Demokrasi jamban adalah trend demokrasi terkini yang ada di negeri berjuluk Nusantara ini. Ya, negeri Indonesia yang sejatinya memiliki sistem demokrasi bernama Demokrasi Pancasila ini secara nyata yang bisa disaksikan bersama adalah demokrasi yang berlandaskan otak jamban.
Berbicara tentang demokrasi, saya enggan untuk bilang antara salah dan benar, karena secara pribadi -setidaknya sampai dengan saat ini- saya menyikapinya masih sebagai hal yang bisa dilihat bahwa ia merupakan sistem terbaik yang adai. Akan tetapi bukan lantas bisa diartikan sebagai sistem yang sudah final serta masif. Sebaliknya, ada tak sedikit hal yang acapkali diarahkan menuju relung philosophy terkandung di dalamnya. Relung philosophy yang bisa diterjemahkan kedalam klausul-klausul hukum sesuai kehendak pun selera penguasa, serta semau yang memiliki ideologi dominan yang menggenggamnya.
Pada wilayah itulah sistem demokrasi sangat dimungkinkan untuk dioperasi wajahnya sesuai kehendak si empunya wajah.
Oleh karenanya timbullah beberapa sistem yang masih -dalam tanda kutip- mau menyelamatkan diri dengan mengatasnakaman demokrasi. Ada Demokrasi Pancasila, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Religius, Demokrasi Terpimpin, Nasionalisme Demokrasi, Sosialisme Demokrasi, dan masih banyak lagi. Alasannyapun bisa berbagaimacam, dikondisikan dengan negara pun kulturnya-lah, di sesuaikan dengan sejarah tiap bangsanya-lah, dan lain sebagainya.
Oleh karenanya timbullah beberapa sistem yang masih -dalam tanda kutip- mau menyelamatkan diri dengan mengatasnakaman demokrasi. Ada Demokrasi Pancasila, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Religius, Demokrasi Terpimpin, Nasionalisme Demokrasi, Sosialisme Demokrasi, dan masih banyak lagi. Alasannyapun bisa berbagaimacam, dikondisikan dengan negara pun kulturnya-lah, di sesuaikan dengan sejarah tiap bangsanya-lah, dan lain sebagainya.
Sementara di negeri Indonesia yang para birokrasinya sepakat mengenakan sistem demokrasi Pancasila semenjak dahulu, sebagai bagian demokrasi juga telah sepakat mewakilkan suara rakyat pada sosok mereka -Yang Terhormat- Dewan Perwakilan rakyat. Nah, sampai pada posisi inilah kita seluruh warga Indonesia ini telah diwakilkan suaranya oleh mereka yang duduk di KURSI perwakilan rakyatnya.
Ada hal yang harus disadari bahwa kenyataan terkini yang ada para wakil rakyat tersebut toh saat ini tak hanya sekedar memanjakan pantat dengan duduk di KURSI, lain dari itu merekapun dengan tiada rasa iba telah diam-diam dan tak transparan memanjakan pantatnya untuk dapat menikmati tempat duduk di jamban sambil berak..! Mereka sembunyi-sembunyi merenovasi toilet Badan Anggaran (Banggar) dengan anggaran sebesar 2 milyar rupiah. Bukan itu saja, para wakil rakyat inipun menganggarkan uang yang berkisar antara 9 juta sampai lebih dari 10 juta rupiah (lihat journal ini..!)
Memang ini adalah lagu baru namun tetap menggunakan syair pada album lama. Karena selain jamban sebagai tempat membuang kotoran pun kursi empuk demi memanjakan pantat, kenyataannya masih banyak lagi rencana-rencana para wakil rakyat sebagai cerminan wakil demokrasi ini juga memiliki agenda pemakaian anggaran di tempat lain.
Kalau dulu ada rencana pembangunan gedung baru, toh kenyataannya sekarang masih senada. Sebut saja rencana membangun lapangan futsal yang bernilai Rp 2 miliar -walaupun pada akhirnya batal-. Atau renovasi ruang rapat Banggar yang batas bawahnya adalah Rp 20,3 miliar, sementara batas atas anggarannya mencapai Rp 24 miliar. Belum lagi kalender yang bernilai Rp 1,3 miliar. Anggaran Rp 4,3 triliun pun tak segan diminta kepada Kementerian Pertanian guna memenuhi judul "bantuan sosial". Tak lupa pembiayaan studi banding tetap digunakan demi memperoleh anggaran sebesar Rp 100 miliar.
Tak usah njlimet memikirkan detil harga baik harga persatuan kursi, permeter gedung, perbuah keramik jamban, dan pernik-pernik lainnya, toh hal semacam ini kebenarannya etramat timpang kalau harus kita bandingkan dengan keadaan warga yang diwakilinya masih terlihat susah hidup. Ada tak sedikit di bawah jembatan, masih banyak yang kleleran di bantaran sungai, belum lagi yang jauh di perbatasan terluar negeri ini.
Balik lagi ke sistem bernama demokrasi dimana negeri Indonesia ini menganut sistem demokrasi Pancasila. Ada yang mengesankan, yaitu ketika kita dikatakan sebagai negeri demokrasi terbesar ketiga dunia setelah India dan Amerika.
Lalu pertanyaannya;
Lalu pertanyaannya;
Banggakah Indonesia dikatakan sebagai negeri demokrasi terbesar ketiga..?
Jawaban saya; Ya, bangga sihh... Hanya saja kebanggaan ini harus saya iringi dengan rintihan tangis (p)sedih.
Kenapa..?
Alasan merintih dan menangis (p)sedih padahal fakta membuktikan Indonesia diletakkan sebagai negeri demokrasi terbesar ketiga ini adalah karena saya masih tetap melihat bahwa keberhasilan sebuah nilai demokrasi itu bukan diukur dari keberadaan SIMBUL. Lain dari itu, keberhasilan demokrasi WAJIB diukur dari keadilan serta kesejahteraan rakyat.
Oleh karenanya, melihat pelaksaan demokrasi Pancasila yang saya nilai telah salah arah, dimana penguasa yang telah banyak memiliki modal harta itu tetap dilenggangkan mengerat kemerdekaan rakyat yang sejatinya diwakilinya, akankah tetap didiamkan menuju arah demokrasi kapitalis..?
Baiklah kalau harus melihat kenyataan ini sudah berlangsung sebagai 'lagu lama' berkaset baru, kita (saya) bisa memahaminya. Apalagi tatkala harus mendengar ada yang berujar bahwa "kesalahan bukan sepenuhnya ada pada mereka para wakil rakyat..!" Alasannya pun tak bisa kita nafikan karena tak bisa dipungkiri para anggota DPR ini bisa ganti lima tahun sekali.
Yang tak berganti berkala selama lima tahuin sekali memang adalah mereka para birokrat yang ada di Sekretariat Jenderal.
Hanya saja saya pikir kalau para wakil rakyat itu memposisikan diri sebagai pelopor anti korupsi, amanah, waspada, serta eling, tak bakalanlah mereka membiarkan dirinya kejeblos apalagi sengaja menjebloskan diri ke tempat yang dirasanya empuk itu.
Demokrasi Pancasila memang bukanlah Sosialisme Demokratik yang diterapkan pada negeri-negeri Skandinavia. Hanya saja semoga Anda -teman-teman tercintaku smeuanya- tak begitu menolak konsep yang ada di negeri-negeri Skandinavia itu. Pasalnya yang bisa saya amati bahwa ideologi Sosialisme Demokratik di negeri-negeri Skandinavia lebih mampu mengendalikan sistem kapitalistik, dengan bukti tak memakan pun mengerat rakyatnya sendiri.
Demokrasi Pancasila memang bukanlah Sosialisme Demokratik yang diterapkan pada negeri-negeri Skandinavia. Hanya saja semoga Anda -teman-teman tercintaku smeuanya- tak begitu menolak konsep yang ada di negeri-negeri Skandinavia itu. Pasalnya yang bisa saya amati bahwa ideologi Sosialisme Demokratik di negeri-negeri Skandinavia lebih mampu mengendalikan sistem kapitalistik, dengan bukti tak memakan pun mengerat rakyatnya sendiri.
Namun tatkala melihat Sosialisme Demokratik yang ada di negeri-negeri Skandinavia itu saya harap Anda tak memandangnya sebelah mata kalau mereka juga tetap menerapkan sistem kapitalistik dalam perekonomiannya, karena saya pikir hal itu memang dibutuhkan. Lain dari itu yang musti digarisbawahi adalah bahwa Sosialisme Demokratik memberi ruang kekuasaan lebih luas bagi rakyat bawahnya -sama sekali bukan pengusaha pun penguasa- dalam manajemen pemerintahan.
Kita tak menjiplak, akan tetapi tak salah juga kan kalau konsep seperti ini tetap diterapkan di negeri kita yang ber ideologi Pancasila...?
Sekali lagi, saya berkeyaqinan bahwa keberhasilan demokrasi hanya bisa diukur dari keadilan serta kesejahteraan rakyat. Faktor sebagai negeri yang kaya raya tak menjadi posisi terlalu penting, karena toh dalam mencapai kebesaran baik dipandang dari segi ekonomi pun politik negeri miskin sekalipun kalau mengelolanya benar maka kesejahteraan rakyat bisa dicapai.
Di akhir, dalam tatanan demokrasi apapun yang berpihak pada sebenar-benarnya kesejahteraan rakyat, yang tak bisa di sembunyikan adalah faktor transparansi. Transparansi adalah modal utama demi tak menciderai rakyat terbawah, baik dalam ekonomi pun politik.
Ketika transparansi sudah sirna, pembangunan pun pembiayaan sarana birokrasi juga sudah di tutup-tutupi, maka sudah menjadi hal yang tak bisa dihindari jika nilai tatanan Demokrasi Pancasila -sebagai cita-cita pendiri bangsa- inipun berubah menjadi Demokrasi jamban, karena selalu di tutup-tutupi juga oleh sebab bau korupsi pun busuknya tai. [uth]
____________________________________
An illustration of Demokrasi jamban by Kang Seblat.
0 comments:
Post a Comment