Komodo
Paling  enak memang kalau kita hanya menulis atau berbicara sebuah opini  pribadi tanpa harus melihat latar belakang tentang segala usaha/upaya  yang sudah dikerjakan pada obyek yang diomongkan pun dituliskan itu.  Subyektifitas sangat kentara padapembicaraan/tulisan semacam itu, dan  tak jarang orang hanya menanggapinya sebagai bentuk nyinyir dari kenyinyiran mulut sang penulis. Dan itulah yang saya tuliskan pada pokok bahasa komodo kali ini.
Baiklah, ketika pertamakali Anda membaca tulisan ini, maka yang terpampang sebagai judul journal adalah tentang komodo. Ya, kali ini silahkan Anda menganggapnya saya sedang  menuliskan bentuk kenyinyiran  saya yang bertemakan komodo. Jadi apabila masih berkenan membaca  #nyinyir saya ya silahkan dilanjut, akan tetapi sayapun tak merasa  keberatan jika Anda teman-teman tercintaku semua pergi meninggalkan  halaman ini.
Sudah lama komodo diajukan pemerintahan kita, Indonesia, demi bersaing dengan keajaiban alam  lain didunia ini sesuai yang diajukan oleh negara pesertanya. Dan kemarin, bertepatan dengan pukul 11.00 waktu GMT, tanggal 11 bulan 11 tahun 2011, pihak panitia pemilih New7Wonders of Nature telah  memutuskan bahwa satu dari tujuh keajaiban alam dunia itu adalah  komodo. Saya turut bangga, sedikit bahagia juga, karena sedikit kekayaan  alam Indonesia ini kembali telah diperkenalan diranah dunia.
*) Catatan ini bukan berdasarkan nomor urut sebagai peringkatnya, namun lebih diurutkan sesuai dengan abjad-alphabetical.Berikut adalah The New7Wonders of Nature sesuai yang dicantumkan pada tanggal 11 November 2011 kemarin;
- Amazon
 - Halong Bay
 - Iguazu Falls
 - Jeju Island
 - Komodo
 - Puerto Princesa Underground River
 - Table Mountain
 
Kalau  waktu-waktu sebelum keputusan tanggal 11 kemarin itu banyak wacana  pro-kontra dalam menyikapi komodo ini, terus terang saya hanya mengambil  sikap netral saja. Tak terlalu mengamini pun tak selalu memposisikan  anti juga.
Hal itu saya  lakukan bukan lantaran saya tak punya sikap dalam melihat gerakan yang  awalnya dilakukan pihak pemerintah kita ini. Saya hanya pingin tak  gegabah saja dalam menyikapinya, selain musti harus memikirkan dua tiga  langkah kedepannya, ada hal-hal yang menjadi langkah awal khusunya pada   latarbelakang komodo itu yang tak bisa kita tinggalkan begitu saja.
![]()  | 
| Komodo | 
Komodo komoditi kamadatu
Mengambil  obyek komodo sebagai hal yang diunggulkan diantara kekayaan alam  Indonesia ini memang satu hal yang tak menjadi kekeliruan. Hanya saja  mari kita sama-sama cermati pada pengalaman yang pernah kita lalui  terdahulu, utamanya tentang Borobudur yang juga telah lebih awal masuk  dalam keajaiban.
Berpijak pada Borobudur, tak pelak ingatan sayapun melayang pada istilah kamadatu, rupadatu dan arupadatu, yaitu tiga bagian yang digambarkan melalui kaki bangunan, tubuh bangunan, serta puncak bangunan Candi . Kaki  bangunan (kamadatu) meliputi tingkat pertama sampai dengan tingkat  ketiga, tubuh bangunan (rupadatu) terdiri dari tingkat ke-empat sampai  dengan tingkat ke-enam, sementara puncak bangunan atau sering disebut  sebagai arupadatu adalah bagian yang dimulai dari tingkat ketujuh hingga  tingkat teratas.
Disini saya tak akan membahas ketiganya, yang ingin saya garis bawahi hanyalah kamadatu sebagai bentuk tingkatan awal saja.
Kamadatu adalah bangunan dari tingkat pertama sampai ketiga terdapat relief karmawibangga atau hukum karma , yang menggambarkan bahwa tingkah laku buruk manusia akan menghasilkan hukum karma.
Belajar dari keajaiban Borobudur, sudah selayaknya kitapun menjadikannya sebagai sebuah reminder  agar kita selalu belajar dari pengalaman dan sejarah yang pernah ada.  Kita sempat menjadi negeri yang dominan dengan sentralisasi, selain Jakarta  sebagai Ibukota negeri ini yang kemudian banyak orang  berbondong-bondong ber-migran-ria mengunjungi lalu menetapinya, ada yang  musti kita ingat lagi, yaitu pulau BALI.
Pada tingkat pengingat dasar (base-reminder) ini adalah tepat adanya ketika kita juga belajar kembali mengenai kamadatu sebagai tingkatan awal leluhur negeri ini mencapai kejayaannya.
Bagaimana orang-orang mancanegara bisa lebih mengenal Bali dibanding nama Indonesia saya pikir juga karena kita terlalu berpikir menggunbakan 'ajimumpung', yaitu  mumpung Bali sedang dikenal, mumpung alam Bali sudah mulai marak  diketahui, mumpung keindahan Bali sangat bisa secara cepat dijadikan  sumber komoditi. Sama juga dengan keadaan Jakarta, mumpung menjadi pusat  pemerintahan, mumpung sebagai ibukota negeri, dan mumpung-mumpung yang  lainnya.
Dampak yang timbul dari "aji umpung" itu  tak lain dan tak bukan adalah terlupakannya kita akan hal-hal indah  yang kita miliki namun berada ditempat pun ruang lain. Kalau mau bicara  Bali, toh ada Pulau Lombok yang tak kalah indahnya, atau ada danau toba  beserta Pulau Samosirnya, tak ketinggalan Raja Ampat, wakatobi dan  sekitarnya. Belum lagi kekayaan hayati lainnya. Begitu juga kalau  berbicara tentang Jakarta, toh masih ada Pulau Kalimantan yang menurut  para ilmuwan toh sudah dibuktikan lebih sedikit mendapatkan peluang  gempa pun bencana lainnya.  Kita terlalu terkonsentrasi pada  tempat-tempat yang sudah terkenal hingga akhirnya saat ini kita merasa  terjerembab karena perangkap yang tak sadar telah kita bikin sendiri.
Kembali pada komodo,  bukan satu hal yang seharusnya kita menutup mata ketika kita juga sudah  semestinya memikirkan kaitan lain baik menyangkut dampak, efek, pun  cara menanggulanginya. Sudahkan dua hal itu dilihat oleh para  penyelenggara yang turut serta secara aktif memberikan dukungan komodo  sebagai aset The New7Wonders of Nature  itu..? Ataukah aji mumpung  sudah terlanjur tersematkan hanya semata-mata demi memperoleh kedudukan diranah The New7Wonders of Nature..?
Masih pada tingkatan dasar atau kamadatu,  mari bersama-sama kita melihat guna mencari jawabannya. Siapa tahu  kitapun bisa dilibatkan walau hanya sekedar berujud kritik, saran serta  masukan.
Komodo komoditi komedi
Ada tak sedikit aspek dalam merawat apalagi melestarikan sebuah makhluk ciptaan-Nya, termasuk didalamnya adalah komodo. Saya menyebutnya sebagai tindakan "melestarikan" karena masih menurut sependek pengetahuan saya bahwa pihak UNESCO pada jauh-jauh waktu sebelumnya telah menetapkan kelangkaan Pulau Komodo dalam Wold Heritage List Convention, lalu mana bentuk kepedulian kita sendiri sebagai tuan rumah..?
Bukan maksud untuk mencibir pun terlalu nyinyir, dalam kacamata saya pribadi adalah hal yang membuat saya hanya mampu tersenyum kecut ketika kebanyakan dari kita hanya ber-euforia dalam gebyar promosi Pulau Komodo  waktu belakangan ini.
Kenapa...?
Pasalnya  kenyataan membuktikan bahwa masih sangat  sedikit bisa kita peroleh  sebuah informasi yang tersaji mengenai Pulau Komodo. Bagaimana seekor  komodo mampu bertahan hidup, dan apa yang bisa ditindaklanjuti demi  kelangsungan hidupnya itu, serta masih banyak lagi...
Lebih  parahnya kalau kita sudah berbicara pada hal yang menjurus ke arah  pariwisata serta hal yang menjadi dampaknya. Kebanyakan dari kita (dan  barang tentu termasuk saya) berbicara hanya sebatas menyerupai makan  mie-instan ~secepatnya bisa disajikan, dan secepatnya pula bisa  dinikmati~
Keinginannya hanya agar cepat-cepat orang bisa  mengetahui informasi itu, lalu berkeinginan agar para wisata   cepat-cepat datang mengunjungi pulau (yang katanya) eksotik itu, dana  akhirnya secara instan juga bisa menjadi KAYA-RAYA karena banyak income bisa  datang oleh karenanya.
Agak  mau melebar sedikit tentang pariwisata, kapankah kita ini mengalami  perubahan yang berarti..? Harus dimulai dari manakah kalau warga saja  dalam merealisasikan obyek berujud "kampung-wisata"nya masih juga  terkendala dengan birokrasi...?
Kenyataan yang bisa kita saksikan bukan saja pada komodo,  namun masih teramat banyak cagar budaya, kekayaan alam, bahkan tak  sedikit hal-hal kecil yang bisa kita kuak. Sebut saja kunang-kunang yang  beterbangan pada malam hari, di Malaysia toh hal itu bisa dijual  sebagai kekayaan pariwisatanya, lah kita kemana saja...?
Tentang komodo, dengan tidak adanya pihak berwenang yang bercerita tentang si Komodo bahwa Komodo lebih terlihat sebagai komoditas, bukan entitas, saya menjadi  teringat kembali tentang Tahun Kunjungan Museum di Jogja  juga. Hal pendukung yang bisa saya lihat saat itu yaitu dengan  menyaksikan serta membaca iklan-iklan yang terpajang pada papan besar di  beberapa perempatan besar berisi ajakan "visit to museum"
Kenapa  pokok bahasannya harus menuju  arah museum..? Pasalnya meski Jogja  menjadi daerah yang memiliki museum terbanyak di Indonesia, akan tetapi  itu semua selalu dijadikan "sebelah mata" dalam meningkatan kualitas  pelayanan.  Begitu juga ditempat lain, Jakarta  misalnya, saya memiliki pengalaman tatkala harus menjawab pertanyaan  pada wisatawan asing (manca negara) bahwa untuk masuk ke museum saja  masih teramat susah sekali mencari brosurnya.
Sampai disini, saya  rasa antara museum, Taman Komodo, pun tempat2 pariwisata lain adalah  difungsikan sebagai tujuan yang tak jauh berbeda,  yaitu selain sebagai  obyek hiburan juga dimaksudkan untuk edukasi.  Akan tetapi   pada sisi  apa letak edukasinya kalau  kita cuma disuruh melihat gambar, mengamati  gerak-gerik binatang, atau melihat hal lain tanpa tahu apa  maksudnya...?  Bukankah hal itu menjadi tak jauh berbeda apabila kita   membeli bukunya saja, lalu membacanya dirumah  atau berselancar saja  didunia maya.
Diakhir, bukan mau sekedar nyinyir tanpa mau melihat latar pun langkah kedepannya. Saya tetap bergembira dengan keberadaan komodo yang meski belum final namun kemarin telah diberitakan masuk  dalam The New7Wonders of Nature.  Hanya saja saya masih juga mau memposisikan diri untuk melihat dari sisi lain tentang makhluk hidup bernama komodo   yang menuju arah langka itu. Arah konservasi sudah semestinya menjadi  tujuan,  sehingga banyak dari kegiatan baik itu berupa wisata pun  aktivitas lain mampu diketahui tentang segala hal yang dibutuhkan.  Sebagai contoh kecil, pada saat  musim kawin, masih belum banyak orang  yang mengerti tentang penciuman komodo yang sangat tajam. Masih teramat  sedikit orang yang mengetahui bahwa penciuman komodo itu  bisa memiliki radius berkilo-kilometeran.
Dari  pengetahuan yang sedikit ini toh akhirnya bisa diketahui tindakan  antisipasinya, utamanya penyadaran pada sosok pengunjung berjenis  kelamin perempuan yang sedang haid, bahwa sangat riskan dan bahkan  menuju arah bunuh diri jika larangan mengunjungi komodo itu dilanggar .
Terlepas dari Kepentingan politis ataupun tindakan survival baik yang disubyeki oleh Kemenbudpar (yang akhirnya menarik dukungan) ataupun Jusuf Kalla  yang meneruskannya, saya yaqin banyak rakyat Indonesia ini sepakat  bahwa kita semua memiliki keinginan sama tentang komodo, yaitu  lebih  mau memposisikannya sebagai  entitas, sama sekali bukan  terlihat  sebagai komoditas.  Karena saya juga meyaqini bahwa kita semua tak ada  keinginan sama sekali untuk memposisikan  komodo akhirnya hanya sebagai sebuah bahan lelucon, komodo komoditi komedi. Semoga... [uth]
___________________________________________________________
An  ilustration is taken from new7wonders.com without permission.

1 comments:
Gak ikut euforia SMS :D
Meneng ae, dadi dilent kecap #eh :D
Koyok moco iki, buat pemahaman aja, bukan untuk dikomentari :D
Post a Comment