‘Keteguhan Merapi dan Keserakahan alam’, sebagaimana  tulisan sebelumnya, pada journal kali ini saya masih berkeinginan  membuat tulisan yang berbau reportase. Setelah beberapa hari sebelumnya  berkoloni dengan teman-teman Komunitas Bengawan dan dilengkapi pada Minggu siang (27/11) juga berbaur dengan teman-teman KBJ (Komunitas Blogger Jogja),  maka malam hari yang tersisakan sebenarnya tinggal capeknya. Dan akan  menjadi tepat guna adalah apabila waktu itu diunakan untuk beristirahat.  Akan tetapi apa daya, melihat keadaan yang dihadapi ternyata hanya  sekitar dua jam saja waktu yang harus kami (saya dan Lik Bimosaurus) gunakan untuk beristirahat tersebut.
Ya, meski lumayan lelah namun yang  namanya pekerjaan ya tetap saja tak mengenal kata habis, sehingga kalau  harus didiamkan begitu saja bukan tidak mungkin bakal menjadi gunung.  Padahal kalau sudah menggunung biasanya kebiasaan yang akan saya alami  adalah bakal menjadi pengidap rasa malas.
Minggu malam sedikit berbenah, dan tak  terasa Senin pun telah menginjak paginya. Sebenarnya hari itu kami sudah  membuat janji bahwa Senin siang musti bertemu dengan seseorang didaerah  Salakan, Ringroad barat, Jogja. Maka sambil menunggu hari beranjak  siang, demi membunuh waktu dan menghilangkan kebosanan kamipun  memutuskan untuk pergi ke utara dan melihat pemandangan dengan tujuan  agar otak kami tetap menjadi fresh adanya.
![]()  | 
| Penambang pasir alus | 
Pukul tujuh pagi kami memutuskan untuk naik ke Puncak Turgo,  sengaja kami tak mengambil jalan protokol. Kami susuri jalan-jalan  kampung sehingga kami bisa melihat geliat penduduk sekitar, dan  beruntung dengan menyusuri jalan-jalan kampung seperti itu kami disuguhi  pemandangan yang sangat alami, juga bisa mengetahui keadaan jalan serta  infrastruktur lain setahun pasca erupsi Merapi 2010.
Pukul tujuh pagi kami memutuskan untuk naik ke Puncak Turgo,  sengaja kami tak mengambil jalan protokol. Kami susuri jalan-jalan  kampung sehingga kami bisa melihat geliat penduduk sekitar, dan  beruntung dengan menyusuri jalan-jalan kampung seperti itu kami disuguhi  pemandangan yang sangat alami, juga bisa mengetahui keadaan jalan serta  infrastruktur lain setahun pasca erupsi Merapi 2010.
Ada satu hal yang tanpa sengaja bisa kami temui. Awalnya saya hanya tertarik dengan spot  sebuah jembatan yang terlihat porak poranda bekas diterjang aliran  lahar dingin pun awan panas Merapi. Saya berkonsentrasi mengambil gambar  dari berbagai sudut, mengira-ira dari sebelah mana bisa memperoleh angel  tepat. Pada saat keasyikan membidik gambar-gambar itu tak jauh di ujung  jembatan Mas Bimo(saurus) yang sebelumnya bercengkrama dan ngobrol  dengan seseorang akhirnya memanggil agar saya juga mendekat dan ikut  dalam pembicaraan tersebut.
Dari seorang Bapak (maaf saya lupa  menanyakan namanya) itu saya menjadi tersenyum sebagai tanda apresiasi  atas ide beliau. Sebagaimana terlihat digambar ilustrasi, Bapak tersebut  mengumpulkan pasir bukan berasal dari kali yang letaknya ada dibawah  sana, akan tetapi justru beliau mengumpulkannya dari sebuah selokan  kecil yang airnya mengalir dengan lancar. Aliran air tersebut kalau kita  jeli memperhatikannya ternyata juga membawa butiran-butiran pasir dan  diakhirnya buiiran-butiran tersebut mengendap menjadi wujud pasir halus.
 Keteguhan Merapi dan Keserakahan alam
![]()  | 
| Jembatan | 
Dari lereng bukit Turgo Merapi inilah  bisa saya temui kelebihan pemikiran orang kampung yang terkadang jarang  sekali bisa di kuak. Mereka (Dia) mampu memanfaatkan keadaan yang  sepertinya tak kasat dilihat mata. Bapak itu tetap teguh dan bersahaja  sebagaimana teguhnya Gunung Merapi.  Bapak tersebut tak menjadi cengeng dan lalu mencari belas kasihan  akibat bencana yang melandanya beberapa bulan lalu. Semangat pantang  menyerah demi mengisi kehidupan ini beliau tunjukkan, persis didepan  mata saya.
Keadaan  tak dengan serta merta membuat mereka terpuruk lalu menjatuhkan pilihan  hina. Sesusah apapun sebuah bencana, mereka tetap mampu berpikir  optimis segera bangkit dan bangun dari keadaan sebagai peminta-minta  (bantuan) kepada orang lain. 
Sisi  lain yang juga musti diamati adalah cerdiknya mereka dalam memposisikan  diri. Tak sedikit kandungan batu pun pasir tersedia dan sangat  berlimpah pada sungai yang letaknya dibawah selokan tersebut. Namun  pilihan pengambilan pasir ditempat itu adalah sebuah tindakan bijak.  Selain keadaan masih belum memungkinkan untuk menambang di sungai bawah  sana, keamanan jugalah yang menjadi bahan pertimbangan Bapak tersebut.  Kondisi lahar dingin masih dengan ganasnya mengancam setiap saat tak  mengenal waktu, begitu juga kendaraan pengangkut juga masih memiliki  kendala karena belum adanya lajur yang bisa dilewati roda kendaraan.
 Pasir  endap yang dihasilkan oleh Bapak tersebut berujud pasir halus. Menurut  informasi yang saya peroleh bakal dimanfaatkan sebagai salah satu bahan  pembuatan genting atau juga sebagai bahan aduk plester keramik lantai. 
Memang  kalau kita mau melihat dari segi hasil, hanya pasir halus saja yang  mampu dihasilkan oleh Bapak tersebut, padahal tak jarang bahan bangunan  itu juga membutuhkan pasir yang kasar dan berbatu. Akan tetapi bukan  pada obyek pasir itu saya melihat dan berkeinginan mengulasnya. Saya  lebih berkeinginan melihat pada satu subyek yaitu bahwa Bapak dan  penduduk-penduduk lain diwilayah Merapi ini sebenarnya masih memiliki  pemikiran yang logis dalam segala keterbatasannya. Berpikirnya tak  muluk-muluk, hanya ‘sak madya’ (satu tujuan  kesederhanaan) tiada pernah ada niat mengeksploitasi pun menguasai.  Cukup sederhana, bisa memenuhi kebutuhan setiap hari, dan kalaupun bisa  mencapai hasil lebih pun tak menjadi sebuah cadangan kekayaan yang  menggunung. Dengan sisi pandang seperti ini saya rasa tak akan menjadi  pihak yang merusak alam pun ekosistem yang melingkupinya.
![]()  | 
| Pasir Halus | 
Lain  halnya ketika ada sebuah niatan serakah ingin mengeksploitasi dan  menguasi. Kerusakan alam dan pencemaran lingkungan bukan tidak mungkin  bakal menjadi sebab dari ketidakramahannya. 
 Bukan, sama sekali bukan mau sok ceramah dan berbicara tentang hisab, hukuman, pun balasan atas perbuatan manusia. Saya  lebih cenderung mengarahkan pokok-bahasan kali ini menuju keseimbangan  alam yang subyeknya tak lain dan tak bukan adalah kita sebagai manusia.  Sehingga timbul pertanyaan lanjutannya yaitu; subyek keserakahan ataukah  subyek keramahan yang akan kita terapkan kepada obyek berujud alam itu  sendiri…? Itulah pertanyaan pilihan untuk kita, manusia. 
 Mampu  mensyukuri karunia sang Penguasa Alam ini tentu adalah dengan cara bisa  merawatnya bukan malah merusaknya. Dan saya rasa bisa mensiasati  keamanan diri juga adalah bagian dari keramahan kita terhadap alam  tersebut. Disinilah banyak bahan untuk kita semua  merenunginya  dan berikutnya adalah mempelajarinya. Belajar mengenal lingkungan,  belajar memanage cuaca, belajar mensiasati situasi, dan tentu masih  banyak lagi pembelajaran-pembelajaran-Nya melalui alam ini, Keteguhan Merapi dan Keserakahan alam. [uth]



0 comments:
Post a Comment