Saturday, November 12, 2011

Komodo komoditi kamadatu atau komodo komoditi komedi

Komodo

Paling enak memang kalau kita hanya menulis atau berbicara sebuah opini pribadi tanpa harus melihat latar belakang tentang segala usaha/upaya yang sudah dikerjakan pada obyek yang diomongkan pun dituliskan itu. Subyektifitas sangat kentara padapembicaraan/tulisan semacam itu, dan tak jarang orang hanya menanggapinya sebagai bentuk nyinyir dari kenyinyiran mulut sang penulis. Dan itulah yang saya tuliskan pada pokok bahasa komodo kali ini.

Baiklah, ketika pertamakali Anda membaca tulisan ini, maka yang terpampang sebagai judul journal adalah tentang komodo. Ya, kali ini silahkan Anda menganggapnya saya sedang  menuliskan bentuk kenyinyiran saya yang bertemakan komodo. Jadi apabila masih berkenan membaca #nyinyir saya ya silahkan dilanjut, akan tetapi sayapun tak merasa keberatan jika Anda teman-teman tercintaku semua pergi meninggalkan halaman ini.

Sudah lama komodo diajukan pemerintahan kita, Indonesia, demi bersaing dengan keajaiban alam lain didunia ini sesuai yang diajukan oleh negara pesertanya. Dan kemarin, bertepatan dengan pukul 11.00 waktu GMT, tanggal 11 bulan 11 tahun 2011, pihak panitia pemilih New7Wonders of Nature telah memutuskan bahwa satu dari tujuh keajaiban alam dunia itu adalah komodo. Saya turut bangga, sedikit bahagia juga, karena sedikit kekayaan alam Indonesia ini kembali telah diperkenalan diranah dunia.
Berikut adalah The New7Wonders of Nature sesuai yang dicantumkan pada tanggal 11 November 2011 kemarin;
  1. Amazon
  2. Halong Bay
  3. Iguazu Falls
  4. Jeju Island
  5. Komodo
  6. Puerto Princesa  Underground River
  7. Table Mountain
*) Catatan ini bukan berdasarkan nomor urut sebagai peringkatnya, namun lebih diurutkan sesuai dengan abjad-alphabetical.

Kalau waktu-waktu sebelum keputusan tanggal 11 kemarin itu banyak wacana pro-kontra dalam menyikapi komodo ini, terus terang saya hanya mengambil sikap netral saja. Tak terlalu mengamini pun tak selalu memposisikan anti juga.

Hal itu saya lakukan bukan lantaran saya tak punya sikap dalam melihat gerakan yang awalnya dilakukan pihak pemerintah kita ini. Saya hanya pingin tak gegabah saja dalam menyikapinya, selain musti harus memikirkan dua tiga langkah kedepannya, ada hal-hal yang menjadi langkah awal khusunya pada  latarbelakang komodo itu yang tak bisa kita tinggalkan begitu saja.

Komodo

Komodo komoditi kamadatu

Mengambil obyek komodo sebagai hal yang diunggulkan diantara kekayaan alam Indonesia ini memang satu hal yang tak menjadi kekeliruan. Hanya saja mari kita sama-sama cermati pada pengalaman yang pernah kita lalui terdahulu, utamanya tentang Borobudur yang juga telah lebih awal masuk dalam keajaiban.

Berpijak pada Borobudur, tak pelak ingatan sayapun melayang pada istilah kamadatu, rupadatu dan arupadatu, yaitu tiga bagian yang digambarkan melalui kaki bangunan, tubuh bangunan, serta puncak bangunan Candi . Kaki bangunan (kamadatu) meliputi tingkat pertama sampai dengan tingkat ketiga, tubuh bangunan (rupadatu) terdiri dari tingkat ke-empat sampai dengan tingkat ke-enam, sementara puncak bangunan atau sering disebut sebagai arupadatu adalah bagian yang dimulai dari tingkat ketujuh hingga tingkat teratas.

Disini saya tak akan membahas ketiganya, yang ingin saya garis bawahi hanyalah kamadatu sebagai bentuk tingkatan awal saja.
Kamadatu adalah bangunan dari tingkat pertama sampai ketiga terdapat relief karmawibangga atau hukum karma , yang menggambarkan bahwa tingkah laku buruk manusia akan menghasilkan hukum karma.

Belajar dari keajaiban Borobudur, sudah selayaknya kitapun menjadikannya sebagai sebuah reminder agar kita selalu belajar dari pengalaman dan sejarah yang pernah ada. Kita sempat menjadi negeri yang dominan dengan sentralisasi, selain Jakarta sebagai Ibukota negeri ini yang kemudian banyak orang berbondong-bondong ber-migran-ria mengunjungi lalu menetapinya, ada yang musti kita ingat lagi, yaitu pulau BALI.
Pada tingkat pengingat dasar (base-reminder) ini adalah tepat adanya ketika kita juga belajar kembali mengenai kamadatu sebagai tingkatan awal leluhur negeri ini mencapai kejayaannya.

Bagaimana orang-orang mancanegara bisa lebih mengenal Bali dibanding nama Indonesia saya pikir juga karena kita terlalu berpikir menggunbakan 'ajimumpung', yaitu mumpung Bali sedang dikenal, mumpung alam Bali sudah mulai marak diketahui, mumpung keindahan Bali sangat bisa secara cepat dijadikan sumber komoditi. Sama juga dengan keadaan Jakarta, mumpung menjadi pusat pemerintahan, mumpung sebagai ibukota negeri, dan mumpung-mumpung yang lainnya.

Dampak yang timbul dari "aji umpung" itu tak lain dan tak bukan adalah terlupakannya kita akan hal-hal indah yang kita miliki namun berada ditempat pun ruang lain. Kalau mau bicara Bali, toh ada Pulau Lombok yang tak kalah indahnya, atau ada danau toba beserta Pulau Samosirnya, tak ketinggalan Raja Ampat, wakatobi dan sekitarnya. Belum lagi kekayaan hayati lainnya. Begitu juga kalau berbicara tentang Jakarta, toh masih ada Pulau Kalimantan yang menurut para ilmuwan toh sudah dibuktikan lebih sedikit mendapatkan peluang gempa pun bencana lainnya.  Kita terlalu terkonsentrasi pada tempat-tempat yang sudah terkenal hingga akhirnya saat ini kita merasa terjerembab karena perangkap yang tak sadar telah kita bikin sendiri.
Kembali pada komodo, bukan satu hal yang seharusnya kita menutup mata ketika kita juga sudah semestinya memikirkan kaitan lain baik menyangkut dampak, efek, pun cara menanggulanginya. Sudahkan dua hal itu dilihat oleh para penyelenggara yang turut serta secara aktif memberikan dukungan komodo sebagai aset The New7Wonders of Nature  itu..? Ataukah aji mumpung  sudah terlanjur tersematkan hanya semata-mata demi memperoleh kedudukan diranah The New7Wonders of Nature..?

Masih pada tingkatan dasar atau kamadatu, mari bersama-sama kita melihat guna mencari jawabannya. Siapa tahu kitapun bisa dilibatkan walau hanya sekedar berujud kritik, saran serta masukan.

Komodo komoditi komedi

Ada tak sedikit aspek dalam merawat apalagi melestarikan sebuah makhluk ciptaan-Nya, termasuk didalamnya adalah komodo. Saya menyebutnya sebagai tindakan "melestarikan" karena masih menurut sependek pengetahuan saya bahwa pihak UNESCO pada jauh-jauh waktu sebelumnya telah menetapkan kelangkaan Pulau Komodo dalam Wold Heritage List Convention, lalu mana bentuk kepedulian kita sendiri sebagai tuan rumah..?

Bukan maksud untuk mencibir pun terlalu nyinyir, dalam kacamata saya pribadi adalah hal yang membuat saya hanya mampu tersenyum kecut ketika kebanyakan dari kita hanya ber-euforia dalam gebyar promosi Pulau Komodo  waktu belakangan ini.

Kenapa...?

Pasalnya kenyataan membuktikan bahwa masih sangat  sedikit bisa kita peroleh sebuah informasi yang tersaji mengenai Pulau Komodo. Bagaimana seekor komodo mampu bertahan hidup, dan apa yang bisa ditindaklanjuti demi kelangsungan hidupnya itu, serta masih banyak lagi...
Lebih parahnya kalau kita sudah berbicara pada hal yang menjurus ke arah pariwisata serta hal yang menjadi dampaknya. Kebanyakan dari kita (dan barang tentu termasuk saya) berbicara hanya sebatas menyerupai makan mie-instan ~secepatnya bisa disajikan, dan secepatnya pula bisa dinikmati~

Keinginannya hanya agar cepat-cepat orang bisa mengetahui informasi itu, lalu berkeinginan agar para wisata  cepat-cepat datang mengunjungi pulau (yang katanya) eksotik itu, dana akhirnya secara instan juga bisa menjadi KAYA-RAYA karena banyak income bisa  datang oleh karenanya.

Agak mau melebar sedikit tentang pariwisata, kapankah kita ini mengalami perubahan yang berarti..? Harus dimulai dari manakah kalau warga saja dalam merealisasikan obyek berujud "kampung-wisata"nya masih juga terkendala dengan birokrasi...?

Kenyataan yang bisa kita saksikan bukan saja pada komodo, namun masih teramat banyak cagar budaya, kekayaan alam, bahkan tak sedikit hal-hal kecil yang bisa kita kuak. Sebut saja kunang-kunang yang beterbangan pada malam hari, di Malaysia toh hal itu bisa dijual sebagai kekayaan pariwisatanya, lah kita kemana saja...?

Tentang komodo, dengan tidak adanya pihak berwenang yang bercerita tentang si Komodo bahwa Komodo lebih terlihat sebagai komoditas, bukan entitas, saya menjadi  teringat kembali tentang Tahun Kunjungan Museum di Jogja juga. Hal pendukung yang bisa saya lihat saat itu yaitu dengan menyaksikan serta membaca iklan-iklan yang terpajang pada papan besar di beberapa perempatan besar berisi ajakan "visit to museum"
Kenapa pokok bahasannya harus menuju  arah museum..? Pasalnya meski Jogja menjadi daerah yang memiliki museum terbanyak di Indonesia, akan tetapi itu semua selalu dijadikan "sebelah mata" dalam meningkatan kualitas pelayanan.  Begitu juga ditempat lain, Jakarta misalnya, saya memiliki pengalaman tatkala harus menjawab pertanyaan pada wisatawan asing (manca negara) bahwa untuk masuk ke museum saja masih teramat susah sekali mencari brosurnya.

Sampai disini, saya rasa antara museum, Taman Komodo, pun tempat2 pariwisata lain adalah difungsikan sebagai tujuan yang tak jauh berbeda,  yaitu selain sebagai obyek hiburan juga dimaksudkan untuk edukasi.  Akan tetapi   pada sisi apa letak edukasinya kalau  kita cuma disuruh melihat gambar, mengamati gerak-gerik binatang, atau melihat hal lain tanpa tahu apa maksudnya...?  Bukankah hal itu menjadi tak jauh berbeda apabila kita  membeli bukunya saja, lalu membacanya dirumah  atau berselancar saja didunia maya.
Diakhir, bukan mau sekedar nyinyir tanpa mau melihat latar pun langkah kedepannya. Saya tetap bergembira dengan keberadaan komodo yang meski belum final namun kemarin telah diberitakan masuk  dalam The New7Wonders of Nature.  Hanya saja saya masih juga mau memposisikan diri untuk melihat dari sisi lain tentang makhluk hidup bernama komodo  yang menuju arah langka itu. Arah konservasi sudah semestinya menjadi tujuan,  sehingga banyak dari kegiatan baik itu berupa wisata pun aktivitas lain mampu diketahui tentang segala hal yang dibutuhkan. Sebagai contoh kecil, pada saat  musim kawin, masih belum banyak orang yang mengerti tentang penciuman komodo yang sangat tajam. Masih teramat sedikit orang yang mengetahui bahwa penciuman komodo itu  bisa memiliki radius berkilo-kilometeran.

Dari pengetahuan yang sedikit ini toh akhirnya bisa diketahui tindakan antisipasinya, utamanya penyadaran pada sosok pengunjung berjenis kelamin perempuan yang sedang haid, bahwa sangat riskan dan bahkan menuju arah bunuh diri jika larangan mengunjungi komodo itu dilanggar .

Terlepas dari Kepentingan politis ataupun tindakan survival baik yang disubyeki oleh Kemenbudpar (yang akhirnya menarik dukungan) ataupun Jusuf Kalla yang meneruskannya, saya yaqin banyak rakyat Indonesia ini sepakat bahwa kita semua memiliki keinginan sama tentang komodo, yaitu  lebih mau memposisikannya sebagai  entitas, sama sekali bukan  terlihat sebagai komoditas.  Karena saya juga meyaqini bahwa kita semua tak ada keinginan sama sekali untuk memposisikan  komodo akhirnya hanya sebagai sebuah bahan lelucon, komodo komoditi komedi. Semoga... [uth]

___________________________________________________________
An  ilustration is taken from new7wonders.com without permission.



1 comments:

anazkia said...

Gak ikut euforia SMS :D

Meneng ae, dadi dilent kecap #eh :D

Koyok moco iki, buat pemahaman aja, bukan untuk dikomentari :D

 

Copyright © 2011 | Maztrie™ MirrorPot | Ubet Ngliwet, Ngglibet Nglamet | by ikanmasteri