Thursday, December 1, 2011

Keteguhan Merapi dan Keserakahan alam

Keteguhan Merapi dan Keserakahan alam’, sebagaimana tulisan sebelumnya, pada journal kali ini saya masih berkeinginan membuat tulisan yang berbau reportase. Setelah beberapa hari sebelumnya berkoloni dengan teman-teman Komunitas Bengawan dan dilengkapi pada Minggu siang (27/11) juga berbaur dengan teman-teman KBJ (Komunitas Blogger Jogja), maka malam hari yang tersisakan sebenarnya tinggal capeknya. Dan akan menjadi tepat guna adalah apabila waktu itu diunakan untuk beristirahat. Akan tetapi apa daya, melihat keadaan yang dihadapi ternyata hanya sekitar dua jam saja waktu yang harus kami (saya dan Lik Bimosaurus) gunakan untuk beristirahat tersebut.

Ya, meski lumayan lelah namun yang namanya pekerjaan ya tetap saja tak mengenal kata habis, sehingga kalau harus didiamkan begitu saja bukan tidak mungkin bakal menjadi gunung. Padahal kalau sudah menggunung biasanya kebiasaan yang akan saya alami adalah bakal menjadi pengidap rasa malas.

Minggu malam sedikit berbenah, dan tak terasa Senin pun telah menginjak paginya. Sebenarnya hari itu kami sudah membuat janji bahwa Senin siang musti bertemu dengan seseorang didaerah Salakan, Ringroad barat, Jogja. Maka sambil menunggu hari beranjak siang, demi membunuh waktu dan menghilangkan kebosanan kamipun memutuskan untuk pergi ke utara dan melihat pemandangan dengan tujuan agar otak kami tetap menjadi fresh adanya.

Penambang pasir alus
Pukul tujuh pagi kami memutuskan untuk naik ke Puncak Turgo, sengaja kami tak mengambil jalan protokol. Kami susuri jalan-jalan kampung sehingga kami bisa melihat geliat penduduk sekitar, dan beruntung dengan menyusuri jalan-jalan kampung seperti itu kami disuguhi pemandangan yang sangat alami, juga bisa mengetahui keadaan jalan serta infrastruktur lain setahun pasca erupsi Merapi 2010.

Pukul tujuh pagi kami memutuskan untuk naik ke Puncak Turgo, sengaja kami tak mengambil jalan protokol. Kami susuri jalan-jalan kampung sehingga kami bisa melihat geliat penduduk sekitar, dan beruntung dengan menyusuri jalan-jalan kampung seperti itu kami disuguhi pemandangan yang sangat alami, juga bisa mengetahui keadaan jalan serta infrastruktur lain setahun pasca erupsi Merapi 2010.

Ada satu hal yang tanpa sengaja bisa kami temui. Awalnya saya hanya tertarik dengan spot sebuah jembatan yang terlihat porak poranda bekas diterjang aliran lahar dingin pun awan panas Merapi. Saya berkonsentrasi mengambil gambar dari berbagai sudut, mengira-ira dari sebelah mana bisa memperoleh angel tepat. Pada saat keasyikan membidik gambar-gambar itu tak jauh di ujung jembatan Mas Bimo(saurus) yang sebelumnya bercengkrama dan ngobrol dengan seseorang akhirnya memanggil agar saya juga mendekat dan ikut dalam pembicaraan tersebut.

Dari seorang Bapak (maaf saya lupa menanyakan namanya) itu saya menjadi tersenyum sebagai tanda apresiasi atas ide beliau. Sebagaimana terlihat digambar ilustrasi, Bapak tersebut mengumpulkan pasir bukan berasal dari kali yang letaknya ada dibawah sana, akan tetapi justru beliau mengumpulkannya dari sebuah selokan kecil yang airnya mengalir dengan lancar. Aliran air tersebut kalau kita jeli memperhatikannya ternyata juga membawa butiran-butiran pasir dan diakhirnya buiiran-butiran tersebut mengendap menjadi wujud pasir halus.

Keteguhan Merapi dan Keserakahan alam

Jembatan
Dari lereng bukit Turgo Merapi inilah bisa saya temui kelebihan pemikiran orang kampung yang terkadang jarang sekali bisa di kuak. Mereka (Dia) mampu memanfaatkan keadaan yang sepertinya tak kasat dilihat mata. Bapak itu tetap teguh dan bersahaja sebagaimana teguhnya Gunung Merapi. Bapak tersebut tak menjadi cengeng dan lalu mencari belas kasihan akibat bencana yang melandanya beberapa bulan lalu. Semangat pantang menyerah demi mengisi kehidupan ini beliau tunjukkan, persis didepan mata saya.

Keadaan tak dengan serta merta membuat mereka terpuruk lalu menjatuhkan pilihan hina. Sesusah apapun sebuah bencana, mereka tetap mampu berpikir optimis segera bangkit dan bangun dari keadaan sebagai peminta-minta (bantuan) kepada orang lain. 

Sisi lain yang juga musti diamati adalah cerdiknya mereka dalam memposisikan diri. Tak sedikit kandungan batu pun pasir tersedia dan sangat berlimpah pada sungai yang letaknya dibawah selokan tersebut. Namun pilihan pengambilan pasir ditempat itu adalah sebuah tindakan bijak. Selain keadaan masih belum memungkinkan untuk menambang di sungai bawah sana, keamanan jugalah yang menjadi bahan pertimbangan Bapak tersebut. Kondisi lahar dingin masih dengan ganasnya mengancam setiap saat tak mengenal waktu, begitu juga kendaraan pengangkut juga masih memiliki kendala karena belum adanya lajur yang bisa dilewati roda kendaraan.

Pasir endap yang dihasilkan oleh Bapak tersebut berujud pasir halus. Menurut informasi yang saya peroleh bakal dimanfaatkan sebagai salah satu bahan pembuatan genting atau juga sebagai bahan aduk plester keramik lantai. 

Memang kalau kita mau melihat dari segi hasil, hanya pasir halus saja yang mampu dihasilkan oleh Bapak tersebut, padahal tak jarang bahan bangunan itu juga membutuhkan pasir yang kasar dan berbatu. Akan tetapi bukan pada obyek pasir itu saya melihat dan berkeinginan mengulasnya. Saya lebih berkeinginan melihat pada satu subyek yaitu bahwa Bapak dan penduduk-penduduk lain diwilayah Merapi ini sebenarnya masih memiliki pemikiran yang logis dalam segala keterbatasannya. Berpikirnya tak muluk-muluk, hanya ‘sak madya’ (satu tujuan kesederhanaan) tiada pernah ada niat mengeksploitasi pun menguasai. Cukup sederhana, bisa memenuhi kebutuhan setiap hari, dan kalaupun bisa mencapai hasil lebih pun tak menjadi sebuah cadangan kekayaan yang menggunung. Dengan sisi pandang seperti ini saya rasa tak akan menjadi pihak yang merusak alam pun ekosistem yang melingkupinya.

Pasir Halus
Lain halnya ketika ada sebuah niatan serakah ingin mengeksploitasi dan menguasi. Kerusakan alam dan pencemaran lingkungan bukan tidak mungkin bakal menjadi sebab dari ketidakramahannya.

Bukan, sama sekali bukan mau sok ceramah dan berbicara tentang hisab, hukuman, pun balasan atas perbuatan manusia. Saya lebih cenderung mengarahkan pokok-bahasan kali ini menuju keseimbangan alam yang subyeknya tak lain dan tak bukan adalah kita sebagai manusia. Sehingga timbul pertanyaan lanjutannya yaitu; subyek keserakahan ataukah subyek keramahan yang akan kita terapkan kepada obyek berujud alam itu sendiri…? Itulah pertanyaan pilihan untuk kita, manusia.

Mampu mensyukuri karunia sang Penguasa Alam ini tentu adalah dengan cara bisa merawatnya bukan malah merusaknya. Dan saya rasa bisa mensiasati keamanan diri juga adalah bagian dari keramahan kita terhadap alam tersebut. Disinilah banyak bahan untuk kita semua  merenunginya dan berikutnya adalah mempelajarinya. Belajar mengenal lingkungan, belajar memanage cuaca, belajar mensiasati situasi, dan tentu masih banyak lagi pembelajaran-pembelajaran-Nya melalui alam ini, Keteguhan Merapi dan Keserakahan alam. [uth]

0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri