Indonesia tanpa, mungkin ini adalah tulisan yang sangat subyektif dari saya. Pasalnya saya menulis tentang ‘Indonesia tanpa‘ ini lebih diakibatkan melihat hashtag #IndonesiaTanpaFPI dan #IndonesiaTanpaJIL berseliweran di media sosial twitter.
Tagar
 #IndonesiaTanpaFPI -yang saya tahu- muncul karena adanya beberapa 
tindakan “brutal” yang dilakukan oleh salah satu organisasi massa. Ada 
ketakutan dan keresahan timbul akibat tindakan tersebut, yang bahkan 
beberapa kali terjadi aksi “brutal” pun ‘vandal’  ternyata memang tak 
ada reaksi dilakukan aparat keamanan bernama Polisi demi mengehentikannya.
Sementara
 tagar #IndonesiaTanpaJIL secara pasti saya tak begitu mengerti kapan 
dan bagaimana awalnya. Yang saya pahami dari argumen bertagar 
#IndonesiaTanpaJIL nuansanya tak jauh dari usaha peniadaan liberalisme, 
baik itu yang berbau JIL sebagai Jaringan Islam Liberal pun bukan JIL 
yang beraroma non Islam Liberal.
Saya
 mengernyitkan alis mata ketika harus menyimak dua hashtag diatas, 
dimana keduanya bernuansa “meniadakan” hal yang sudah ada. Indonesia tanpa.
Ini masih Indonesia kan…? Anda dan saya masih hidup di negeri bernama Indonesia khan…?
![]()  | 
| Anggrek Bulan | 
Menanggapi pertanyaan diatas, entah Anda
 akan menjawab apa, yang pasti saya akan menjawabnya dengan tegas, “Iya,
 saya hidup di belahan bumi bernama Indonesia.”
Dan saya
 masih memahami bahwa Indonesia ini dibangun dari pernik-pernik 
kebersamaan. Kemerdekaan bisa diraih lantaran semua elemen anak bangsa 
berusaha MENYATU dalam alunan “Bhineka Tunggal Ika”, padahal awalnya 
kita semua memang juga sudah terkotak-kotak dalam perbedaan suku, budaya, ras bahkan keyakinan.
Jadi,
 adanya Indonesia ini bukan tidak mungkin juga lantaran semua elemen 
bangsa sedari awal telah mengakui keberadaan antarsatu dengan lainnya. 
Tiada pernah terlintas saling “meniadakan”. Tiada pernah ada dalam kamus
 berdirinya negeri ini semboyan #IndonesiaTanpaPapua, #IndonesiaTanpaBatak, #IndonesiaTanpaJawa, dan lain sebagainya.
Lalu kenapa saat belakangan ini justru anak-anak bangsa yang lebih terpelajar malah berkehendak meniadakan kebhinekaan itu..?
Sudah
 amnesiakah bahwa Indonesia ini dibangun dengan keinginan memerdekakan 
rakyatnya. Telah lupakah bahwa Indonesia ini didirikan dengan kehendak 
mengakomodasi nilai-nilai demokrasi masyarakatnya..?
Secara
 pribadi saya masih berharap, semoga Anda yang membaca jurnal ini 
sepakat bahwa demokrasi dan kemerdekaan ini adalah salah satu komponen 
dari berdirinya Indonesia. Sementara peraturan yang dibentukpun sudah 
semestinya ada untuk ditegakkan oleh penegak konstitusi, salah satunya 
adalah Polisi, sama sekali bukan oleh organisasi massa, apapun bentuknya.
Melihat kemerdekaan
 pun kebebasan Indonesia tersebut membuat saya berpikir kembali mengenai
 paham “liberalisme” yang kenyataannya juga ingin di tiadakan oleh 
mereka yang mengenakan hastag #IndonesiaTanpaJIL pada tulisannya.
Haduhh,
 saya tak habis pikir, kenapa sih mereka berkehendak meniadakan 
‘liberalisme’ sementara dalam menuliskan kehendak itu tanpa disadarinya 
juga telah menerapkan praktek ‘paham liberalisme’ tersebut.
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. [wikipedia]
Demikian juga dengan #IndonesiaTanpaFPI, apakah ini adalah semboyan yang benar dalam berdemokrasi…? Saya rasa tidak sama sekali.
Anda
 yang menjadi salah satu diantara dua pendendang tagar itu bisa saja 
berargumen, misalnya yang anti liberal bilang; “Ah kami tidak anti 
Liberal, kami hanya anti Islam Liberal dan oleh karenanya kami anti 
terhadap jaringan pun organisasi yg mengusungnya”. Begitupula hal serupa
 bisa saja diargumentasikan oleh teman-teman yang anti FPI. Hanya saja, 
mau mengeluarkan argumen apapun, toh pada dasarnya kedua belah pihak tak
 jauh berbeda, yaitu pembenaran akan tindakan pembubaran/meniadakan 
saja.
Apa sih yang bakal didapatkan 
kalau memang ada pihak yang ditiadakan pun dibubarkan..? Bukankah ketika
 organisasi dibubarkan personil-personil yang ada masih bisa membikin 
organisasi serupa dengan nama berbeda..? Yang JIL bisa saja berganti 
menjadi NIL (Networking Islam Liberal), demikian pula yang FPI bisa saja
 menjelma menjadi BBI alias Barisan Bela Islam.
Lalu apa bedanya jika hal itu terjadi..?
Kenapa perbedaan pandangan yang ada itu hendak ditiadakan..? Bukankah itu adalah bagian dari khasanah kebinekaan kita…?
Alih-alih
 berkehendak “membubarkan” pun ‘meniadakan’, kenapa bukan lebih 
mengedepankan sikap cerdas untuk saling berpikir terbuka saja. Bukankah 
dalam kemerdekaan ini yang sama-sama ingin kita lihat adalah banyaknya 
orang berpikir terbuka, sama sekali bukan pemikiran tertutup serta 
pengkerdilan otak alias picik…?
Anda boleh-boleh saja tak sependapat dengan opini
 pada tulisan saya ini, saya sangat memerdekakannya. Begitupun 
sebaliknya, saya juga akan tetap  berusaha menerima argumentasi yang 
Anda sampaikan, karenanya sayapun tidak harus bersikeras menentang 
pendapat Anda. Dengan begitu pertemanan serta kebersamaan tak terciderai
 olehnya khan..?
Ketika Anda tak 
sependapat dengan saya, syah-syah saja Anda melawannya dengan tulisan, 
sebaliknya sayapun akan melakukan hal serupa. Intinya  ide ya musti 
ditentang dengan ide, gagasan ya sudah sepantasnya dilawan dengan 
gagasan, begitupun penulisan buku sudah sewajarnya ditentang dengan cara
 menuliskan buku juga.
Yang tak 
boleh, tak syah, dan tak dimerdekakan dalam konstitusi negeri ini tentu 
saja adalah tatkala melawan ide dengan pemasungan, menentang ide dengan 
pembubaran, merusak musyawarah dengan pengrusakan pun kekerasan.
Sebagai ‘jalma manungsa‘ yang berkehendak bisa memanusiakan orang lain, manungsakake manungsa liya,
 saya tetap menghargai Anda yang berada di lingkaran JIL, namun bukan 
berarti saya harus ikut mendendangkan kalimat bertagar 
#IndonesiaTanpaFPI. Sayapun tetap memerdekakan Anda yang bernaung 
dibawah FPI, akan tetapi bukan lantas saya musti turut meramaikan 
hashtag #IndonesiaTanpaJIL. Saya lebih berkehendak menjadi manusia 
Indonesia yang berbhineka tanpa adanya pengrusakan pun kekerasan, ya Indoenesia tanpa kekerasan.
Debat adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Debat kusir adalah debat yang tidak disertai alasan masuk akal, kecuali hanya ingin memenangkan perdebatan itu sendiri.[artikata]
Indonesia tanpa
 kekerasan tentu saja adalah Indonesia yang masih memerdekakan diskusi, 
musyawarah, mengeluarkan pendapat pun debat. Opss, istilah debat disini 
jangan juga lantas didefinisikan sebagai hal yang mengarah pada 
‘bermusuhan, berantem, pun berkelai” yaa….! Lantaran debat masih mampu 
di interpretasikan pada bahasan yang lebih bermanfaat dari sekedar debat
 kusir, dimana istilah ‘debat kusir’ arahnya tak jauh dari kekerasan. 
Oleh karenanya, bersama tulisan ini saya lebih berkehendak memilih 
hashtag #IndonesiaTanpaKekerasan. [uth]
_____________________
Indonesia tanpa kekerasan

0 comments:
Post a Comment