Thursday, May 24, 2012

Indonesia Tanpa

Indonesia tanpa, mungkin ini adalah tulisan yang sangat subyektif dari saya. Pasalnya saya menulis tentang Indonesia tanpa ini lebih diakibatkan melihat hashtag #IndonesiaTanpaFPI dan #IndonesiaTanpaJIL berseliweran di media sosial twitter.
Tagar #IndonesiaTanpaFPI -yang saya tahu- muncul karena adanya beberapa tindakan “brutal” yang dilakukan oleh salah satu organisasi massa. Ada ketakutan dan keresahan timbul akibat tindakan tersebut, yang bahkan beberapa kali terjadi aksi “brutal” pun ‘vandal’  ternyata memang tak ada reaksi dilakukan aparat keamanan bernama Polisi demi mengehentikannya.
Sementara tagar #IndonesiaTanpaJIL secara pasti saya tak begitu mengerti kapan dan bagaimana awalnya. Yang saya pahami dari argumen bertagar #IndonesiaTanpaJIL nuansanya tak jauh dari usaha peniadaan liberalisme, baik itu yang berbau JIL sebagai Jaringan Islam Liberal pun bukan JIL yang beraroma non Islam Liberal.
Saya mengernyitkan alis mata ketika harus menyimak dua hashtag diatas, dimana keduanya bernuansa “meniadakan” hal yang sudah ada. Indonesia tanpa.
Ini masih Indonesia kan…? Anda dan saya masih hidup di negeri bernama Indonesia khan…?

Anggrek Bulan
Menanggapi pertanyaan diatas, entah Anda akan menjawab apa, yang pasti saya akan menjawabnya dengan tegas, “Iya, saya hidup di belahan bumi bernama Indonesia.”
Dan saya masih memahami bahwa Indonesia ini dibangun dari pernik-pernik kebersamaan. Kemerdekaan bisa diraih lantaran semua elemen anak bangsa berusaha MENYATU dalam alunan “Bhineka Tunggal Ika”, padahal awalnya kita semua memang juga sudah terkotak-kotak dalam perbedaan suku, budaya, ras bahkan keyakinan.
Jadi, adanya Indonesia ini bukan tidak mungkin juga lantaran semua elemen bangsa sedari awal telah mengakui keberadaan antarsatu dengan lainnya. Tiada pernah terlintas saling “meniadakan”. Tiada pernah ada dalam kamus berdirinya negeri ini semboyan #IndonesiaTanpaPapua, #IndonesiaTanpaBatak, #IndonesiaTanpaJawa, dan lain sebagainya.
Lalu kenapa saat belakangan ini justru anak-anak bangsa yang lebih terpelajar malah berkehendak meniadakan kebhinekaan itu..?
Sudah amnesiakah bahwa Indonesia ini dibangun dengan keinginan memerdekakan rakyatnya. Telah lupakah bahwa Indonesia ini didirikan dengan kehendak mengakomodasi nilai-nilai demokrasi masyarakatnya..?
Secara pribadi saya masih berharap, semoga Anda yang membaca jurnal ini sepakat bahwa demokrasi dan kemerdekaan ini adalah salah satu komponen dari berdirinya Indonesia. Sementara peraturan yang dibentukpun sudah semestinya ada untuk ditegakkan oleh penegak konstitusi, salah satunya adalah Polisi, sama sekali bukan oleh organisasi massa, apapun bentuknya.
Melihat kemerdekaan pun kebebasan Indonesia tersebut membuat saya berpikir kembali mengenai paham “liberalisme” yang kenyataannya juga ingin di tiadakan oleh mereka yang mengenakan hastag #IndonesiaTanpaJIL pada tulisannya.
Haduhh, saya tak habis pikir, kenapa sih mereka berkehendak meniadakan ‘liberalisme’ sementara dalam menuliskan kehendak itu tanpa disadarinya juga telah menerapkan praktek ‘paham liberalisme’ tersebut.
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. [wikipedia]
Demikian juga dengan #IndonesiaTanpaFPI, apakah ini adalah semboyan yang benar dalam berdemokrasi…? Saya rasa tidak sama sekali.
Anda yang menjadi salah satu diantara dua pendendang tagar itu bisa saja berargumen, misalnya yang anti liberal bilang; “Ah kami tidak anti Liberal, kami hanya anti Islam Liberal dan oleh karenanya kami anti terhadap jaringan pun organisasi yg mengusungnya”. Begitupula hal serupa bisa saja diargumentasikan oleh teman-teman yang anti FPI. Hanya saja, mau mengeluarkan argumen apapun, toh pada dasarnya kedua belah pihak tak jauh berbeda, yaitu pembenaran akan tindakan pembubaran/meniadakan saja.
Apa sih yang bakal didapatkan kalau memang ada pihak yang ditiadakan pun dibubarkan..? Bukankah ketika organisasi dibubarkan personil-personil yang ada masih bisa membikin organisasi serupa dengan nama berbeda..? Yang JIL bisa saja berganti menjadi NIL (Networking Islam Liberal), demikian pula yang FPI bisa saja menjelma menjadi BBI alias Barisan Bela Islam.

Lalu apa bedanya jika hal itu terjadi..?

Kenapa perbedaan pandangan yang ada itu hendak ditiadakan..? Bukankah itu adalah bagian dari khasanah kebinekaan kita…?
Alih-alih berkehendak “membubarkan” pun ‘meniadakan’, kenapa bukan lebih mengedepankan sikap cerdas untuk saling berpikir terbuka saja. Bukankah dalam kemerdekaan ini yang sama-sama ingin kita lihat adalah banyaknya orang berpikir terbuka, sama sekali bukan pemikiran tertutup serta pengkerdilan otak alias picik…?
Anda boleh-boleh saja tak sependapat dengan opini pada tulisan saya ini, saya sangat memerdekakannya. Begitupun sebaliknya, saya juga akan tetap  berusaha menerima argumentasi yang Anda sampaikan, karenanya sayapun tidak harus bersikeras menentang pendapat Anda. Dengan begitu pertemanan serta kebersamaan tak terciderai olehnya khan..?
Ketika Anda tak sependapat dengan saya, syah-syah saja Anda melawannya dengan tulisan, sebaliknya sayapun akan melakukan hal serupa. Intinya  ide ya musti ditentang dengan ide, gagasan ya sudah sepantasnya dilawan dengan gagasan, begitupun penulisan buku sudah sewajarnya ditentang dengan cara menuliskan buku juga.
Yang tak boleh, tak syah, dan tak dimerdekakan dalam konstitusi negeri ini tentu saja adalah tatkala melawan ide dengan pemasungan, menentang ide dengan pembubaran, merusak musyawarah dengan pengrusakan pun kekerasan.
Sebagai ‘jalma manungsa‘ yang berkehendak bisa memanusiakan orang lain, manungsakake manungsa liya, saya tetap menghargai Anda yang berada di lingkaran JIL, namun bukan berarti saya harus ikut mendendangkan kalimat bertagar #IndonesiaTanpaFPI. Sayapun tetap memerdekakan Anda yang bernaung dibawah FPI, akan tetapi bukan lantas saya musti turut meramaikan hashtag #IndonesiaTanpaJIL. Saya lebih berkehendak menjadi manusia Indonesia yang berbhineka tanpa adanya pengrusakan pun kekerasan, ya Indoenesia tanpa kekerasan.
Debat adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Debat kusir adalah debat yang tidak disertai alasan masuk akal, kecuali hanya ingin memenangkan perdebatan itu sendiri.[artikata]
Indonesia tanpa kekerasan tentu saja adalah Indonesia yang masih memerdekakan diskusi, musyawarah, mengeluarkan pendapat pun debat. Opss, istilah debat disini jangan juga lantas didefinisikan sebagai hal yang mengarah pada ‘bermusuhan, berantem, pun berkelai” yaa….! Lantaran debat masih mampu di interpretasikan pada bahasan yang lebih bermanfaat dari sekedar debat kusir, dimana istilah ‘debat kusir’ arahnya tak jauh dari kekerasan. Oleh karenanya, bersama tulisan ini saya lebih berkehendak memilih hashtag #IndonesiaTanpaKekerasan. [uth]
_____________________
Indonesia tanpa kekerasan

0 comments:

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri