Saturday, March 17, 2012

Perempuan Jogja

Perempuan Jogja adalah judul buku yang kali ini ingin kutulis sebagai jurnal. Ya, hari-hari belakangan aku berusaha ngubeg-ubeg lemari kecil berisi buku yang sudah terbeli namun belum sempat terbaca, satu diantara beberapa buku itu salahsatunya adalah Perempuan Jogja karya Achmad Munif.

Perempuan Jogja. Sebenarnya buku ini sudah terbit lama, dan dulu saat berkunjung ke tempat teman, sempat sekilas membacanya juga. Kali ini buku itu benar-benar menjadi milikku setelah akhir bulan Februari 2012 lalu terbeli.

Perempuan Jogja, ada kehendak membeli lantaran memang sudah sempat membaca, jadi sedikit tahu cerita didalamnya. Akan tetapi lain dari itu, ada yang membuatku langsung mengambilnya dari rak toko buku, tak lain dan tak bukan adalah karena  gambar wanita cantik yang terpampang disampul buku itu mampu mempesonakanku..!

Perempuan Jogja
Dan begitu mulai membaca perempuan Jogja, baru sampai dihalaman awal, tepatnya halaman 4, ada beberapa ungkapan yang sudah mampu membuatku tersenyum juga.
Di bagian awal buku Perempuan Jogja menceritakan penokohan pemuda bernama Ramadan asal Kediri , kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama Yogyakarta  dan sekaligus berprofesi sebagai journalis. Ramadan menempati lantai atas rumah kos bersama -Guntur- sesama Mahasiswa yang juga sekaligus bekerja di bengkel, dimana tempat kosnya berada disamping rumah -yang tergolong- mewah dan dihuni seorang ibu muda beranak dua. Saat Ramadan memergoki ibu muda berada di samping kolam renang rumahnya sedang memetik bunga, maka aksi memotretpun diperankan oleh Ramadan, sang journalis.

Adegan itulah yang menimbulkan argumentasi antara Ramadan dan Gilang dan membuatku tersenyum lantaran teringat ungkapan wong ndesa namun lumayan ngintelek
“Mbak Rum adalah campuran antara karakteristik agraris dengan metropolis. Klasik tapi juga modern.
“Kamu tahu enggak Tuhan begitu baik padaku..? Karena aku selalu melihat dengan seni. Aku tidak melihatnya dengan rasa birahi. Dalam benakku wajah Mbak Rum adalah gabungan antara Monalisa dan Ken Dedes, atau antara Celin Dion dengan Dewi Drupadi.” [Perempuan Jogja halaman 4]
Akhirnya mulailah mengalir cerita demi cerita. Bahwa ada beberapa penokohan kehidupan di Jogja dalam buku perempuan Jogja tersebut.

Pertama, sebut saja liku-liku hidup rumahtangga antara Rumanti yang berasal dari kalangan wong cilik yang memperoleh suami dari kalangan darah biru alias ningrat bernama Raden Mas Danudirja, dimana akhirnya Rumanti di wayuh a.k.a dimadu lantaran RM Danudirjo kembali menikah dengan bekas pacar yang justru pernah menyakiti hatinya karena meninggalkan dirinya untuk kawin dengan orang lain -namun akhirnya cerai-. Cerita keluarga kecil antara Rumanti dengan RM Danudirja yang beranak dua ini menghiasi buku sejak awal hingga jelang akhir halaman. Sisi-sisi keseharian kaum urban dan kesadaran sebagai wong cilik yang -merasa- diangkat derajatnya tergambar dari penokohan Rumanti. Sementara sisi-sisi kaum priyayi atau kaum ningrat dilukiskan dalam penokohan Danudirja.

Nama Ramadan yang terbaca sebagai tokoh utama dalam buku ‘perempuan Jogja’ itu juga mampu membuatku banyak berimajinasi. Membayangkan sesuai kenyataan yang dialami pada diri sendiri. Bahwa sebagai kaum urban yang tak cukup harta -warisan orang tua- ini ada banyak hal yang butuh dikorbankan pun di perjuangkan. Dari sisi waktu sudah barang tentu butuh banyak pengorbanan untuk memanfaatkannya guna bekerja mencari tambahan uang demi meraih masa depan lebih baik, sementara dari derajat ketidakpunyaan itu ada hal yang butuh keberanian untuk diperjuangkan, termasuk perjuangan meraih cinta.
Dalam persahabatan dan cinta, dua tangan terangkat berdampingan bersama untuk menemukan apa yang tidak dapat dicapai sendirian. [Surat Kahlil Gibran kepada Mary Haskell - Perempuan Jogja halaman 14]
Pada halaman 31 mulai ditampilkan juga perjalanan Popi, anak gadis umur 15 tahun yang kebenarannya dia sudah tak bisa lagi dikatakan sebagai gadis lantaran kehidupan menuntut dirinya untuk melepaskan kegadisannya tersebut. Popi adalah gambaran anak remaja yang terlahir dari keluarga tak harmonis. Sebenarnya ayah Popi adalah pekerja keras, namun juga sekaligus pekerja kasar. Ayah Popi berasal dari desa dimana simbah Popi yang melahirkan ayahnya adalah keluarga baik-baik dan bersahaja. Namun karena ingin mengadu nasib lebih baik, maka pergilah ayah Popi ke kota. Kenyataan yang tak sesuai haraoan dihadapkan pada  lelaki kecil kerempeng itu. Akhirnya penghasilan pas-pasan itu tak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari padahal Ibu Popi menginginkan lebih dari yang didapatkan ayahnya. Dari sifat dan keinginan Ibunya Popi inilah semua berawal, hingga akhirnya banyak mempengaruhi kehidupan Popi juga.

Beruntung sebelum pada akhirnya semua terlanjur, Popi menemukan orang berharta mempedulikannya. Namun pengalaman Popi hidup di jalanan sampai dengan keakrabannya pada rakyat terbawah yang hidup di bantaran Kali Code inilah yang -kurasa- mampu membuka wawasan para pembaca dalam melihat kehidupan nyata dan realita diseputaran kita ini.

Di sisi lain, kehadiran tokoh remaja putri bernama Raden Ayu Indri Astuti yang kuliah di Sastra Prancis Universitas ternama Jogja, dan sekaligus adik kandung Raden Mas Danudirja sangat memberi warna pada keseluruhan isi buku perempuan Jogja ini. Digambarkan bahwa Indri Astuti ini adalah sosok perempuan berdarah biru dimana orangtuanyapun memiliki cukup harta, namun Indri tak pernah mengagung-agungkan kekayaan orangtuanya tersebut. Bahkan dalam memilih lelaki -calon- pendamping hidupnyapun Indri tak pernah menjadikan harta sebagai ukuran. Disamping itu Indri juga memiliki sikap pendobrak sebagaimana seharusnya yang ada pada generasi sekarang ini. Bahwa perempuan tak harus selalu nurut terhadap perlakuan tidak adil laki-laki, sebagai perempuan jangan pernah hanya diam saja ketika keadilan dari laki-laki itu tak diperolehnya kembali, ini adalah era emansipasi, persamaaan hak.

Penyajian buku ini secara umum saya nilai lumayan bagus, ada banyak sisi-sisi kehidupan nyata dan didepan mata mampu terwakilkan dalam cerita buku perempuan Jogja ini. Dan tak sedikit liku-liku cinta anak manusia terkupas juga, baik cinta sesama anak manusia pun cinta antara pria dan wanita.

Ada dua poin pada cerita antara cinta antara pria dan wanita. Pertama cerita tentang perjalanan rumah tangga Raden Mas Danudirja yang seorang ningrat dengan istrinya -Rumanti- yang hanya orang kampung dan tak punya. Ada pembelajaran bahwa hidup berumahtangga itu selain pemenuhan kebutuhan sehari-hari, ternyata tak melulu hanya didasari dengan sebatas rasa cinta saja. Lain dari itu adalah kesaling-mengertian antara suami dan istri. Ada yang harus menang saat salah satu harus mengalah, begitu pula sebaliknya, ada yang harus mengalah ketika salah satunya juga memposisikan diri sebagai pemenang. Disini sebagai kesimpulan bukan pada masalah menang-menangan pun kalah-kalahan, sekali lagi adalah “sisi kesaling-mengertian”

Poin kedua kehidupan cinta antara pria dan wanita terwakilkan  pada kisah remaja bernama Ramadan yang hanyalah anak janda tak berharta, dimana Ramadan berkehendak mencintai seorang perempuan namun yang ditemuinya adalah perempuan berkasta lebih darinya. Ramadan selalu terngiang pesan-pesan simboknya a.k.a ibunya, “bahwa dalam hidup ini kamu harus tahu diri Lee, ngilo githoke dhewe. Aja kaya cebol nggayuh remnbulan alias Jangan seperti pungguk merindukan bulan.

Cebol dan bulan, itulah yang selalu terpikirkan oleh Ramadan demi eraih cintanya.

Tentang dunia journalistik yang dijalani Ramadan, ada juga sedikit sisi kehidupan pada dunia journalistik yang oleh -sang penulis- Achmad Munif   juga mampu dijadikan cerita pemanis di buku Perempuan Jogja ini.
Akan tetapi bukan tanpa cacat cela kalau diatas aku telah banyak memujinya, lantaran ada  sedikit kejanggalan yang bisa kusaksikan pada buku ini. Dalam keasyikan berimajinasi membaca buku Perempuan Jogja ada satu hal yang sempat membuatku meneymbunyikan kata tanya, tepatnya di halaman 145;
Rencana semula, ia ingin menonton sendirian tanpa ditemani Gilang yang pulang ke desanya di Banjarnegara, perbatasan Jawa Tengah – Jawa Barat, ataupun ditemani Tyas.
Lihat bagian yang tercetak tebal dan bergaris bawah pada quotation diatas..! Benarkah Banjarnegara itu perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah…? Setahuku Banjarnegara itu letaknya ada dikaki Dieng berbatasan dengan Kebumen serta berdampingan dengan Wonosobo lho..!  Apakah maksudnya adalah Banjar yang masuk wilayah Jawa Barat namun letaknya berbatasan langsung dengan Cilacap bagian dari Jawa Tengah itu…? [uth]

Perempuan Jogja

0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri