinking temen itu juga do'a...... Ya Allah Ya Rabb, Makasih banget atas keadaan yang diberikan pada kami ini semua, moga kami makin bisa menikmati dan mensyukuri segala yang ada dariMU, Amien.

Terucap terimakasih tak terhingga kepada temen-temen MP tercintaku semuanya, kanca-kanca MP katresnan kula sedanten dimana saja berada. Doa temen-temen sangat bermakna buat kami, moga Yang diatas memberikan yang setimpal buat kebaikannya.
Semoga juga emak cepet bisa pulih bicara gerak n jalan seperti sedia kala, Amieenn ..(tetep masih memohon sangat doa temen-temen semuanya,hiiiiii.....).
Makasih....

Oh ya, kemarin ada temen yang nanya, emak sakit apa, maaf baru kali ini mau saya Jawab....
Emak terkena gula darah, dan waktu itu keadaannya sedang ngedropp, sementara beliau termasuk dalam kategori sangat konsisten terhadap tanggung jawab yang di hadapi. Maklum kerjaannya jualan dipasar, memenuhi permintaan dan pesanan pelanggan. Sangat butuh tenaga juga pikiran.



~~maztrie~~
Creative Commons License
read more >>
 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri