Saturday, August 29, 2009

Mawas diri dari Tari pendèt éngkang dipun pendhet

Membaca artikel postingan beberapa temen dan juga ditambah lagi browsing di beberapa webPortal, koq malah jadi bikin complicatéd bener ya ngadepin satu casé tentang budaya, dan rasa nasionalisme ini.

Berita terakhir yang masih sempet héboh sampai sekarang ini adalah tentang klèm-pengakuan atas tari pendèt setelah beberapa waktu yang lalu juga pernah terjadi peristiwa serupa. Tari pendèt-Bali dijadikan iklan budaya oleh Malaysia pada évent visit yéar-nya. Kita semua tahu bahwa sempet juga 'angklung' yang sampai-sampai Idang Rosyadi ogah tuk manggung di negeri Jiran itu juga di akuinya, atau juga lagu 'rasa-sayange' yang bisa bikin rakyat Maluku kelabakan untuk unjuk gigi mempertontonkan bukti yang telah ada sejak masa lampau, dimasukkan dalam backsound iklan Malaysia trully Indonésia Asia. Kejèngkèlan warga Ponorogo juga merebak seiring di alih bahasakan nama sebuah 'réog-Ponorogo' menjadi 'Tari-Topèng''. Ada lagi mengenai batik, jamu, Hombo Batu, tari Folaya dan juga nantinya tetep masih bisa makan masakan Padang....

Setumpuk perlakuan telah berlangsung atas diiri kita, dari yang menyangkut wilayah téritorial sebuah Negara, lepasnya Pulau Sipadan juga Ligitan dari genggaman Ibu Pertiwi ini. Atau juga tidak diakuinya passport istri dari seorang pejabat kedutaan sampai dengan penghakiman Policé atas Wasit Taé Kwon Do Indonésia, bahkan yang lebih parah adalah perlakuan pasukan RELA atas rekan dan saudara TKI kita. Tidak menutup kemungkinan seperti pengalaman yang sudah terjadi adalah tinggal pulang membawa nama.

Selama ini yang kita semua ketahui adalah réaksi pasivé dari pihak penyelenggara negara ini. Ternyata ketahuan bener kalau kita hanya pintar mengekspor para tenaga kerja dengan dalih Pahlawan Devisa (namun apakah di urusi segala ribet-ruweté...?). Dan yang tak kalah menariknya adalah berlakunya ruang yang luas buat peng-impor-an tenaga pembuat bom yang mampu mejadikan Indonésia ini lebih terkenal. Yach, tenaga impor itu berjuluk Noordin Menthog M Top dan mendiang doktor Ashari.

Dalam menghadapi kasus Tari Pendèt ini, langkah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kita serasa kebakaran jenggot (kalo masih ada juga kumisnya semoga saja tak turut terbakar ya..!), Bapak Jero Wacik sudah dengan tegas mengirim Surat Cinta memohon klarifikasi kepada pihak yang berwenang dari Malaysia. Semoga saja yang menjadi alasan adalah bukan karena kelahiran Tari Pendét dan kelahiran Bapak Menteri berasal dari tanah yang sama, Tanah Bali. Kita semua berharap Bapak Menteri telah semakin bertambah sifat patriotismenya untuk membela bangsa ini. (bukankah baru seminggu yang lalu Bapak Menteri juga ikut menghadiri Upacara tujuhbelasan ya...)

Pertama kali saat mengetahui kabar tentang semua ini, sebenarnya dalam hati ini merasa jengkel dan geram. Cuma semoga saja masih tetap ada sifat sabar untuk selalu bisa 'ngemong'. Karena sejatinya tak usah kita jelaskan ,kita semua tahu kalau Negara tetangga itu secara usia memamngla masih lebih muda ketimbang kita. Untuk itu kita juga musti sadar akan sifat 'mbocahi' (childish) yang di milikinya. Cuma kita juga harus bisa memahami kapan musti memberi aturan, kapan juga musti memberi 'jèwèran' pada saat dirasakan bocah tadi semakin ngelunjak. Supaya bisa semakin peka, agar semua tingkah-polahnya tidak terlanjur (sekarang sudah terlanjur atau belum ya.....?)

___________

Jika dinalar dengan otak (tidak) waras saya, terbukti bahwa kita ini sebenarnya keliru kalau harus marah. Sebaliknya kita sewajibnya bisa menjadi senang bahkan mungkin gembira karena kebudayaan kita telah turut di promosikan oleh Negara tetangga tersebut.

Tindakan utama buat kita semua yang lebih pas dan tepat dalam menghadapi kenyataan tersebut (menurut saya) adalah Intropeksi. Memberikan korèksi kepada para pejabat dan penyelenggara pemerintahan ini. Musti tegas dan sadar. Supaya tetap merawat budaya kita ini agar tetap adiluhung.

Kalau saja waktu itu kita semua bisa héboh dengan kabar-kabari serta chèck n réchèck juga infotainment lainnya yang memberitakan tentang kisah petualangan Limbuk Manohara beserta Pangeran KudaLanang Kelantan. Kita semua sibuk sok berjiwa nasionalis membéla atas dasar hubungan P n G, People n Goverment, bukan lagi P n P. Memang sih yang kita bela tuh berparas cantik..... Namun selayaknya kita juga lebih bisa melirik tentang penjualan aset Pulau indah kita disamping juga pembelaan atas budaya seperti tersebut diatas.

Tahukah kita bahwa kenyataannya ada juga pulau-pulau kita yang diperjual belikan? Mengenai Penjualan Pulau itu, Silahkan lihat link ini atau bisa juga disini...

Merujuk lagi pada satu artikel dari portal berita JogjaNews yang sempet juga di repost di nJOWO sini, maka semua dari kita juga sudah selayaknya wajib menyadari satu jawaban atas pertanyaan, Siapakah sebenarnya bagian dari Warga Malaysia itu...? Sudah berapa lama negara kita mengadakan acara pengeksporan tenaga kerja yang selanjutnya disebut sebagai TKI ini...? Terus sudah ada berapa keturunan generasi....? Ini adalah satu jawabannya. Kenyataan yang tak lagi dapat dipungkiri adalah bahwa seorang Menteri Pertahanan Malaysia saja ternyata adalah juga anak-turunnya orang Wates, Kulon Progo, Yogyakarta lho...! Maka yang agak diperlunak dan dipermaklum saja apabila meréka itu masih ada pengakuan sebagai bangsa yang majemuk dan warna-warni alias plurality, entah dengan berbagai macam alasan yang seperti apa namun itulah kenyataan yang dapat kita lihat bersama....

Dengan dasar seperti itu sudah barang tentu kebudayaan yang ada pada diri kita sedikit banyak telah terbawa. Padahal menurut KangMas Mahmud Syaltout yang seorang kandidat Jurist Doctor di bidang Hukum Internasional, Hukum Uni Eropa dan Perbandingan Hukum, Universite Paris 5 – Sorbonne Rene Descartes.menyatakan bahwa Budaya itu tak dapat dipatenkan dan tak dapat dicuri. Untuk itulah kita semua semestinya mampu berpikir jernih untuk selalu menggali potensi yang ada, satu pengakuan yang kita butuhkan adalah bukan semata-mata ada hak patennya saja, namun lebih dari itu adalah bentuk pemeliharaan atas apa yang telah kita miliki guna selalu merawatnya.

Dengan dasar keturunan yang tak jauh beda sebagaimana tersebut diatas, sepertinya tak baik kalau kita musti maju berperang melawan negara tetangga ini (walaupun tak menutup kemungkinan kita semua akan merasa sama dan menggebu-gebu pingin nampar negara tetangga itu). Bukan saja atas dasar kemanusiaan, namun kita juga mesti sadar, apa sih yang masih ada pada Tentara kita...? Selain mémanglah apa yang menjadi kepemilikan atas alutsila, ada lagi yang musti dipikirkan, yaitu mengenai jumlah personil berbanding luas wilayah yang ada. Akankah apabila mémang kondisi memaksakan untuk terjadinya sebuah pertempuran kita harus melawan Negara itu yang memang sudah bermodalkan sebuah statement "pakta-pertahanan" berbarengan dengan Australia dan Negara Inggris?, hmmmmm wajib kita pikirkan.....

Mau Diplomasi...?!! Ingat Sipadan dan Ligitan...? Akankah mau diulang kembali...?

Sementara kalau melihat kenyataan yang ada sewaktu diadakan satu ajang lomba menyanyi yang bertajuk Asian-Idol saja, kita kalah dari negara yang sak-umprit yaitu Singapore. Bagaimana kalo lebih besar dari Singapore...? Di asumsikan oleh mBah Marto-Seni itu semua terjadi tak jauh karena faktor tehnologi, karena disana sitem yang digunakan adalah polling lewat SMS. Itu semua tak lain adalah karena pengetahuan serta kemajuan akan sistem tehnologi pada satu Negara.

Dengan pertimbangan tersebut diatas sebagai pengejawantahan akan perawatan tentang kepemilikan budaya yang ada pada kita, marilah secara bersama kita acapkali memperhatikan budaya kita sendiri, jangan sampai yang selama ini kurang kita perhatikan akhirnya gara-gara sudah di cubit oleh negara lain maka kita akan merasa tersakiti. Kata lain dari terlena.

Adakalanya kalau memanglah itu masih dirasa belum cukup mempan, guna menghadapi kenakalan tetangga muda tersebut, mungkin tetep musti pake jurusnya Kang T4mp4h berikut ini. 'Mari kita berperang lewat media, bikin promosi yang ciamik. Kalau Anda ikuti forum, milis, group diskusi, silahkan promosikan jargon-jargon parodi semacam ini. Indonesia the Original Taste of Archipelago. Jadi mengapa tidak, kita berpromosi serius dengan memparodikan tetangga kita ? kalau mereka marah ? ya biar !!!'

Sekali lagi ku setuju tuk konfrontasi itu tapi kalau dalam keadaan terpaksa lho (padahal muka ini sudah terlanjur merah karena esmosi hihi) , yang lebih penting adalah rasa "mawas diri "yang ada pada kita. Sudahkah kita merawat dengan baik budaya kita...? Adiluhung kah...?!! Dimanapun tempat namanya perselisihan itu tak bakalan menyelesaikan satu pokok persoalan. [uth]

_______

Saya tulis ini sebagai refleksi kegatelan tangan saya akan tulisan sedulur lanangku Kang Tambir-T4mp4h dan mBah Marto-Seni. Matur sembah Nuwun Dab, Nyuwun Sewu mBah...

PICTURE


~~maztrie~~
Creative Commons License
read more >>

Ramadhan bukan sekedar RaMadhang

Puasa Ramadhan 1430 ini tak terasa merambat pelan namun pasti aliran hari yang ke tujuh telah terlampaui. Seminggu telah berlalu waktu yang kita tempuh bersama dalam menjalani Ibadah pada bulan yang penuh barokah juga Maghfirah, bulan penuh ampunan ini.
Bulan Ramadhan ini Kita semua (khusunya temen-temen muslim) diwajibkan menjalankan sebuah ritual tertinggi, Puasa. Sengaja saya sebut ritual teringgi karena menurut pemahaman saya Ibadah Puasa adalah ibadah Universal, Ibadah yang kebanyakan (kalo boleh saya bilang bahkan semua) umat beragama menjalankannya. Entah itu yang mempunyai keyakinan Islami seperti sekarang ini atau keyakinan lain, baik itu juga aliran kepercayaan. Kalau ibadah Sholat mungkin hanya kita yang berkeyakinan muslim saja yang menjalankannya. Atau kebaktian dan Pelayanan, itu mungkin hanya berlaku bagi temen-temen Nasrani. Pergi ke Klenteng, ke Vihara, atau ke Pura buat saudara kita penganut Konghucu, Budha juga Hindu. Ada lagi pengadaan upacara sesaji hanya berlaku bagi sebagian dari saudara kita yang meyakini akan aliran kepercayaan saja.
Namun Ibadah puasa ini sekali lagi saya yakin dari semua manusia pasti mengenalnya, terlepas apapun itu ajaran agama atau kepercayaan yang dianutnya.

Puasa Ramadhan, diperintahkannya kita umat manusia untuk menjalankan ibadah puasa tak lain adalah agar kita menjadi manusia yang bertaqwa. Dan yang diperintah puasa pun menurut Firman Tuhan lewat QS AlBaqarah-183 hanyalah insan yang beriman, ditegaskan disana lewat seruan "Hai orang-orang yang beriman" . Jadi tak berlaku bagi yang tak beriman khan... Timbul pertanyaan, gampangkah kita untuk menjadi beriman itu disaat sekarang ini..?

Ramadhan, bukan saja berlafalkan ramadhang sebagaimana (saya) orang Jawa sering meplesetkannya. Bukan berarti parodi kata dari ramadhang tersebut salah, namun definisi ramadhang berarti hanya berhenti pada urusan makan dan atau minum. Sementara Puasa Ramadhan mengandung kontemplasi yang lebih dari itu semua. Pengendalian diri dari semua nafsu kita sebagai manusia ini.

Manusia sangatlah beruntung karena di anugerahi berbagai kelebihan dibanding makhluk lain, baik itu yang tak kasat mata ataupun yang tampak jelas oleh mata. Salah satu kelebihan tersebut adalah nafsu. Kita tak bakalan ada perkembangan apabila nafsu kita stuck seperti yang ada pada Malaikat. Malaikat pencabut nyawa, ya nafsunya cuma berkeinginan untuk mencabut nyawa, Malaikat peniup trompet tugasnya ya hanya meniup trompet saja. Bayangkan kalau itu juga berlaku sama untuk kita..... mungkin sudah bosen dari kemarin-kemarin mas, lha wong niup harmonika thok wae bosen apalagi cuma niupin trompet....

Nah untuk itulah waktu sebulan dalam tiap tahun ini kita berkewajiban guna mengendalikan semua nafsu yang bersemayam pada tubuh ini. Iya bener Ramadhan is Ramadhang, karena madhang alias mangan adalah juga bagian dari nafsu namun saya pikir yang lebih penting dari sekedar nafsu makan dan minum pada diri manusia ini adalah nafsu yang lainnya.

Menjalankan ibadah puasa yang sudah berjalan selama seminggu ini sudah sangat banyak sekali problematika kehidupan yang ada dan kita alami bersama. Bisa disaksikan dari merebaknya kabar tentang perseteruan di dunia maya antar kita dengan negeri tetangga. Belum lagi kabar terkini mengenai penjualan pulau. Juga kelanjutan dari kabar Noordin M Top. Namun jarang sekali kita menyadari tentang perbuatan kita sendiri dalam rangka menjalankan ibadah suci ini. Kondisi yang ada kebanyakan dari kita adalah bahwa Bulan Puasa malah anggaran belanja keluarga justru tidak pernah "berpuasa" padahal awal- awal menjelang bulan puasa, atau bahkan ada yang jauh hari sebelum menginjak hari puasa hampir semuanya mengucapkan salam 'selamat' atas datangnya bulan suci Puasa-Ramadhan ini, Marhaban Ya Romadhona... Kata selamat yang berarti diucapkan utuh buat pemaknaan arti sebuah ibadah Puasa Romadhan. Bukan saja kata selamat sebagai pengejawantahan sekedar pensucian yang tidak menutup kemungkinan hal tersebut adalah modal satu pemberhalaan. Maaf apabila ada temen yang menyanggah pada statement ini mohon mencari jawabannya sendiri di lingkungan sekitar kita, karena terus terang saya juga nggak bisa memberikan jawaban yang saya rasa memang semua ini tak memerlukan satu pertanyaan apalagi juga jawaban.


Semoga kita semua sadar bahwa hakekat dari kata selamat adalah terlepas dari belenggu kemunafikan dan sifat yang negative. Bisa dan mampu menjalankan aktivitas pada bulan puasa ini bukan saja sebagai satu alasan adalah bahwa hanya bulan inilah bulan yang paling barokah. Makna bulan ini sebagai bulan barokah semoga mampu menjadi fungsi sebagai penyinar bulan yang lainnya, menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai obor penerang sebelas bulan berikutnya.


Nora nana panggawe kang luwih gampang kaya wong kang mamahoni

Sira ling-elinga aja sugih waonan den samya raharjeng budi

Ingkang prayoga singa-singa kang lali

Tak ada pekerjaan yang mudah selain menilai orang lain

Maka ingatlah tuk jangan gampang menilai buruk, berbaik sangka lah

Itu lebih baik dibanding menjadi yang pelupa

(Durma-7)

Satu case terjadi. Ada serombongan kaum muslim yang ingin merasakan buka bersama berjalan beriringan dengan menggunakan beberapa kendaraan, berbondong manusia tersebut mendatangi sebuah restoran siap saji, mereka tampak bahagia karena akan menikmati hidangannya dengan berbagai main course, appetizer juga dessert nya. Sementara, satu kelompok kecil berada dibawah jembatan penyeberangan restoram tersebut, tak kalah bahagianya mereka pun menikmati santapan ubi rebus sebagai bahan membatalkan puasanya sekaligus juga sebagai menu hari itu. Ini adalah potret kehidupan nyata yang kita alami sekarang ini. Terus hikmah puasa macam apakah yang telah dijalankan oleh manusia-manusia bermobil di atas...? Mampu mengambil makna kah mereka itu atas keadaan lapar saudara-saudaranya yang berada dibawah jembatan tadi...? Mungkin ini juga adalah gambaran sebagai pokok perikehidupan sosial masyarakat kita. Maka timbulnya, adalah: ibadah ya ibadah menjalankan perintahnya yang sudah jelas-jelas tersirat dalam al-kitab, soal orang lain, komunitas lain mau gimana-gimana ya nanti dulu........ Soal tetangga mau mati karena kehabisan uang guna berobat sih itu salah mereka, ngapain juga mereka itu nggak mau bekerja, urusanku sih tetep untuk berangkat umroh ke tanah suci yang ketiga kalinya. Benar beginikah hikmah sebuah ibadah yang bernama puasa....? hemmmm, saya rasa tidak, bukan sama sekali......

Tak dapat dipungkiri album-album seprti itulah yang tertata rapih di dalam rak buku kehidupan sosial kita saat ini.

Banyak pelajaran akan makna event Ramadhan ini, Ramadhan bukanlah satu event untuk kita bersuka ria, lebih dari itu peristiwa Ramadhan adalah saat disuruhnya kita umat manusia ini untuk selalu merasa mawas diri-introspeksi, mengedepankan sifat tenggang rasa-tepo slira. Kita ini siapa, dan sebaliknya mereka itu juga siapa...? bagaimana kalau aku jadi mereka dan juga jika mereka itu jadi aku...? Alangkah baiknya kalau dalam menentukan peringatan suka ria kita mau mengamati dan belajar dari Tukang sate Madura , bahwa mereka para tukang sate akan memilih event Idul Qurban guna mengadakan acara bersuka-ria bersama karena memang disanalah terdapat sarana hewan korban sebagai sarana makan-makan bersama. Tak peduli si Kaya yang berkorban, atau si miskin yang menerima pembagian jatah daging hewan korban. Tanpa kecuali, tanpa jarak, semuanya berbaur menjadi satu dalam alunan kebersamaan.

Menghadapi kenyataan sekarang ini, contoh konkret adalah berperangnya dunia maya kita dengan negara tetangga. Secara nafsu memang saya sadar jika saya pun ikut emosi apabila merasakan sebuah kesucian 'Indonesia Raya' harus dinodai oleh tangan-tangan tidak bertanggungjawab itu.

Namun semoga seiring Ramadhan ini kita semua mampu meredam amarah dengan lebih mengedepankan rasa mawas-diri, kita mulai dari pangkalnya dulu... karena apakah kita ini di perlakukan seperti itu...? sebegitu hinakah keadaan kita...? Dengan mencermati keadaan yang ada selanjutnya berharap kita bisa menerapkan rumus 3M nya A'a Gym. Mulai dari diri kita sendiri, Mulai dari hal yang terkecil sekalipun, Mulai saat ini juga. Nggak usahlah kita perbesar rasa permusuhan, lebih kedepankan otak, dan jangan lupa bawa juga hati-nurani. Karena hati nurani adalah suara qalbu, Suara qalbu yang tak bisa dibohongi.

Ada satu kecenderungan apabila mental kita sudah tercemar oleh rasa permusuhan, maka apapun pendapat yang tak sepaham akan dengan lantang dimusuhi. Sehubungan dengan hal itu, tidak menutup kemungkinan apabila di biarkan rasa itu tumbuh membesar dalam hati kita , maka jika sudah tak ada kerangka permasalahan yang berbatas dengan nama batas itu adalah sebuah negara (baca Indonesia vs Malaysia), maka Agama pun akan dijadikan alasan pembenaran satu permusuhan tersebut dengan berbagai dalil perbedaan faham kepercayaan atau agamanya itu.

Disinilah juga terkandung makna akan hakekat Ibadah Puasa, bahwa Puasa tak hanya membawa ke arah satu perbatasan, batas Adzan Subuh sampai dengan batas Adzan Maghrib, batas wilayah saya juga batas wilayah anda, batas boleh atau batas tak boleh, namun lebih dari itu Puasajuga berfungsi sebagai sedimentasi. Bahwa apabila jiwa manusia ini diibaratkan sebagai air, maka air-jiwa tersebut dalam waktu selama sebelas bulan telah terombang-ambing kesana kemari, entah itu bisa tertiup angin sepoi kegembiraan atau juga terkena deru ombak kepedihan, atau bisa jadi air-jiwa tadi telah meluap dari wadahnya karena tertimpa hujan penderitaan, walau kadangkala air-jiwa juga mampu teduh karena tertetesi oleh dinginnya embun kesetiaan. Nah waktu sebulan diluar sebelas bulan tersebut adalah waktu yang tepat sebagai waktu penenangan yang berfungsi sebagai 'pengendapan' atau "sedimentatif". Dengan proses sedimentasi tersebut maka yang diperoleh adalah pemisahan antara kotoran-kotoran yang berujud endapan (sediment)dengan air yang akan berwarna jernih.

Maka harapan selanjutnya setelah memperoleh air jernih itu, kita mampu berpikir jernih pula. Kita mampu membedakan mana manusia dan yang mana binatang atau tumbuhan. Bisa memanusiakan manusia. Pada saat berlapar bersama kita bisa melihat sisi sama pada setiap insan ciptaanNYA. sama-sama lapar, sama-sama butuh makan, dan makannya pun masih sama-sama makan nasi. So, akhirnya dalam persamaan dan kesamaan itu akan timbul satu charge dalam pikiran dan hati kita dalam mengejawantahkan perikehidupan dari sisi kemanusiaan ini. Tak peduli kalian ini warga mana, agamanya apa, madzabnya siapa, asalnya dari mana, miskin atau kaya, jongos atau majikan toh kita ini sama di hadapan Tuhan,hanya seonggok manusia, sakderma manungsa. Itu semua hanyalah 'sandangan' (pakaian) belaka, kalau kesadaran ini datang pada hakekat memaknai perjalanan Ibadah Puasa Ramadhan ini, besar kemungkinan maka kita semua akan bergandeng tangan dan berjabat erat, meski berbeda latar belakangnya.

Semoga kita semua (khususnya diri saya) mampu meraih rahmat maknanya... [uth]

"Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa

sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa"

(QS. Al Baqarah : 183)


http://tube.indo.net.id/play_audio.php?audio=1311

~~maztrie~~
Creative Commons License
read more >>

Monday, August 10, 2009

Mbakyu, Aku Nyuwun Suntik

Di tengah kerumunan pelayat di Desa Citayam, Bogor, Jumat siang (7/8), sejumlah repor­ter muda yang kerap dilabeli ''wartawan'' infotainment -saya tidak tahu apakah mereka bisa dikategorikan jurnalis atau sekadar pengulur mikrofon- tiba-tiba bertanya, ''Apa sih arti pen­ting seorang Rendra kok orang-orang ngasih peng­hormatan luar biasa seperti ini?''
Saya terhenyak. Jika kekerasan dibenarkan, ra­sanya ingin menapuk cangkem lancang itu. Pertanyaan itu sekadar pancingan atau memang muncul dari kedunguan industri pertelevisian? Spontan saya menjawab, ''Hanya orang yang ge­gar otak atau tidak waras yang menganggap Rendra tidak penting!''
Saya seperti ingin marah mendengar panci­ngan bernada pelecehan tersebut. Meski bukan murid Rendra yang bertumbuh di komunitas Bengkel Teater, saya tak rela mendengar martabat, jasa, dan peran ''guru besar'' teater Indonesia itu direndahkan.
Ribuan orang yang mengalir menjadi petakziah di rumah putrinya, Clara Sinta, di Pesona Khayangan, Depok, pada malam sebelumnya atau di markas Bengkel Teater Citayam siangnya jelas membuktikan bahwa Rendra adalah tokoh besar.
Dia adalah Budayawan dengan ''B'' besar. Sebuah derajat yang posisinya bertakhta jauh di atas, jauh lebih tinggi dari sekadar seorang pe­kerja seni. Di dalam derajat yang mulia itulah tersimpan watak kebudayawanan yang men­jadikannya bukan manusia pendendam. Tapi, manusia yang arif dengan jiwa yang sumeleh, penuh kebijaksanaan, dan menghormati setiap pertumbuhan.
Meski ruang pengabdiannya sebagai sutradara maupun aktor kerap diartikan hanya sebatas wilayah kesenian, pikiran-pikiran Rendra yang se­lalu dilandasi ketakjuban pada kejayaan dan kebesaran sejarah bangsanya tak berhenti ha­nya dalam perkara artistik dan rumusan-rumusan estetis. Pemikiran dan gagasannya melampaui dunia seni itu sendiri.
Melaksanakan Kata-Kata
Ditambah luasnya pengetahuan dan bekal li­teratur yang disantap dari waktu ke waktu, pre­dikat ''seniman'' terlalu kecil untuk disematkan ke dalam dirinya.
membikin bangsa ini sangat terhormat dan di­segani bangsa-bangsa lain di dunia, tentang im­perialisme ekonomi yang selalu cerdik bergan­ti rupa dan mengakali negara dunia ketiga, tentang ketamakan kekuasaan yang bikin para pemimpin hidupnya keblinger, tentang ke­cemasannya pada generasi yang manja dan ce­ngeng, tentang feodalisme bertopeng demo­krasi yang terbentuk oleh masyarakat yang ge­mar jadi penjilat, dan sebangsanya.
Karena itulah, Rendra itu mahapenting. Penyair-aktor-sutradara-pemikir-deklamator ke­lahiran Solo tujuh puluh empat tahun lalu ter­sebut adalah manusia berkualitas empu yang se­tiap percikan pemikiran dan tindakan kebuda­yaannya memantik inspirasi bagi manusia-ma­nusia lainnya.
Saya menyebutnya Rendra salah satu genius yang pernah dilahirkan di bumi Indonesia. Ma­nusia yang dikaruniai aneka bakat dan -istime­wanya- semua bakat itu bersinergi serta men­jel­­ma menjadi tindakan yang kemudian dilakoni dengan konsisten sepanjang hayatnya. Dia me­laksanakan kata-kata dan pemikirannya.
Sebagai aktor panggung, siapa sih yang masih me­ragukan keunggulannya? Sebagai penyair, apa masih ada yang membantah kecermatannya me­milih kata-kata dan meragukan perannya dalam perkembangan sastra modern Indonesia? Sebagai sutradara teater, saya tak yakin jika masih ada seniman maupun pengamat yang me­nafikan sumbangan kreatifnya bagi kebuda­yaan Indonesia.
Nyuwun Suntik
Saya mengenal Rendra ketika saya masih duduk di bangku SD. Awalnya, saya cuma me­ngenalnya sebagai lelaki gondrong salah seorang sahabat ayah saya (Bagong Kussudiar­dja) yang kebetulan juga ayah teman sepermain­an saya di SD Pangudi Luhur, Jogja.
Tiga anak Rendra dari Sunarti Soewandi -Te­di, Andreas, dan Daniel- bersekolah di sekolah yang sama. Kampung kami juga bertetangga. Om Rendra, begitu dulu saya memanggil, yang tinggal di Ketanggungan Wetan kerap tiba-tiba nongol di suatu malam, di rumah kami, di Kam­pung Singosaren Lor, Jogjakarta.
Setiap Om Gondrong itu datang, pasti nanti terdengar canda cekakakan para seniman. Kemudian akan terdengar satu permintaan yang rasanya masih terngiang di kuping, ''Mbakyu... aku nyuwun suntik!"
Yang disebut ''mbakyu'' itu adalah ibu saya yang memang seorang bidan. Sebagai tenaga me­dis, tentu saja di rumah selalu ready-stock vitamin, jarum suntik, dan aneka obat-obatan. Pada 70-an ketika sistem pelayanan kesehatan belum selengkap sekarang, wajarlah jika rumah kami selalu jadi jujukan para seniman yang pu­nya problem kesehatan.
Saya tak tahu persis apa yang kemudian di­sun­tikkan. Yang pasti, setiap Om Gondrong yang rambutnya sepundak itu datang mengetuk pintu, ayah saya selalu menyambut dengan can­da riang yang berujung soal suntik-menyuntik. ''Arep njaluk suntik maneh ya?'' Lalu terde­ngar tawa dua seniman itu berderai memecah malam.
Belakangan hari, setelah kerap mencuri-curi ba­caan di perpustakaan ayah dan ikut nimbrung mem­baca majalah Basis, perkenalan dalam ima­jinasi terhadap Om Gondrong itu semakin intens. Melalui majalah Basis, juga majalah Tempo yang pernah menjadikan Rendra cover story pada 1970-an, laksana melakukan mediasi antara saya dan Rendra. Esai, puisi, liputan kegiatan Bengkel Teater yang kala itu me­nyelenggarakan Perkemahan Kaum Urakan di pesisir Parangtritis semakin men­dekatkan sa­ya dengan sema­ngat dan pikiran-pikiran Rendra.
Apalagi ketika kemudian saya kerap digandeng ayah saya menonton mas-mas gondrong dan dekil berlatih teater di Bengkel Teater, Ketanggungan Wetan. Bahkan, ketika saya masih bercelana pendek berkesempatan nonton Rendra memerankan Hamlet di Teater Tertutup, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, rasanya saya semakin mengenal.
Sihir Keaktoran
Hampir empat jam saya melongo, terpesona oleh keaktoran lelaki bertubuh atletis, berambut se­bahu warna perak, yang dengan artikulatif me­merankan Hamlet. Penonton mbludag. Saya yang masih kanak-kanak adalah sebuah anonim di antara aktor-aktor tangguh Bengkel Teater. Rasanya susah banget menjangkau mereka, apa­lagi untuk mengenal dan bergaul memasuki dunia mereka.
Saya hanya mematri nama-nama mereka dalam ingatan, yang dalam perjalanan waktu akhir­nya mereka saya kenal sebagai sahabat-sahabat yang penuh kehangatan: Adi Kurdi, Edy Haryono, Fadjar Suharno, Iskandar Wawo­runtu, Iwan Burnani, Dahlan Rebo Paing, Udinsyah, Sitoresmi, Yati Angkoro, Udin Mandarin, Untung Basuki, Wawan Prahara, dan lain-lain.
Tapi, Rendra tetap bintangnya. Mungkin ka­rena auranya yang karismatis yang memancar. Itulah sihir keaktoran. Vokal yang khas dan bertenaga, dengan akting yang kadang mengundang tawa lantaran dimain-mainkan secara jenaka, menyisakan kekaguman dan gerutu dalam hati: ''Tunggu saja. Suatu saat nanti aku juga akan berdiri di atas panggung yang sama. Menjadi aktor.''
Impian pada masa kanak-kanak pada 70-an itulah agaknya menjadi magma yang mendidihkan semangat menempuh jalan keaktoran saya. Mas Willy, begitu kemudian saya ikutan menyapa Om Gondrong yang kini menjadi se­sama aktor teater, diam-diam telah saya daulat menjadi ''guru'' tanpa dia pernah tahu.
Saya memang tak pernah tercatat jadi murid yang takzim ngangsu kawruh di Bengkel Teater. Tapi, buku ''Rendra, Tentang Bermain Drama'' menjadi pedoman menerjuni sebuah du­nia impian, dunia seni peran, yang untungnya -setelah larangan pentas Rendra dicabut- saya selalu bisa mengonfirmasi bacaan itu melalui sejumlah lakon yang dipertunjukkan di kemudian hari: Sekda, Perjuangan Suku Naga, Lysistrata, Hamlet, Oedipus, dan lain-lain.
Karena itu, ketika 11 Mei lalu Mas Willy bersilaturahmi ke rumah saya lantaran tak bisa hadir pada malam pernikahan anak saya, muncullah gagasan menjelmakan buku yang banyak dijadikan pedoman aktor teater tersebut menjadi sebuah tindakan kebudayaan. Rendra ingin masuk kampus-kampus perguruan tinggi, bikin workshop, melatih, dan berbagi pengalaman tentang seni peran.
''Kapan Mas?''
''Oktober wae, setelah Lebaran. Kowe sing go­lek sponsor ya!''
Tapi, meski dikenal sangat bernyali melawan setiap bentuk penindasan dan selalu mendobrak ke­macetan yang merendahkan martabat ke­manu­siaan, Rendra tetap tak mampu melawan waktu. Rendra yang perkasa tetap manusia biasa. Keinginannya memuliakan kehidupan de­ngan berbagi pengetahuan didahului kehen­dak Yang Kuasa, setelah sebelumnya Mbah Su­rip, kawan karibnya yang lain, mendahului me­ngetuk pintu surga. Sekarang, surga telah men­jadi milik mereka. [jawapos]
read more >>

Rendra ing Kahanan

Bagi Rendra, hidup adalah perjuangan. Dalam kasus Indonesia, setiap perjuangan --apa pun-- pastilah punya ka­dar sebagai perjuangan politik.
Yang menonjol dari jelujur riwayat kehidupan Rendra adalah kenyataan betapa ia hidup dalam lingkungan yang nyaris selalu berkata ''tidak'' kepadanya. Hidup Ren­dra --sedari kecil-- diabadikan untuk berjuang meng­ubah ''pen-Tidak-an'' itu agar menjadi ''peng-Iya-an''. Paling tidak, permakluman.
Rendra kecil hidup dan dibesarkan di tengah keluarga yang keras. Ayahnya, Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, adalah sumber pertama perjuangannya. Sang ayah inilah yang dianggapnya kerap menjegal kegairahan yang terus membesarkan Rendra pada fantasi dan imajinasi dengan terus-menerus mendesakkan kaidah-kaidah kehidupan yang rasional, ilmiah juga taat asas. Ayahnya pula yang bahkan meminta pihak sekolah untuk men-skors Rendra yang urakan dan sukar diatur.
Sajak Suto Mencari Bapak, salah satu sajaknya yang terpanjang, adalah bukti otentik perjuangan Rendra dalam menghadapi ''pen-Tidak-an'' yang diterimanya dari sang bapak. Rendra, kepada Romo Mudji Sutrisno, memang akhirnya membeberkan tafsirnya sendiri atas sajak itu, di mana ''bapak di situ bisa ditafsirkan sebagai Tuhan...''
Gaya hidupnya yang mbeling juga bisa dibaca sebagai perjuangannya menghadapi standar moral dan kehidupan yang dianggapnya mengekang kebebasannya sebagai manusia-pencipta. Di sini, ia melanjutkan stereotipe seorang penyair sebagai manusia bebas, pemberontak, juga urakan yang pernah dilakukan dengan penuh-seluruh oleh Chairil Anwar, kendati sajak-sajaknya di era 50-an sendiri menunjukkan pen-Tidak-an atas hegemoni stilistika sajak Chairil yang membekam penyair-penyair (seperti Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Mansur Samin) yang terdiri atas puisi liris yang bergumam dari dalam diri, remang, dan terkadang gelap.
Ketika Rendra akhirnya menggelar sebuah perhelatan menghebohkan bertajuk ''Perkemahan Kaum Urakan'' di Pantai Parangtritis pada 1971, Rendra dengan energi yang paling penuh mengungkapkan perjuangannya menghadapi tatanan kehidupan yang mapan, yang tunduk pada terlampau banyak kaidah dan menggeber ''spirit Ken Arok'' yang --dalam kata-katanya sendiri-- ''dengan kekurangajarannya pada tradisi dan nilai-nilai halus masyarakat, mereka mampu mengungkapkan frustasi dan impian-impian akan perbaikan yang semula terpendam di bawah sadar...''
Bersama momen itulah, menurut saya, Rendra sudah penuh berjuang melawan ''pen-Tidak-an'' yang sedari dini sudah diterimanya di rumah, melalui protagonis sang bapak yang rasional, ilmiah, juga penuh tata. Bersama dengan itu pula, karena merasa sudah penuh melawan ''pen-Tidak-an'' pada ''tradisi dan nilai-nilai halus masyarakat'', Rendra sudah sangat siap memasuki kancah perjuangan baru: melawan ''pen-Tidak-an'' yang kelak akan terus-menerus dialaminya dari rezim penguasa.
Paruh pertama dekade 1970-an, seusai menggelar perhelatan kaum urakan di Parangtritis, Rendra tampil lebih galak dan frontal pada pemerintah. ''Karyanya langsung pada inti kehidupan. Berani berkata putih adalah putih, dan hitam adalah hitam,'' ujar Romo Dick Hartoko, salah seorang sahabat kenalnya.
Sejak itulah, pementasan drama-dramanya dan sajak-sajak yang ditulisnya menjadi mata air yang menginspirasi semangat oposan atas pemerintahan Orde Baru. Jika pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Soekarno sajak-sajak naratif Taufiq Ismail yang seakan jadi ''juru bicara'' gerakan perlawanan atas rezim penguasa, kali ini sajak-sajak Rendra yang menggantikannya.
Rendra memang pernah bicara bahwa intelektual itu mestinya berumah di atas angin. Tapi Rendra tak pernah di sana --kecuali mulai Jumat kemarin. Dia selalu di darat, menulis sajak yang keras, pentas teater dengan persistensi sikap oposan yang keras. Bila perlu berdemo, dan ia juga pernah didemo (tiket pentasnya di Jogja dirasa sangat mahal dan saat ia menerima sokongan dana dari Gatra untuk pementasannya pasca-pembredelan TEMPO).
Rendra, baik itu sajaknya, naskah dramanya, pentas teaternya, bahkan tubuhnya sendiri, adalah sebuah monumen di mana politik dimengerti sebagai perjuangan. Apa arti perjuangan bagi Rendra? Seperti dikatakannya dalam larik yang sangat terkenal: ''perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata''.
Masalahnya, Rendra selalu berkata-kata, terus menulis sajak, dan dengan demikian --inilah tugas dan ''kutukan'' kata-katanya-- ia harus terus berjuang, apa pun arti perjuangan itu, dan di mana pun itu dilakukannya, seturut versi dan perhitungannya sendiri --karena setiap pilihan pastilah bisa didebat sampai tak ada ujung dan pangkalnya.
Barangkali karena kutukan kata-katanya itu pula, di tengah deraan penyakit yang makin keras menghajar di ujung kehidupannya, Rendra kemudian mengambil satu langkah politik yang --sependek pengetahuan saya-- tak pernah dilakukan sebelumnya: mendukung secara terbuka, terang-terangan dan verbal pasangan kandidat presiden tepat di hari pendeklarasian pasangan itu.
Entah apa yang membuat Rendra akhirnya memutuskan untuk secara terbuka, terang-terangan dan verbal mendukung Mega-Pro. Saya menduga, Rendra tahu waktu untuknya sudah akan habis. Dan, mungkin itulah satu-satunya momentum yang masih tersisa di mana ia bisa menghayati politik dengan intensif dan cara yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya, kendati ia terlalu pintar untuk tahu bahwa kali ini ia akan ''kalah''. Inilah momentum terakhir si Burung Merak tua itu masih mencoba mengibas-ngibaskan bulunya.
Ada satu parafrase yang sering diucapkan Rendra, yaitu manjing ing kahanan. ''Manjing ing kahanan itulah, kunci dari apa yang saya hayati terhadap berbagai denyut kehidupan yang tumbuh di sekitar saya,'' ujar Rendra.
Secara harafiah ''kahanan'' berarti ''keadaan'' atau ''situasi''. Tapi, dalam kasus dukungannya yang terbuka dan terang-terangan pada pasangan Mega-Pro pada hari deklarasi, sesuatu yang tak pernah dilakukannya. ''Kahanan'' bisa dibaca pula sebagai ''kejadian'' atau ''L'evenement'' dalam pengertian Alain Badiou: suatu momentum yang berbeda, dramatis, genting, sekaligus menerobos, yang dilakukan dan dihayati para pelakunya sebagai sesuatu yang baru dan berarti; sesuatu yang membangkitkan subjektivitas dan militansi.
Bersama Badiou, kita menemukan politik sebagai sebuah ''kejadian'' yang bukan hanya berbeda, baru, tidak sama dengan sebelum-sebelumnya, tapi juga yang membutuhkan penyikapan dan tindakan yang juga berbeda dari sebelum-sebelumnya. Ironisnya, bagi saya, momentum yang berbeda dan dramatis itu datang kepada Rendra bukan sebagai sesuatu yang sepenuhnya logis secara kalkulasi politis. Di situ, terlihat suatu pilihan yang sangat tersubjektivikasi tapi juga tak sepenuhnya jelas, karena --masih menyebut Badiou-- politik sebagai ''kejadian'' memang tak selamanya datang dari penalaran dan logika yang kokoh nan keras. Kadang terasa centang-perenang tapi jelas dalam pandangan sang subjek, juga kerap berbauran dengan kerinduan yang kuat.
Di ujung orasinya di Bantargebang, Rendra bertanya kepada massa yang hadir: ''Setujukah kalian dengan Mega-Pro?'' Kita tahu, pertanyaan itu dijawab ''tidak'' oleh mayoritas pemilih. Pada momen pertama sekaligus terakhir di mana ia menghayati politik dengan cara yang berbeda, kepak bulu Merak yang sudah menua itu memang sudah terlampau lemah. Politik, seperti pernah disebut Max Weber, adalah pengeboran kayu keras yang sulit dan lama. Kayu Indonesia ternyata memang sangat keras dan alot, bahkan untuk seorang Rendra sekali pun.
Momen epifani itu pun datang: Saat ia baru saja ''di-Tidak-kan'' oleh mayoritas pemilih, setelah sebelumnya bertahun-tahun ia kenyang ''di-Tidak-kan'' oleh penguasa. Dalam situasi itulah ia ''meng-IYA-kan'' maut, pergi menghadap ''Tuhan yang Maha Faham'' (istilah yang digunakan Rendra dalam sajaknya Doa di Jakarta), yang kepada-Nya Rendra tak mungkin ditolak dan di-Tidak-kan. [jawapos]
read more >>
 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri